"Aku akan menyuruh Salsha, Vina, dan Matthew datang kemari untuk menemanimu. Aku harus pulang dulu dan meminta maaf kepada ibuku. Aku sadar sudah bersikap keterlaluan padanya tadi malam. Aku menyesal. Aku selalu memikirkan bahwa hanya aku yang menderita. Tapi, bisa jadi dia juga menderita.""Kau tak perlu mengkhawatirkan aku lagi, Tiff. Pergilah! Kau harus berbaikan dengan ibumu. Kau tahu? Itu jugalah yang membuatku iri padamu. Kau memiliki seorang ibu.""Tak ada manusia yang tak memiliki ibu. Kau juga memilikinya, tapi mungkin Tuhan tak mengizinkanmu mengetahuinya karena itu jauh lebih baik.""Aku tahu, Aku yakin, di mana pun mereka berada, mereka tetap akan smengingat bahwa aku pernah ada.""Benar. Kau jauh lebih terlihat seperti malaikat jika seperti ini.""Huh? Kau ingin mengejekku lagi?" cibir Zea membuat Tiffany tertawa."Kalau begitu, aku pergi. Jika ada hal yang ingin kau butuhkan, katakan saja pada mereka yang menemanimu. Tenang saja, ia sudah memaafkanmu. Sampai jumpa nanti,
"Aku sudah menghubungi Tiffany berulang kali, tapi ponselnya tak aktif. Aku tak tahu ke mana dia pergi semalaman ini."Tiffany mendengar seseorang menyebut namanya. Jantungnya semakin berdegup. Itu suara ayahnya, terdengar gemetar. Dengan cepat dan tanpa ingin membuang waktu lagi, Tiffany sontak membuka pintu itu dan—Tubuh Tiffany gemetar menatap sosok tubuh yang kini terbaring lemah di atas ranjang. Napasnya tersengal, mengisyarakat betapa ia sangat menderita. Terlihat rahang wajahnya yang tak segemuk dulu. Dan, dua mata cantik yang mirip dengannya itu mengerjap lelah. Kerutan di dekat matanya terlihat jelas."Ti- Tiffany..." Pantauan itu terdengar lemah. Tiffany mengepalkan kedua tangan, berusaha agar tak menangis seperti yang selama ini ia lakukan. Tapi, tak bisa! Kedua matanya seakan ikut berteriak menetap wanita di hadapannya itu terbaring."Sa-sayang...!" Suara itu kembali terdengar, membuat Tiffany menggigit bibir bawahnya yang begetar kuat, ia sangat merindukan panggilan ini.
Hitam. Dunia seakan ikut berkabung di area pemakaman ini. Awan itu menggelap, seakan tak memiliki warna lagi selain hitam. Air mata mengiringi kepergiaan Sara di tempat peristirahatannya yang terakhir. Meskipun tak ada hujan, air mata anak manusia yang mengelilingi pemakaman itu seakan membanjiri dunia. Kematian, pada nyatanya, dialah akhir dari dunia ini. Dan juga, menjadi pembelajaran terbaik bagi yang masih hidup."Ibumu memiliki kanker rahim. Dia telah berusaha keras untuk sembuh. Dia telah melakukan berbagai operasi dan pengobatan di dalam dan luar negeri, hanya agar hidupnya dapat terus bertahan lebih lama lagi. Itu tak mudah, semua itu menyakitkan. la melakukannya untukmu, Tiffany. Ibumu memintaku untuk jangan memberitahumu tentang ini. Dia hanya tak ingin... kau terluka.""Ibumu adalah sosok yang kuat. Bahkan, dia rela bercerai dan meninggalkan ayahmu, orang yang sangat ia cintai, hanya ingin kalian bahagia tanpanya. la ingin setelah bercerai, ayahmu menikah lagi, hingga ia me
"Tenanglah Tiffany....""Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Kenapa kalian menguburnya? Dia masih dapat hidup. Aku membutuhkan ibuku. Aku mohon, izinkan aku memperbaiki masa lalu. Bagaimana aku dapat hidup setelah ini? Dari kecil aku tak pernah membuatnya bahagia. Aku terus menyusahkannya. Aku tak tahu sakitnya ketika dia melahirkanku. Aku tak tahu perjuangannya ketika membesarkanku. Aku terkadang tak suka padanya, tapi bukan berarti aku membencinya. Aku sangat menyayangi, sampai aku takut kehilangannya. Semakin dewasa, aku semakin melupakan keberadaannya. Aku benar-benar bodoh. Aku ingin sekali membahagiakannya!" Tiffany menangis."Lepaskan! Aku ingin turun. Aku ingin masuk ke sana. Aku tidak peduli, apakah akan ikut mati atau tidak. Aku ingin menemaninya. Selama ini, ia sendiri menahan kesakitan itu. Aku tak bisa lagi membiarkannya sendiri, aku ingin-""Tiffany, tenanglah! Ibumu sudah tak ada! Jika kau seperti ini, sama saja kau melukai ibumu. Jika ia melihat kau seperti ini, kau pik
"Jangan mengira jika semua ini mudah untuk kulakukan. Aku bahkan melukai diriku sendiri dengan rindu yang kutanam untukmu berhari-hari. Tetapi, aku selalu berkata dalam hati, jika kau tak akan apa-apa, kau akan baik-baik saja. Di tempat ini, aku akan berusaha keras untuk sembuh agar aku dapat menemanimu setidaknnya lebih lama lagi. Namun entahlah, sekarang aku merasa tak akan dapat melakukannya. Untuk itulah, aku membuat semua ini. Aku tak apa-apa jika kau sangat membenciku, paling tidak kau dapat melupakanku.""Hiduplah seperti biasa yang kau lakukan selama ini tanpaku. Lihatlah, kau kuat, Sayang. Kau bahkan dapat melewati semua masalah tanpaku lagi. Kau telah tumbuh dewasa dan semakin cantik, bangga memilikimu. Pada awalnya, aku khawatir tak dapat melakukannya, melepasmu sama saja menancapkan pisau di ulu hatiku. Tetapi, aku harus melakukannya. Tumbuhlah dewasa sebagai gadis yang kuat. Jika jatuh, kau hanya perlu gerakkan tubuh sendiri dan berdirilah. Kau dapat melakukannya, Sayang.
"Ah ya Sayang.... kau ingin membantu Ibu sesuatu? Anggap saja ini adalah permintaan terakhir Ibu padamu...."Termenung sendiri! Itulah kini yang dilakukan Tiffany Hwang di kamar ibunya. Sunyi...! Bibirnya bahkan seolah enggan untuk bersuara. Tak ada lagi air mata di sana, seakan kelopak indah itu sudah lelah untuk mengeluarkan air mata. Sekarang, Tiffany jauh lebih tenang dibandingkan hari sebelumnya. la sudah dapat mengontrol emosi dan perasaannya. Sekalipun, rindu itu tetap menyiksanya. Bagaimana pun juga ini adalah masa tersulitnya. Bahkan, perceraian kedua orang tuanya dulu, bukan apa-apa. Sekarang, ia baru benar-benar merasakan kehilangan. la seakan sendiri dengan penyesalan yang tak berkesudahan."Kau pasti belum makan. Tubuhmu lama-lama terlihat seperti tengkorak hidup benar. Kalau begini, kau akan kalah cantik dari Zea," sapa seseorang seraya membawa sebuah nampan berisikan susu serta makanan favorit Tiffany. Sekalipun tak menoleh, gadis itu tahu pemilik suara ini.David Mahes
Tiffany sentak menatap David yang kini tengah tertunduk di sampingnya. Ekspresi pria itu tampak lain, saat ia menyebut 'Ibu' dari dua bibirnya itu."Apa kau merindukan ibumu?""Aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sebab, jika aku mendengar kabarnya dan itu adalah berita buruk, aku tak tahu lagi harus bagaimana menjalani hidup. Untuk itulah, saat ini aku tengah menghindari dunia. Aku takut. Aku tidak tahu ke mana danbapa yang harus aku lakukan. Bahkan, sudah empat tahun berlalu, aku tetap tak dapat melindungi mereka.""David....""Hem?""Pulanglah-selamatkan keluargamu."Tiffany menelan ludahnyabdengan susah payah, Tatapan mereka bertemu! Tiffany tahu arti dari tatapan pria itu. Terkejut? Ya!"Ketika itu, kau pernah mengatakan kepadaku jika akulah yang dapat membantumu membebaskan kedua orang tuamu dari tuduhan itu. Kau juga berulang kali mengatakan bahwa kau membutuhkanku. Sekarang, aku mengerti.""Kau--""Kau benar, David. Saat kau mengatakan bahwa masalahmu menyangkut aku,
"Excuse me, Sir. Can you help me, please?""Ya?" Pria paruh baya yang menjadi pemilik restoran cukup terkenal di Bali ini mengerjapkan kedua matanya bingung, menatap sesosok wanita asing di hadapannya. Otaknya mulai berpikir apa arti bahasa Inggris yang baru saja didengar ini. Sungguh, ia sama sekali tak mengerti! Inilah mengapa, terkadang ia berpikir untuk belajar bahasa Inggris agar dapat melayani wisatawan asing."Nona, aku minta maaf. Tapi, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Bisakah kau sedikit berbahasa Bali?""I'm Sara... Sara Larasati. I need l water. I'm really-really thirsty. Are you understand?"Raden Mahesa..., itulah nama pria yang berumur 50-an ini. Terdengar ia menghela napas. Satu tangannya bergerak, menggaruk bagian kepala sebelah kiri yang sama sekali tak gatal. Menghadapi orang asing seperti inilah yang menjadi tantangan tersulitnya selama membuka restoran ini."Huhh... wanita ini bicara apa? Yang aku tau hanyalah kata 'You'. Apa dia mengatakan ingin memesanku?