Carson berjalan menghampiri meja kerja Tamara, langkahnya mantap dan tatapan mata fokus. Di tangannya, terdapat beberapa berkas tebal. Sesekali, pandangannya menyapu layar komputer Tamara yang menampilkan grafik dan dokumen-dokumen yang tengah ia kerjakan. Tamara yang sedang fokus menulis di komputernya, lantas mendongak begitu menyadari kehadiran Carson."Tamara," panggil Carson dengan suara yang cukup untuk membuat Tamara langsung beralih memperhatikannya."Saya butuh anda mengerjakan laporan ini. Ini penting untuk proyek kita minggu depan, dan harus selesai hari ini.” Carson meletakkan tumpukan berkas di depan Tamara. “Saya juga ingin mengingatkan kalau nanti siang kita akan ada meeting untuk membahas perkembangan proyek ini. Divisi kita akan adakan rapat serius, jadi pastikan anda ikut dalam meeting ini," jelas Carson tanpa basa-basi.Tamara mengangguk paham. "Baik, saya akan segera mengerjakannya," jawabnya cepat, sambil menerima tumpukan berkas tersebut.Setelah memberikan instru
Tamara melangkah keluar dari dalam lift dengan langkah ringan, namun tubuhnya seketika membatu ketika pandangannya secara tidak sengaja menangkap sosok Davis yang tengah berjalan menuju lift. Bersamanya, Fabio dan salah satu sekretarisnya yang lain terlihat sibuk membahas sesuatu. Tamara tak sempat berpikir. Tubuhnya kaku saat matanya bertemu dengan tatapan Davis yang juga terhenti sejenak ketika melihatnya.Mereka berdua saling menatap untuk beberapa detik. Tatapan itu hening, tak ada kata yang diucapkan. Tamara akhirnya mengulas senyum tipis. Davis, di sisi lain, ikut tersenyum sekilas, singkat, sebelum akhirnya memalingkan wajahnya. Ekspresi dinginnya kembali, seolah berusaha untuk terlihat tidak mengenal Tamara sama sekali.Sekretaris Davis yang terus berbicara di sebelahnya tampaknya tidak menyadari momen singkat tersebut. Davis menghindari kontak lebih lanjut, tidak ingin membuat tindakannya berujung membongkar hubungan pribadinya dengan Tamara di depan para stafnya.Sementara i
Tamara melangkah menuju meja kerjanya dengan langkah ringan. Rasanya tubuhnya mendapatkan energi baru setelah istirahat singkat. Ketika sampai di kursinya, dia duduk dan mulai menyalakan komputernya kembali.Tumpukan tugas di layar menyapanya, namun kali ini, dengan tenaga yang sedikit lebih segar, Tamara merasa bisa lebih fokus dan cepat menyelesaikan semua pekerjaannya.Tangan Tamara bergerak lincah di atas keyboard, mengetikkan data yang diperlukan sambil sesekali memeriksa berkas-berkas di mejanya. Ruangan divisi tempat ia bekerja dipenuhi dengan suara keyboard yang mengetik, suara mesin printer, dan bisik-bisik rekan kerja yang sibuk dengan tugas masing-masing.*Tamara menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat saat dia tenggelam dalam pekerjaannya. Berjam-jam suda
Davis melangkah masuk ke apartemen dengan langkah berat. Pintu ditutup perlahan di belakangnya, dan ruangan segera dipenuhi dengan keheningan yang nyaris pekat, hanya ditemani oleh suara televisi yang menyala tanpa penonton.Ketika dia mengalihkan pandangan ke ruang tengah, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang terbaring di sofa, tertidur pulas dengan posisi sedikit meringkuk. Tamara tampak damai dalam mimpinya.Davis menghela napas panjang, matanya beralih pada layar televisi yang menampilkan acara yang tidak lagi menarik perhatian. Tampak jelas bahwa wanita yang menjadi istrinya itu telah lama tertidur di sana hingga acara yang ditontonnya berakhir.Dia mendekat, melangkah pelan menuju sofa, dan berhenti tepat di samping Tamara. Wanita itu tampak begitu lelah, rambutnya tergerai di atas bantal sofa, seme
Fabio melangkah dengan cepat menuju ruang kerja Davis. Di tangannya, ia membawa berkas yang telah diminta oleh bosnya sejak istirahat makan siang berakhir tadi.Saat tiba di depan pintu, ia mengetuk dua kali sebelum memasukinya. Ruangan itu masih sama seperti biasanya—rapi, minimalis, namun dipenuhi oleh tumpukan dokumen yang menumpuk di sudut meja kerja. Davis duduk di belakang meja, sibuk memeriksa layar komputernya.“Ini berkas yang kau minta, tuan,” ucap Fabio sambil menyerahkan map berwarna biru tua.Davis hanya melirik sekilas sebelum mengambilnya dan meletakkannya di atas meja tanpa memeriksa lebih lanjut. Sebaliknya, tangannya mulai bergerak merapikan meja kerjanya, menyingkirkan dokumen-dokumen lain yang sudah selesai ia periksa.“Hari in
“Sekarang hanya ada kita berdua di sini,” Tamara bisa merasakan nafas hangat pria itu di lehernya. Ia mengalungkan kedua tangannya, menariknya lebih dekat.Ciuman pertama terjadi begitu cepat, bibir mereka bertemu dengan penuh nafsu. Langkah mereka bergeser tanpa henti, bergerak menuju ranjang di sudut kamar. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh punggung Tamara, mendekapnya erat dalam pelukan.Tamara merasa tubuhnya bergetar oleh hasrat yang tidak tertahankan.“Apa kau yakin tidak akan menyesalinya?” suara berat itu terdengar begitu seksi bagi Tamara. Terlebih wajahnya yang tampan membuat Tamara seolah tidak bisa berhenti menatapnya. Wanita itu lantas menariknya lebih dekat, dan mencium bibirnya lagi dengan penuh gairah.Malam itu untuk pertama kalinya, Tamara menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya untuk seorang pria yang bahkan baru saja ditemuinya. Dia terlena, dan tidak menyadari bahwa perbuatannya akan mendatangkan penyesalan dalam dirinya.*“Argh…” Wanita it
Tamara duduk di salah satu sudut kafe dengan wajah lesu. Cangkir kopi di depannya masih penuh, uap panasnya tak lagi naik ke udara, menandakan sudah lama kopi itu tak tersentuh. Ia menatap kosong keluar jendela, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan langkah pasti, seakan mereka tahu ke mana harus pergi.Hari ini, dia baru saja mengunjungi beberapa perusahaan, mengirimkan lamaran pekerjaan yang telah ia persiapkan. Namun, semuanya berakhir dengan jawaban yang sama: penolakan.Tamara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kepalaku rasanya mau meledak. Masalah ini benar-benar membuatku bingung harus bagaimana."Ia mengaduk kopi yang sudah dingin dengan sendok perak, tetapi tidak berniat meminumnya. Segala upayanya terasa sia-sia. Pikirannya kacau, terjebak antara kenyataan yang terasa begitu pahit.Langit di luar kafe mulai berubah warna menjadi jingga, tanda bahwa hari sudah beranjak sore. Tamara merasa tidak ada gunanya lagi untuk berlama-lama di kafe itu. De
Davis menghela napas panjang. Sudah berjam-jam dia duduk di sini, tapi tidak ada solusi yang muncul di pikirannya. Instingnya mengatakan bahwa Tamara adalah orang yang paling tepat untuk membantunya. Selain itu, bagi Davis, Tamara cukup menarik dan telah mengambil perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Namun, kenyataan bahwa wanita itu melarikan diri lagi dan menolak membantunya membuat Davis merasa gusar.Suara dering ponsel di meja kerja Davis membuyarkan lamunannya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat nama Fabio tertera di layar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu."Tuan, aku punya kabar menarik. Wanita bernama Tamara yang anda temui, ternyata mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan kita." Suara Fabio terdengar antusias di seberang sana.Davis terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia terima.Lamaran pekerjaan? Senyum kecil seketika mengembang di sudut bibirnya."Kerja bagus, Fabio. Panggil dia untuk interview hari ini," kata Davis dengan nada penuh