Tamara duduk terpaku, pandangannya tak lepas dari jendela pesawat. Awan-awan putih yang bergumpal-gumpal di luar jendela melintas perlahan, seolah mengikuti irama pikirannya yang kalut.Sejak masuk dan duduk di pesawat, benaknya terus dihantui oleh perkataan Lilya. Tamara masih tidak mengerti kenapa Davis berbohong tentang siapa yang sebenarnya menemukan gelangnya. Kenapa suaminya tidak mengakui saja bahwa dialah yang menemukan gelang itu, dan malah menyebut Lilya sebagai orang yang berjasa?Tamara menggeleng pelan, berusaha mengusir kebingungannya. Namun, semakin lama ia mencoba memahami, semakin ia merasa tersesat dalam pikirannya sendiri. Kenapa Davis melakukan itu? Apakah dia hanya ingin membuatku merasa lebih baik? Atau ada alasan lain yang tidak aku ketahui?Di sisi lain, Davis duduk di sampingnya dengan tenang. Namun, tatapan matanya tak lepas dari Tamara. Dia menyadari bahwa istrinya itu terlihat jauh dan terjebak dalam lamunannya. Rasa khawatir mulai muncul di benaknya, dan t
Tamara dan Davis akhirnya tiba di rumah dengan selamat setelah perjalanan panjang dari Aqualuna Isles. Begitu mereka memasuki apartemen, Tamara merasa tubuhnya langsung melemas, lelah setelah perjalanan yang tidak singkat itu. Davis dengan sigap membimbingnya ke ranjang di kamar mereka, memastikan bahwa Tamara bisa beristirahat dengan nyaman.Malam itu, suhu tubuh Tamara sempat naik lagi. Davis segera menyadarinya dan langsung memberikan obat serta menyuruh Tamara untuk kembali beristirahat."Minum obat ini. Jangan sampai kondisimu semakin parah," kata Davis dengan nada tegas, tetapi lembut. Tamara meraih obatnya, dan kembali merebahkan diri di atas ranjang mereka.Setelah pulang kembali ke rumah, Davis dan Tamara memutuskan untuk mengambil satu hari lagi untuk libur agar mereka bisa beristirahat. Mereka perlu memulihkan tenaga mereka sebelum memulai kembali menjalani rutinitas yang sibuk.Setelah satu hari penuh mengambil libur untuk beristirahat, Davis merasa bahwa Tamara sudah terl
Tamara memeluk Dalena erat, merasakan hangatnya pelukan ibunya setelah seminggu lamanya berpisah. Mata Tamara bersinar penuh kebahagiaan, tak bisa menyembunyikan rasa rindu yang selama ini ia pendam.Dalena membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang, senyumnya merekah saat ia akhirnya bisa merasakan putrinya kembali dalam pelukannya. Perasaan cemas yang sempat menghantui pikirannya selama seminggu terakhir perlahan sirna, tergantikan oleh kebahagiaan karena Tamara ternyata baik-baik saja.“Mama sangat senang bisa melihatmu lagi, sayang,” ujar Dalena sambil menepuk-nepuk punggung Tamara dengan lembut. Ada kelegaan yang tak terkatakan dalam suaranya. “Mama sempat khawatir. Entah kenapa, selama seminggu ini mama merasa tidak enak hati.”Tamara tersenyum lembut, melepaskan pelukan itu perlahan. “Aku juga rindu sekali dengan mama. Maaf kalau sempat membuat mama cemas,” katanya sambil menatap Dalena dengan penuh kasih. Ia tahu betul bagaimana ibunya selalu khawatir akan dirinya, dan mes
Davis baru saja kembali ke ruang kerjanya setelah makan siang ketika dia mendapati sosok yang tidak terduga duduk di sofa ruang kerjanya, menunggunya sejak beberapa saat yang lalu.Dominic—ayahnya, tersenyum lebar begitu melihat putranya masuk. Davis sedikit terkejut melihat kehadiran ayahnya yang tak terduga itu. Biasanya, Dominic memberi tahu terlebih dahulu sebelum datang, namun kali ini berbeda."Bagaimana kabar putraku yang baru saja kembali dari bulan madu?" tanya Dominic dengan nada ceria sambil beranjak bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Davis yang masih berdiri di pintu dengan wajah terkejut.Davis menghela napas, mencoba menenangkan diri dari rasa kagetnya. "Dad, kenapa mendadak datang tanpa memberitahu dulu?" tanyanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di belakang kursi.Dominic hanya tertawa kecil dan mengajak Davis untuk duduk. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik. Lagipula, aku sangat penasaran dengan bagaimana bulan madumu bersama T
Davis dan Tamara baru saja selesai bersiap. Dia benar-benar bisa merasakan kegugupan dalam dirinya kian meningkat setiap kali dia ingat kemana mereka akan pergi.Setelah mendengar bahwa mereka akan makan malam bersama Dominic dan Matilda—mertuanya, Tamara berusaha menenangkan diri. Meski sudah pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, malam ini terasa berbeda.Ini adalah pertama kalinya dia bertemu mereka sebagai istri Davis, dan rasa takut membuat kesalahan terus menghantui pikirannya. Tamara khawatir jika dia melakukan sesuatu yang akan mengecewakan mertuanya atau mempermalukan dirinya sendiri serta Davis.Menyadari kegelisahan yang terpancar dari wajah istrinya, Davis menghampiri Tamara yang tengah berdiri di depan cermin sambil merapikan gaunnya. "Kau baik-baik saja?"Tamara menatap suaminya melalui pantulan cermin. "Aku hanya... sedikit khawatir," aku Tamara pelan."Kau tidak perlu khawatir. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lagipula ini hanya makan malam santai. Jadi tidak
Davis dan Tamara terdiam. Saat ini, keduanya berada di balkon, memandangi langit malam yang bertabur bintang.Udara malam yang sejuk membelai wajah mereka, membawa keheningan yang menenangkan setelah makan malam bersama Dominic dan Matilda.Davis menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang tercipta. “Kau hebat,” kata Davis tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh ketulusan. “Kau berhasil membuat hubungan kita terlihat sangat natural di hadapan orang tuaku tadi.”Tamara yang awalnya terfokus pada bintang-bintang di atas, seketika menoleh ke arah Davis. Pujian itu datang begitu tiba-tiba, membuat wajahnya bersemu merah. Ini adalah pertama kalinya Davis memujinya, dan Tamara benar-benar senang mendengarnya. Namun, dia berusaha keras untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaan yang terlalu jelas. Dia hanya tersenyum tipis, berusaha bersikap biasa.“Terima kasih, Davis,” jawab Tamara akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku hanya melakukan yang terbaik agar semuanya berjalan l
Davis mengajak Tamara menuju kamar lamanya. Kamar yang tampak begitu rapi dengan nuansa biru muda menyambut mereka. Tamara terdiam sejenak, memperhatikan setiap sudut ruangan yang terlihat seperti kamar pemuda yang belum menikah. Dindingnya masih dihiasi poster-poster musik dan foto-foto masa remaja Davis, yang tampak tetap terjaga sejak ia terakhir kali tidur di sana.“Kapan terakhir kali kau tidur di kamar ini?” tanya Tamara, penasaran dengan suasana yang begitu nostalgik.Davis menatap ruangan itu sejenak, seolah mengingat kembali kenangan masa lalu. “Terakhir kali aku tidur di sini adalah ketika aku masih SMA. Setelah lulus, aku pergi kuliah di luar negeri dan mulai hidup mandiri. Lalu begitu aku pulang, aku mulai dipercaya untuk membantu daddy menangani perusahaan, dan sejak aku mulai bekerja, aku sudah mulai tinggal sendiri di apartemen yang sekarang kita tinggali.”“Ternyata sudah sangat lama, ya.”“Ya,” jawab Davis sambil duduk di tepi ranjang. “Semuanya di sini tetap sama sej
Davis merasa kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik, Davis akhirnya menghela napas panjang, tanda bahwa dia mulai menyerah. “Baiklah, kau boleh mulai bekerja besok lusa,” katanya dengan nada yang lebih lembut.Tamara menatapnya dengan ekspresi wajah bingung. Dia merasa tidak puas dengan jawaban itu. “Kenapa harus besok lusa? Kenapa bukan besok?” tanyanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar-debar.Davis terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Karena besok kau akan merasa kelelahan dan membutuhkan istirahat yang lebih banyak.”Tamara tampak bingung, dia tidak mengerti dengan ucapan Davis. Tapi tanpa aba-aba, Davis dengan cepat menarik pergelangan tangannya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan spontan jatuh dalam pangkuannya. Tubuhnya terhuyung ke depan, dan sebelum dia sadar apa yang terjadi, dia sudah terduduk di pangkuan Davis.Dalam jarak yang begitu dekat, Tamara dapat merasakan napas hangat Davis di pipinya. Mata mereka bertemu, d