Davis melangkah masuk ke apartemen dengan langkah berat. Pintu ditutup perlahan di belakangnya, dan ruangan segera dipenuhi dengan keheningan yang nyaris pekat, hanya ditemani oleh suara televisi yang menyala tanpa penonton.
Ketika dia mengalihkan pandangan ke ruang tengah, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang terbaring di sofa, tertidur pulas dengan posisi sedikit meringkuk. Tamara tampak damai dalam mimpinya.
Davis menghela napas panjang, matanya beralih pada layar televisi yang menampilkan acara yang tidak lagi menarik perhatian. Tampak jelas bahwa wanita yang menjadi istrinya itu telah lama tertidur di sana hingga acara yang ditontonnya berakhir.
Dia mendekat, melangkah pelan menuju sofa, dan berhenti tepat di samping Tamara. Wanita itu tampak begitu lelah, rambutnya tergerai di atas bantal sofa, seme
Fabio melangkah dengan cepat menuju ruang kerja Davis. Di tangannya, ia membawa berkas yang telah diminta oleh bosnya sejak istirahat makan siang berakhir tadi.Saat tiba di depan pintu, ia mengetuk dua kali sebelum memasukinya. Ruangan itu masih sama seperti biasanya—rapi, minimalis, namun dipenuhi oleh tumpukan dokumen yang menumpuk di sudut meja kerja. Davis duduk di belakang meja, sibuk memeriksa layar komputernya.“Ini berkas yang kau minta, tuan,” ucap Fabio sambil menyerahkan map berwarna biru tua.Davis hanya melirik sekilas sebelum mengambilnya dan meletakkannya di atas meja tanpa memeriksa lebih lanjut. Sebaliknya, tangannya mulai bergerak merapikan meja kerjanya, menyingkirkan dokumen-dokumen lain yang sudah selesai ia periksa.“Hari in
Davis duduk di kursi kerjanya, membolak-balik berkas-berkas yang dia bawa pulang dari kantor. Di atas meja, tumpukan dokumen bertumpuk rapi, seolah-olah menceritakan beban tanggung jawab yang ia pikul.Di balik keseriusannya, suasana ruangan itu terasa tenang, dilengkapi dengan cahaya lampu meja yang hangat dan aroma kayu dari perabotan yang berbaur dengan lembut di udara. Piyama tidur berbahan satin yang dikenakannya dibalut dengan jubah tidur hangat yang menjuntai hingga ke lututnya, menambah kesan rileks di tengah kesibukannya.Tok! Tok!Suara ketukan pelan di pintu memecah keheningan. Davis menoleh ke arah datangnya suara, dan di sana Tamara berdiri dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Di tangannya, ia membawa secangkir kopi yang mengepul, wangi kopi segar langsung memenuhi ruangan ketika ia melangkah masuk.
Davis akhirnya berhasil menutup semua berkas yang dikerjakannya malam itu. Layar komputer yang menyala terang kini menampilkan dokumen terakhir yang telah selesai dia cek. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, dan merasakan seluruh ototnya yang tegang mulai mengendur perlahan.Malam sudah larut, dan ruangan kerjanya kini sunyi, hanya terdengar detak jarum jam di dinding yang bersuara pelan.Perhatiannya kemudian beralih ke arah sofa di sudut ruangan. Di sana, Tamara—wanita yang menjadi istrinya—tertidur dengan posisi yang terlihat kurang nyaman. Wanita yang tadinya berniat untuk menemaninya itu kini malah terlelap di sofa dengan posisi tubuhnya terlipat di atas sofa yang sempit.Davis menatapnya sejenak, helaan napasnya terdengar pelan. "Kenapa kau tak tidur di kamar?" gumam
Tamara membuka kedua matanya perlahan. Cahaya pagi menembus tirai jendela, tapi hal pertama yang menangkap pandangannya bukan sinar matahari—melainkan wajah Davis, pria yang kini menjadi suaminya. Tamara terdiam, terpaku sejenak. Rasa hangat menjalar di tubuhnya saat ia menyadari satu hal: mereka tidur dalam posisi berpelukan. Bahkan, tangan Davis terjepit di bawah kepala Tamara, menjadi bantalan yang ia gunakan sepanjang malam.Tamara kaget. Ia tak pernah membayangkan akan terbangun dalam kondisi sedekat ini dengan Davis. Otaknya berusaha keras mengingat kembali kejadian semalam. Sesaat ia bingung, namun kemudian ingatannya mulai merangkai potongan-potongan yang hilang. Ia ingat semalam dirinya menemani Davis di ruang kerjanya. Ketika itu Davis masih sibuk menyelesaikan beberapa berkas, sementara Tamara perlahan terlelap di sofa, menunggu suaminya menyelesaikan pekerjaannya. Namun, ia tidak ingat bagaimana ia bisa berpindah dari ruang kerja ke kamar, apalagi dalam posisi seperti ini.
Tamara tersentak kaget. Matanya melebar, tubuhnya membeku. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Davis akan menciumnya. Seketika, semua pikiran di kepalanya berhenti berputar, seolah otaknya tak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Tamara hanya bisa diam, terpaku dalam keheningan yang mendadak terasa begitu intens."D-Davis..." Tamara berusaha berbicara, tapi suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar. Ia masih terkejut, tak mengerti kenapa Davis tiba-tiba menciumnya. Tapi yang jelas, ciuman itu membuatnya tak berdaya, dan sama sekali tak mampu melawan.Ciuman itu bukan sekadar sentuhan singkat. Bibir Davis tetap melekat pada bibir Tamara untuk beberapa detik, cukup lama untuk membuat Tamara merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya. Sensasi itu membuat jantungnya berdegup semakin cepat, membuat seluruh tubuhnya terasa seperti lumpuh di bawah pengaruh ciuman Davis.Ketika Davis akhirnya menarik diri, Tamara masih terdiam, matanya masih terbuka lebar dalam keterkejutan. Ia ta
“Tamara…” Davis berbisik pelan di telinganya dengan suaranya yang terdengar rendah dan penuh hasrat. Sentuhannya kini tidak lagi tertahan, tangannya bergerak lebih jauh menjelajahi setiap inci tubuh Tamara, mencari titik-titik sensitif yang membuat wanita itu semakin tenggelam dalam permainan ini.Tamara mencoba melawan, tapi setiap upaya untuk mundur terhalang oleh rasa yang mendesak di dalam tubuhnya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Semua logika tenggelam dalam panas yang melanda tubuhnya. Hanya ada Davis dan sentuhan-sentuhannya. Tamara memejamkan mata, mencoba menahan diri, tapi setiap kali bibir Davis menyentuh kulitnya, perlawanan itu semakin memudar.Pagi itu, keduanya tenggelam dalam gairah yang selama ini terpendam. Mereka telah lama mengabaikan hubungan fisik mereka, terjebak dalam kesibukan pekerjaan yang tanpa henti selama berminggu-minggu. Davis dan Tamara nyaris melupakan esensi dari pernikahan kontrak mereka—tujuan utama yang mengikat mereka berdua. Mereka menikah bukan
Tamara terdiam, menghela napas panjang sambil mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa. Tubuhnya terasa lemas, otot-ototnya masih terasa kaku dan pegal setelah permainan liar yang baru saja dilalui bersama Davis. Gara-gara suaminya itu, sekarang Tamara terpaksa mengambil cuti. Permainan penuh gairah Davis tadi benar-benar menguras tenaganya sampai-sampai ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk pergi bekerja hari ini.Tamara menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, masih berusaha menenangkan diri. Davis sempat memintanya untuk tetap di rumah dan beristirahat. Tamara sebenarnya ingin marah—mengapa Davis harus begitu bersemangat sampai dirinya tidak bisa bergerak bebas setelah aksinya? Tapi disisi lain, ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan suaminya. Tamara tahu bahwa dirinya juga bersalah. Ia yang akhirnya terbawa suasana, menyerah pada setiap sentuhan menggoda Davis, sampai tanpa sadar ia menikmati momen itu sepenuhnya.Dengan tubuh yang masih terasa lemah dan kulitnya yang berkilau d
Letta menaruh secangkir teh hangat di atas meja dengan penuh hati-hati. Aroma teh yang khas segera memenuhi ruangan. Tamara, yang tengah duduk di kursi dekat jendela, mendongak saat wanita paruh baya itu datang. Letta tersenyum ramah kepadanya sambil berkata, "Saya buatkan teh untuk Anda, Bu Tamara."Tamara tersenyum, meski sedikit lelah, dan balas berkata, "Terima kasih, bi, tapi seharusnya tidak perlu repot-repot."Letta hanya menggeleng lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Saya yang ingin membuatkan teh untuk Anda. Ini sebagai ungkapan terima kasih karena sudah memberikan saya pekerjaan di sini."Tamara mendesah pelan, lalu meneguk sedikit teh yang diberikan Letta. Kehangatan teh itu terasa menenangkan di tenggorokannya. "Tidak perlu berterima kasih pada saya. Bibi bisa bekerja di sini itu berkat suami saya. Saya bahkan tidak tahu apa-apa soal perekrutan," katanya sambil tersenyum simpul.Letta tetap tersenyum hangat. "Tapi tetap saja, saya sangat berterima kasih, Bu. Ini pertama kalinya sa
Bellatrix menghela napas dalam-dalam. Udara malam yang begitu dingin terasa begitu menusuk hingga membuatnya tidak tahan berlama-lama di luar. Wanita paruh baya itu langsung melangkah masuk ke dalam gedung tempat dimana biasa anak-anak buahnya berkumpul. Tiba di sana, kedatangannya langsung disambut oleh Ollie yang sudah menunggunya sejak tadi.“Selamat malam, nyonya.”“Tidak perlu basa-basi. Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Langsung antarkan saja aku pada mereka!” ucap Bellatrix tanpa menoleh sama sekali. Wanita berpakaian serba hitam itu kini berjalan dengan tergesa-gesa dengan Ollie yang mencoba mengimbangi langkahnya.“Mereka sudah menunggu di ruang biasa, nyonya. Begitu tiba, aku langsung meminta mereka berkumpul di sana sesuai dengan permintaan anda.”“Bagus! Lalu bagaimana dengan tugas lain yang aku berikan padamu?”“Saya sudah berhasil mendapatkan informasi yang anda minta. Hanya saja…, ada beberapa hal, nyonya,” gumam Ollie dengan kepala tertunduk. Bellatrix yang mendeng
“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku, sayang?” Bellatrix menatap wanita di hadapannya dengan raut wajah bingung. Tidak biasanya wanita di hadapannya ini memasang ekspresi serius seperti ini.“Kau sudah tahu kalau dia kembali, kan?” Hailey melontarkan pertanyaan retoris. Bellatrix sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Akan tetapi, walau terlihat begitu jelas, dia masih tetap berusaha untuk tenang seolah tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya.“Apa maksudmu?”“Kau tahu apa maksudku. Orang yang selama ini menjadi penghalang! Kau sudah tahu dia kembali, kan? Maka dari itu, kau meneleponku kemarin, ya kan?” Hailey menatap wajah Bellatrix intens. Dugaannya tidak akan mungkin salah. Bellatrix pasti sudah bertemu dengan Serena. Itulah kenapa dia meneleponnya kemarin.“I-Itu…, darimana kau tahu? Apakah jangan-jangan kau…”“Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Sekarang aku mengerti alasan kenapa kau menghubungiku kemarin. Itu pasti karena kau suda
Hugh terdiam memandang Serena yang kini duduk di hadapannya sambil melahap makanan yang baru saja di sajikan di hadapan mereka. “Bagaimana? Kau menyukainya?” tanya Hugh, sambil menunggu respon darinya.Serena mengunyah makanan di mulutnya sebelum mengutarakan pendapatnya. “Ini enak. Aku menyukainya.” Serena tersenyum simpul.“Sudah aku duga kau pasti akan menyukainya!”“Darimana kau tahu ada restoran seenak ini?”“Aku tidak sengaja menemukannya ketika aku dan Shawn pergi ke taman hiburan beberapa waktu lalu. Tempat ini sangat ramai, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk berkunjung ke sini. Selain itu, aku juga sempat melihat review di internet tentang restoran ini, dan ternyata memang bagus.”“Oh, begitu… tapi ini sungguh enak!” Serena kembali melahap makanannya. Sekarang ini, Serena dan Hugh sedang berada di restoran. Mereka sedang menikmati waktu makan siang bersama. Saat di rumah, Hugh melihat Serena sangat kelelahan dengan pekerjaannya, dan karena sudah saatnya jam makan siang,
“Kalau begitu, saya permisi.” Aiden tersenyum lantas berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Dia berniat untuk menemui putrinya sebelum meninggalkannya, dan membiarkan dia belajar bersama teman-teman barunya.Langkah Aiden mendadak terhenti saat dia melihat Rhys yang berdiri di koridor dengan wajah panik. Pria itu tampak kebingungan mencari sesuatu. Karena tidak melihat Loui bersamanya, Aiden bergegas menghampiri pria itu. “Rhys!”“Aiden, gawat!” Rhys mendekat dengan wajah cemas. “Loui hilang.”“Apa?” Aiden membelalakan mata begitu mendengar penuturannya barusan. “Tadi aku meninggalkan barangku di mobil, dan aku berniat untuk mengambilnya. Tapi Loui tidak mau dan bersikeras ingin menunggu di sini, jadi aku memintanya untuk duduk di sini sebentar sementara aku pergi. Begitu aku kembali, dia sudah tidak ada.”“Astaga, kau seharusnya tidak boleh lengah. Loui itu anak yang tidak bisa diam. Sekarang ayo cari dia sebelum dia melakukan sesuatu yang bisa membahayakannya!” Aiden dan Rhys lantas
“Jadi maksudmu adalah wanita jalang itu tidak sendirian?” Bellatrix mengalihkan perhatiannya pada Ollie. Lelaki itu sudah menjelaskan semuanya, dan begitu Bellatrix mengetahui cerita lengkap dari Ollie, dia segera meminta Ollie pulang.“Betul, nyonya. Dan sepertinya dia yang melindunginya selama ini.”Bellatrix termangu sambil mencerna ucapan Ollie barusan. Dia sungguh tidak menyangka kalau Serena akan memiliki seorang pelindung seperti yang diceritakan Ollie. Siapa pria yang dia maksud sebenarnya? Tidak mungkin itu Rhys, kan?“Aku ingin kau terus memantau Serena! Ikuti dia secara diam-diam dan terus pantau dia. Selain itu, coba juga untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai lelaki yang kau maksud. Cari tahu siapa namanya, bagaimana latar belakangnya, dan berikan aku seluruh detail informasi tentangnya. Pokoknya aku harus tahu semua yang tentang lelaki itu, agar aku bisa menilai apakah pria ini bisa menjadi ancaman atau tidak. Jika dia tidak menjadi ancaman, maka kita aka
Ollie melirik jam di ponselnya. Sudah hampir lewat dari jam pulang kantor, dan wanita yang menjadi targetnya sama sekali belum juga terlihat. Matanya yang terus mengawasi semakin sadar bahwa pegawai kantor yang ada semakin berkurang.Ada yang aneh, sepertinya aku harus memastikannya. Ollie melangkah turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Begitu tiba di dalam, dia dapat melihat beberapa pegawai yang baru tiba di lobi dan sedang berjalan mengarah ke pintu dimana dia datang.Tepat saat matanya mengedar ke sekeliling, Ollie menangkap pemandangan tidak biasa. Matanya melihat seorang pegawai wanita yang berjalan menuju arah yang berbeda dari pegawai yang lain. Begitu diamati lebih seksama, Ollie baru sadar bahwa wanita yang dilihatnya adalah Serena. Orang yang ditunggunya sejak tadi. Sial! Sepertinya dia sudah sadar bahwa aku mengikutinya sejak tadi. Kalau sampai nyonya Bellatrix tahu, maka ini akan menjadi masalah besar. Aku harus segera mengikutinya!Ollie mempercepat langkah kakin
“Aku senang kau datang dengan cepat.” Bellatrix tersenyum sambil menatap Ollie yang kini berdiri di hadapannya. “Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, nyonya?”Bellatrix mengeluarkan ponselnya. Wanita itu lantas menunjukkan foto Serena. “Kau perhatikan wajah wanita ini, dan ingat-ingat wajahnya.”“Bukankah ini adalah—““Ya, ini adalah wanita yang selama ini aku incar!” Bellatrix memotong kalimat Ollie. Membuatnya seketika diam sambil menatap Bellatrix yang tampak kesal. Dari ekspresinya, Ollie bisa melihat bahwa wanita itu benar-benar resah dengan kehadiran Serena. “Wanita itu saat ini ada di dalam, dan tugasmu adalah mengawasinya. Ikuti dia, dan jangan sampai lepas! Begitu kau berhasil menemukan dimana dia tinggal, kau harus segera melaporkannya padaku. Mengerti?”“Baik, nyonya. Saya mengerti.”“Bagus! Aku harus membereskan wanita itu secepatnya agar aku bisa hidup dengan tenang!” Bellatrix beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Ollie seorang diri. Wanita itu berniat untuk pergi bela
Bellatrix melangkah keluar dari dalam toilet dengan perasaan campur aduk. Dia kesal dan marah di saat yang bersamaan saat dugaannya ternyata benar. Wanita yang dia lihat ternyata memang Serena. Orang yang paling dia benci.Sebelum mencapai meja tempatnya dan Shopia menikmati makan siang, dia sempat berhenti sejenak untuk menghubungi seseorang. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan langsung melakukan panggilan telepon. “Ollie, aku memiliki tugas untukmu. Datanglah ke restoran tempatku berada saat ini. Akan langsung aku kirimkan lokasinya!” ujar Bellatrix yang segera memutus sambungan teleponnya begitu selesai bicara dengan anak buahnya. Lalu dengan segera, wanita itu mengirimkan lokasi restorannya berada saat ini.Bellatrix kembali ke mejanya dan melihat Shopia yang baru saja selesai melakukan panggilan telepon dengan seseorang. “Oh, astaga. Maaf karena aku membuatmu menunggu.” Bellatrix duduk di kursinya.“Tidak masalah. Omong-omong apakah setelah ini kau masih memiliki waktu?”“Aku t
“Bibi Hailey!” Loui tersenyum sambil berlari menghampirinya dengan kedua tangan yang terentang. Wanita yang sejak tadi berdiri sambil menunggunya itu lantas berjongkok sambil tersenyum. “Hai, sayang.”Loui memeluk Hailey erat. Dia sungguh senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan bibinya setelah sangat lama mereka tidak bertemu. “Aku sungguh merindukan, bibi.”“Benarkah? Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu selama tinggal di Cybertrone? Kenapa kau tidak pernah mengabariku?”“Dia sibuk sekolah!” Aiden menjawab. Pria yang menjadi kakaknya itu sibuk dengan tablet dan koper besar di tangannya.“Hai, kak! Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Tapi aku sungguh sangat sibuk. Sejak sehari sebelum keberangkatanku kemari, papa terus menghubungiku dan mengatakan banyak hal tentang pemilihan pemimpin baru. Aku sampai merasa muak mendengarnya. Bisakah kau membantuku agar papa berhenti menggangguku? Untuk sekarang aku ingin fokus pada Loui du