Dengan keadaan kedua kaki ditekuk dan jari yang melingkar bergetar di kedua kakinya, Zea layaknya seseorang yang tengah membutuhkan sebuah rangkulan dan belaian untuk menyemangatinya. Detik demi detik, air mata itu menetes tanpa dapat ia tahan. Ia tak tahu cara menghentikan rasa sakit di hatinya ini? Luka itu merobek, menimbulkan rasa perih yang tak ada obatnya."Aku tidak salah... aku tidak salah!" Zea terus mengucapkan kata itu."Mereka yang jahat, bukan aku! Seharusnya mereka yang saat ini menangis, bukan aku! Kenapa? Lalu, kenapa aku sekarang? jika, kau memang ada maka kau tidak adil, Tuhan! Kenapa aku hidup dengan cara seperti ini? Kenapa orang-orang di sana tak sepertiku? Yang tak mengetahui siapa orang tuanya, yang tak mengetahui apa yang harus kulakukan, yang tak memiliki siapa pun yang mencintainya? Kenapa aku dilahirkan? Apa sebagai pelengkap untuk kebahagiaan orang lain? Lalu, kapan giliranku? Aku juga ingin bahagia seperti mereka yang tersenyum dan tertawa dengan alaminya,
Ceklek!Pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita dengan pakaian seksi seperti biasa, tengah duduk di atas meja seraya mencondongkan tubuhnya ke arah seorang pria yang duduk di kursi itu dengan canggung. Sungguh, ia tak berniat untuk bertengkar dengan ibunya. Tubuhnya benar-benar lelah. la ingin istirahat."Kau pulang?" Tiffany menghentikan kedua kakinya, tatkala mendengar lontaran pertanyaan itu. Tanpa ingin berpaling ke arah sumber suara, Tiffany kembali berjalan seakan tak mendengar apa pun."Kau tak ingin menemuinya, Sayang? Sejak tadi kekasihmu ini menunggumu." Kalimat pencegahan dari Sara ini sukses membuat kedua kakinya terhenti. Dengan cepat, kepalanya menoleh ke arah pria yang dimaksud."Kau- kenapa kau kemari?""Kenapa dia kemari? Pertanyaan macam apa itu, Tiffany? Seharusnya, aku yang bertanya padamu kenapa kau pulang dengan darah di bajumu? Apa yang terjadi?""Itu bukan urusanmu!" umpat Tiffany pedas. David yang telah berdiri dari tempat duduknya itu hanya terdiam. Raut
PLAK!Tamparan itu melayang dengan cepat di pipi Tiffany yang saat jni berdiri diam. Tak hanya Tiffany yang terkejut, tetapi juga David. Tubuh Sara gemetar. Dapat ditangkap dengan jelas bagaimana air matanya itu mengalir tanpa permisi."Tutup mulutmu dan pergilah ke kamar!" serak Sara tanpa menoleh ke arah Tiffany yang masih mematung di tempat dengan ke pipi yang memanas."Kau tahu seberapa aku menyayangimu, Bu? Tidak terhitung! Aku bahkan rela meminta Ayah untuk pindah kemari. Apa kau ingin tahu alasannya? Karena aku ingin bersamamu. Aku takut kau sendiri di sini. Aku ingin menemanimu, melayanimu semampu yang kubisa. Tapi, apa yang kau perbuat padaku? Aku melakukan ini karena aku takut kehilanganmu, Tapi kenapa--" Tiffany menutup bibirnya cepat, berharap tangis ini tak bersuara. Namun sayang, gagal.Tubuh Sara berbalik membelakangi Tiffany seraya menahan laju air matanya, Kedua bibirnya tampak sekali bergetar hebat."Aku lelah, Bu. Aku benar-benar lelah terus seperti ini. Tolong, kem
Kau ingin tahu apa alasanku datang kemari? Apa tujuanku menerimamu? Jawabannya sederhana, karena kaulah yang dapat membantuku membebaskan kedua orang tuaku. Semua hal yang mubutuhkan selama ini, menyangkut dirimu yang juga harus aku lindungi, seperti aku melindungi kedua orang tuaku.""Ibuku tertangkap, Tiffany. Beliau di penjara...."Entah mengapa, kalimat David tadi malam membuatnya tak dapat tidur. Pikirannya melayang, memikirkan maksud dari ucapan pria itu. Dia yang dapat membantu pembebasan orang tuaya? Bagaimana bisa? Tiffany sama sekali tak pernah merasa ada hubungan apa pun dengan Bali, terutama keluarganya. Bahkan, ia belum pernah pergi ke daerah itu. Hal ini begitu rumit, bahkan membuat kepalanya terasa ingin pecah. la yakin, tak hanya dirinya yang kini merasa begitu, tetapi juga David. Pria itu tentu berada dalam guncangan yang besar. Mengingat, sang ibu yang selama ini ia lindungi mati-matian, kini tertangkap."Kau menginap di sini?" Ucapan parau itu terdengar. Tiffany yan
"Aku minta maaf, Zea." Terdengar suara Tiffany gemetar. Kedua tangannya mengepal, dengan sedikit tundukan kepala. Entah mengapa, ia sangat ingin menangis. Kalimat itu begitu tulus keluar dari dua bibir mungilnya,"Selama ini, memang akulah yang salah. Aku terlalu kekanak-kanakan, Sikapku bahkan sangat menyebalkan, sampai aku tak sadar telah melukai banyak orang. Aku tak pernah memikirkan terlebih dulu sebelum bertindak.""Tiffany..." parau Zea, la tak menyangka seorang Tiffany Hwang akanbberkata seperti itu padanya. Ia juga sempat berpikir bahwa mati mungkin pilihanya daripada menghadapi semua ini. Bukan masalah itu yang menjadi alasanku untuk berputus asa, tetapi karena perasaan. Sesuatu yang di dalam sini, tidak sanggup untuk menanggungnya. Aku selalu berpikir, jika aku hidup tanpa memiliki perasaanmungkin semua akan menjadi lebih mudah. Rasa itulah yang membuatku menderita! Kau benar! Memang kematianlah yang terpikir saat kita berputus asa. Tapi, ternyata kematian itu lebih menyaki
"Aku akan menyuruh Salsha, Vina, dan Matthew datang kemari untuk menemanimu. Aku harus pulang dulu dan meminta maaf kepada ibuku. Aku sadar sudah bersikap keterlaluan padanya tadi malam. Aku menyesal. Aku selalu memikirkan bahwa hanya aku yang menderita. Tapi, bisa jadi dia juga menderita.""Kau tak perlu mengkhawatirkan aku lagi, Tiff. Pergilah! Kau harus berbaikan dengan ibumu. Kau tahu? Itu jugalah yang membuatku iri padamu. Kau memiliki seorang ibu.""Tak ada manusia yang tak memiliki ibu. Kau juga memilikinya, tapi mungkin Tuhan tak mengizinkanmu mengetahuinya karena itu jauh lebih baik.""Aku tahu, Aku yakin, di mana pun mereka berada, mereka tetap akan smengingat bahwa aku pernah ada.""Benar. Kau jauh lebih terlihat seperti malaikat jika seperti ini.""Huh? Kau ingin mengejekku lagi?" cibir Zea membuat Tiffany tertawa."Kalau begitu, aku pergi. Jika ada hal yang ingin kau butuhkan, katakan saja pada mereka yang menemanimu. Tenang saja, ia sudah memaafkanmu. Sampai jumpa nanti,
"Aku sudah menghubungi Tiffany berulang kali, tapi ponselnya tak aktif. Aku tak tahu ke mana dia pergi semalaman ini."Tiffany mendengar seseorang menyebut namanya. Jantungnya semakin berdegup. Itu suara ayahnya, terdengar gemetar. Dengan cepat dan tanpa ingin membuang waktu lagi, Tiffany sontak membuka pintu itu dan—Tubuh Tiffany gemetar menatap sosok tubuh yang kini terbaring lemah di atas ranjang. Napasnya tersengal, mengisyarakat betapa ia sangat menderita. Terlihat rahang wajahnya yang tak segemuk dulu. Dan, dua mata cantik yang mirip dengannya itu mengerjap lelah. Kerutan di dekat matanya terlihat jelas."Ti- Tiffany..." Pantauan itu terdengar lemah. Tiffany mengepalkan kedua tangan, berusaha agar tak menangis seperti yang selama ini ia lakukan. Tapi, tak bisa! Kedua matanya seakan ikut berteriak menetap wanita di hadapannya itu terbaring."Sa-sayang...!" Suara itu kembali terdengar, membuat Tiffany menggigit bibir bawahnya yang begetar kuat, ia sangat merindukan panggilan ini.
Hitam. Dunia seakan ikut berkabung di area pemakaman ini. Awan itu menggelap, seakan tak memiliki warna lagi selain hitam. Air mata mengiringi kepergiaan Sara di tempat peristirahatannya yang terakhir. Meskipun tak ada hujan, air mata anak manusia yang mengelilingi pemakaman itu seakan membanjiri dunia. Kematian, pada nyatanya, dialah akhir dari dunia ini. Dan juga, menjadi pembelajaran terbaik bagi yang masih hidup."Ibumu memiliki kanker rahim. Dia telah berusaha keras untuk sembuh. Dia telah melakukan berbagai operasi dan pengobatan di dalam dan luar negeri, hanya agar hidupnya dapat terus bertahan lebih lama lagi. Itu tak mudah, semua itu menyakitkan. la melakukannya untukmu, Tiffany. Ibumu memintaku untuk jangan memberitahumu tentang ini. Dia hanya tak ingin... kau terluka.""Ibumu adalah sosok yang kuat. Bahkan, dia rela bercerai dan meninggalkan ayahmu, orang yang sangat ia cintai, hanya ingin kalian bahagia tanpanya. la ingin setelah bercerai, ayahmu menikah lagi, hingga ia me