"Ib-ibuu... A-ayah...""Aaargh!""Sayang!""Semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah, semua ini akan berakhir.""Aku tak akan membiarkan ayahmu bebas, David! Dia akan menderita dan membusuk di penjara itu! Hahahha!""Ibumu hanya diam saja, dia tidak ingin makam sedikitpun. Sesekali, ia berteriak memanggil namamu juga ayahmu. Sepertinya, dia sangat rindu padamu juga ayahmu, David.""Kami terpaksa memasungnya agar tak pergi kemana-mana. Gangguan jiwa yang dialami ibumu tak juga mengalami kemajuan.""Pembunuh! Dasar kau anak pembunuh! Enyahlah kau!""Keluarga mereka membunuh seseorang dengan pisau dapur yang sering digunakan untuk membuat makanan di restoran mereka. Itu benar-benar mengerikan! Aku tidak menyangka mereka sampai setega itu, apalagi mereka hampir membunuh salah satu dari keluarga mereka sendiri.""Hey, Arga! Dimana ibumu? Apa dia sudah gila? Dimana ibumu? Hahaha. Dasar pembunuh!"Kedua mata merah David mengeluarkan genangan air mata cukup banyak. Satu tangannya yang memegang
Entah sudah berapa lama keempat orang ini terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada obrolan panjang di sana, seolah mereka tengah kompak untuk diam dan membuat ruangan putih ini sunyi tanpa suara sedikitpun."Sebaiknya, kau pulang saja dan beristirahat, Tiffany." suara Exel terdengar. Pria itu tersenyum dengan beberapa lebam menghiasi di wajah tampannya."Dia benar. Kau harus beristirahat. Biar aku saja yang menjaga David dan Kak Exel di rumah sakit ini. Kau telah melewati hari yang sangat melelahkan hari ini.""Tidak! Mereka terbaring di sini karena tindakan aku dan kau menyuruhku meninggalkan mereka begitu saja di sini? Aku tak akan pergi jika mereka juga belum pergi dari sini. Bahkan, David belum sadarkan diri. Aku khawatir dengan keadaannya. Jadi, jangan memaksaku untuk pergi.""Huh, kau memang gadis yang keras kepala. Kau dapat mengatakan kepadaku siapa saja semua ini telah terjadi. Jadi, bukankah itu percuma saja?"Exel menatap Tiffany. Ia tak menyangka jika gadis
"Apa boleh, aku berbicara dengan Tiffany sebentar?""Hm?" Tiffany sontak mengerjap saat semua orang yang ada di sini menatapnya, termasuk Zea. Ya, sepertinya gadis model itu nampak merasa kesal padanya."Baiklah, jika kau perlu apa-apa, kamu semua siap membantumu, David." Zea berusaha untuk tersenyum di balik rasa kecewanya itu."Terima kasih." David balas tersenyum. Tersenyum? Yah, ini kali pertamanya tersenyum untuk banyak orang. Satu persatu dari mereka keluar dari ruangan ini, menyisahkan David dan Tiffany.Tiffany diam dengan tundukan kepala, tanpa ingin melihat ke arah David. Ia yakin, jika kedua mata elang itu kini tengah menatapnya."Kau tak apa? Apa ada yang luka?" David menarik satu tangan Tiffany dan membolak-balikkan tubuh gadis itu, bermaksud memeriksa."Aish, kau ini sedang apa? Aku baik-baik saja, kau tak perlu khawatir.""Bagaimana mungkin kau baik-baik saja dengan luka yang ada di pergelangan tanganmu itu?""Uh, ini hanya bekas luka akibat tali yang mengikatku kemarin
Satu tangan Tiffany bergerak, berusaha menyentuh bekas luka itu. Namun, dengan cepat David memegang jari tangan Tiffany, menghentikan gadis itu untuk melakukannya. Luka itu menjadi tempat yang sangat sensitif bagi pria itu. Ia sendiri bahkan tak berani menyentuhnya. Ingatan itu akan kembali terbayang oleh David."Maaf-" Tiff menarik tangannya kembali dari genggaman David. Namun, pria itu semakin erat meremas jemarinya. Tiffany sontak mendongak, menatap David yang kini tengah mengalihkan pandangannya ke arah lain."Ketika aku berusia 13 tahun kejadian tragis itu menimpaku. Buku terhempas jauh dan menabrak sebuah meja besi. Aku ketakutan. Aku tak saja jika banyak darah yang sudah keluar dari dahiku. Pada dasarnya aku tidak merasakan apapun. Tak ada rasa sakit sama sekali. Yang aku rasa saat itu hanya rasa sakit melihat apa yang terjadi di depan mataku. Aku hanya dapat diam dan menangis. Semua kejadian mengalikan itu bahkan seperti sebuah roll film di otakku. Selalu ada dan tak bisa aku
"Tidak, Paman. Aku bukan penduduk asli kota ini. Aku datang dari Bali.""Bali?" Sara sontak memekik mendengarnya. Bagaimana bisa putrinya menjalin hubungan dengan pria asing yang memilki kampung halaman jauh?"Ya, Bibi. Aku berasal dari sana.""Wah, luar biasa!""Tiffany, kau bahkan tak pernah mengatakan apa pun pada Ibu soal ini?"Sara beralih menatap Tiffany dengan tampang kesal. Gadis cantik itu tersenyum sinis."Tak hanya ini, kau bahkan tak tahu apa pun tentangku. Saat aku hampir mati di tengah hutan, kau juga tak tahu. Kenapa ini seolah sangat aneh untukmu?""Tiff.." tegur sang Ayah yang langsung membuat Tiffany menghela napas panjang."Sudahlah, ayah juga sama saja. Aku seharusnya lebih baik dibunuh ketika di hutan waktu itu agar kalian menyesal.""Apa yang kau bicarakan?""Ah, benar! Kalian tak pernah tahu tentangku! Sudahlah, itu sangat percuma. Kami harus segera ke panggung. Tari Erai-Erai sudah selesai sebagai pembuka." Tiffany mencengkeram gaun hitam panjangnya seraya kelu
"Kalian tak pernah tahu seberapa sakitnya ia menahan tangis melalui senyum yang ditunjukan di depan kalian, la menyukai hal lain selain yang kalian suka, apa itu sebuah kesalahan? Kenapa keinginannya dilarang, jika kalian memang bermaksud untuk membahagiakannya? Untuk alasan masa depan yang lebih cerah? Atau, alasan menjaga nama baik keluarga? Anak seperti itu hanya mampu menyembunyikan rasa sakit dari dalam hati tanpa tahu cara mengungkapkannya. Tak hanya takut, tapi mereka sangat menyayangi kalian."Pertahanan Salsha lenyap seketika. Gadis itu sontak menitikkan air mata saat mendengar penuturan Tiffany itu. Suara serak dan rasa kesesakan yang selama ini tersembunyi, seketika keluar, ikut menangis seiringan dengan getaran tubuhnya. Ini kali pertama Salsha menangis di depan orang tuanya selama ia beranjak dewasa."Para orang tua juga acap kali berbuat kasar, menendang, menginjak, menampar, bahkan memukul dengan alat yang menurut kalian dapat membuatnya jera. Tapi, apa kalian pernah be
PLAK!Perkataan Zea sontak terhenti saat sebuah tamparan melayang ke pipinya. Pedas? Sangat! Mengingat suara tepukan itu bahkan terdengar nyaring. Sudah pasti, pipi putih Zea tampak memerah. Tubuh gadis berambut sebahu itu pun bergetar hebat, ini kali pertama ada orang yang berani memukulnya."Ada apa?" tanya Tiffany. Aneh,kali ini suaranya benar-benar sangat bergetar. Kedua tangannya semakin mengepal hebat. Zea menatapnya dengan wajah beruraian air mata. la masih tak percaya Tiffany berani menamparnya."Kau gila? Kau berani menamparku, huh?""Kenapa aku tak berani? Kau bahkan berani menginjak lipstikku.""Huh? Apa kau tak takut---""Tidak! Aku sama sekali tak takut padamu atau siapa pun. Menjijikkan!" Tiffany tersenyum sinis membuat Zea sontak mengepal."Gadis malang! Kenapa? Kau iri padaku, huh? Kau harus pergi ke psikiater sekarang juga. Kau memiliki gangguan jiwa! Kau sakit!""Apa katamu?""Seseorang yang waras tak akan pernah berpikir melakukan hal keji seperti ini. Kau sangat me
Vina! Gadis berambut ikal ini berdiri di depan ruang kerja David seakan tengah menunggu seseorang. Kekasihnya? Sepertinya tidak, mengingat Vina sangat mengetahui bahwa kekasihnya itu tak akan datang sepagi ini ke kantor. Gadis itu menatap jarum jam di tangannya, berharap seseorang yang tengah ia tunggu segera terlihat. Dan, doanya terkabul. Gadis dengan pita menghiasi rambutnya itu pun muncul, berjalan dengan senyuman tanpa dosa. Setelah berhasil memerankan pembicara dengan sempurna, ditambah kejadian di ruang hias membuat namanya semakin populer di kantor ini; Zea Anastasia."Apa yang kau lakukan?" tanya Zea saat Vina mencengkeram lengannya."Aku benar-benar tak habis pikir, kau masih dapat menunjukkan wajah licikmu itu di kantor ini dengan tenang. Kenapa kau begitu jahat?""Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti apa maksudmu?""Ah-maksudku? Ini--" Vina sentak mendorong Zea hingga terjatuh, membuat semua orang yang telah datang menatap ke arah mereka."Kau pikir apa yang kau lakuka