Tamara melangkah menuju meja kerjanya dengan langkah ringan. Rasanya tubuhnya mendapatkan energi baru setelah istirahat singkat. Ketika sampai di kursinya, dia duduk dan mulai menyalakan komputernya kembali.Tumpukan tugas di layar menyapanya, namun kali ini, dengan tenaga yang sedikit lebih segar, Tamara merasa bisa lebih fokus dan cepat menyelesaikan semua pekerjaannya.Tangan Tamara bergerak lincah di atas keyboard, mengetikkan data yang diperlukan sambil sesekali memeriksa berkas-berkas di mejanya. Ruangan divisi tempat ia bekerja dipenuhi dengan suara keyboard yang mengetik, suara mesin printer, dan bisik-bisik rekan kerja yang sibuk dengan tugas masing-masing.*Tamara menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat saat dia tenggelam dalam pekerjaannya. Berjam-jam suda
Davis melangkah masuk ke apartemen dengan langkah berat. Pintu ditutup perlahan di belakangnya, dan ruangan segera dipenuhi dengan keheningan yang nyaris pekat, hanya ditemani oleh suara televisi yang menyala tanpa penonton.Ketika dia mengalihkan pandangan ke ruang tengah, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang terbaring di sofa, tertidur pulas dengan posisi sedikit meringkuk. Tamara tampak damai dalam mimpinya.Davis menghela napas panjang, matanya beralih pada layar televisi yang menampilkan acara yang tidak lagi menarik perhatian. Tampak jelas bahwa wanita yang menjadi istrinya itu telah lama tertidur di sana hingga acara yang ditontonnya berakhir.Dia mendekat, melangkah pelan menuju sofa, dan berhenti tepat di samping Tamara. Wanita itu tampak begitu lelah, rambutnya tergerai di atas bantal sofa, seme
Fabio melangkah dengan cepat menuju ruang kerja Davis. Di tangannya, ia membawa berkas yang telah diminta oleh bosnya sejak istirahat makan siang berakhir tadi.Saat tiba di depan pintu, ia mengetuk dua kali sebelum memasukinya. Ruangan itu masih sama seperti biasanya—rapi, minimalis, namun dipenuhi oleh tumpukan dokumen yang menumpuk di sudut meja kerja. Davis duduk di belakang meja, sibuk memeriksa layar komputernya.“Ini berkas yang kau minta, tuan,” ucap Fabio sambil menyerahkan map berwarna biru tua.Davis hanya melirik sekilas sebelum mengambilnya dan meletakkannya di atas meja tanpa memeriksa lebih lanjut. Sebaliknya, tangannya mulai bergerak merapikan meja kerjanya, menyingkirkan dokumen-dokumen lain yang sudah selesai ia periksa.“Hari in
“Sekarang hanya ada kita berdua di sini,” Tamara bisa merasakan nafas hangat pria itu di lehernya. Ia mengalungkan kedua tangannya, menariknya lebih dekat.Ciuman pertama terjadi begitu cepat, bibir mereka bertemu dengan penuh nafsu. Langkah mereka bergeser tanpa henti, bergerak menuju ranjang di sudut kamar. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh punggung Tamara, mendekapnya erat dalam pelukan.Tamara merasa tubuhnya bergetar oleh hasrat yang tidak tertahankan.“Apa kau yakin tidak akan menyesalinya?” suara berat itu terdengar begitu seksi bagi Tamara. Terlebih wajahnya yang tampan membuat Tamara seolah tidak bisa berhenti menatapnya. Wanita itu lantas menariknya lebih dekat, dan mencium bibirnya lagi dengan penuh gairah.Malam itu untuk pertama kalinya, Tamara menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya untuk seorang pria yang bahkan baru saja ditemuinya. Dia terlena, dan tidak menyadari bahwa perbuatannya akan mendatangkan penyesalan dalam dirinya.*“Argh…” Wanita it
Tamara duduk di salah satu sudut kafe dengan wajah lesu. Cangkir kopi di depannya masih penuh, uap panasnya tak lagi naik ke udara, menandakan sudah lama kopi itu tak tersentuh. Ia menatap kosong keluar jendela, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan langkah pasti, seakan mereka tahu ke mana harus pergi.Hari ini, dia baru saja mengunjungi beberapa perusahaan, mengirimkan lamaran pekerjaan yang telah ia persiapkan. Namun, semuanya berakhir dengan jawaban yang sama: penolakan.Tamara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kepalaku rasanya mau meledak. Masalah ini benar-benar membuatku bingung harus bagaimana."Ia mengaduk kopi yang sudah dingin dengan sendok perak, tetapi tidak berniat meminumnya. Segala upayanya terasa sia-sia. Pikirannya kacau, terjebak antara kenyataan yang terasa begitu pahit.Langit di luar kafe mulai berubah warna menjadi jingga, tanda bahwa hari sudah beranjak sore. Tamara merasa tidak ada gunanya lagi untuk berlama-lama di kafe itu. De
Davis menghela napas panjang. Sudah berjam-jam dia duduk di sini, tapi tidak ada solusi yang muncul di pikirannya. Instingnya mengatakan bahwa Tamara adalah orang yang paling tepat untuk membantunya. Selain itu, bagi Davis, Tamara cukup menarik dan telah mengambil perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Namun, kenyataan bahwa wanita itu melarikan diri lagi dan menolak membantunya membuat Davis merasa gusar.Suara dering ponsel di meja kerja Davis membuyarkan lamunannya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat nama Fabio tertera di layar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu."Tuan, aku punya kabar menarik. Wanita bernama Tamara yang anda temui, ternyata mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan kita." Suara Fabio terdengar antusias di seberang sana.Davis terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia terima.Lamaran pekerjaan? Senyum kecil seketika mengembang di sudut bibirnya."Kerja bagus, Fabio. Panggil dia untuk interview hari ini," kata Davis dengan nada penuh
Matanya melebar, tatapannya tidak bisa lepas dari wajah pria di hadapannya. Dia mencoba mencari tanda bahwa Davis hanya bercanda, namun ekspresi Davis tetap datar, tidak ada sedikitpun senyum di sana. Wajahnya benar-benar serius.“Kenapa... kenapa kau begitu ingin aku menikah denganmu?”“Ini bukan tanpa alasan, bagiku kau adalah wanita yang paling cocok untuk membantuku dalam situasi ini. Selain itu, kita sudah pernah tidur bersama sebelumnya. Bukankah ini masuk akal?”Tamara menelan ludahnya dengan susah payah. “Apa maksudmu dengan 'membantumu'?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Wajahnya mulai memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena marah. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Davis merapatkan tubuhnya pada Tamara, pandangannya masih terfokus pada wanita itu. Davis menghela napas panjang, terlihat sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan itu.“Dengar, seharusnya seminggu lagi aku melangsungkan pernikahan. Tapi
Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima."Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya.""Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataa