Tamara memeluk Dalena erat, merasakan hangatnya pelukan ibunya setelah seminggu lamanya berpisah. Mata Tamara bersinar penuh kebahagiaan, tak bisa menyembunyikan rasa rindu yang selama ini ia pendam.Dalena membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang, senyumnya merekah saat ia akhirnya bisa merasakan putrinya kembali dalam pelukannya. Perasaan cemas yang sempat menghantui pikirannya selama seminggu terakhir perlahan sirna, tergantikan oleh kebahagiaan karena Tamara ternyata baik-baik saja.“Mama sangat senang bisa melihatmu lagi, sayang,” ujar Dalena sambil menepuk-nepuk punggung Tamara dengan lembut. Ada kelegaan yang tak terkatakan dalam suaranya. “Mama sempat khawatir. Entah kenapa, selama seminggu ini mama merasa tidak enak hati.”Tamara tersenyum lembut, melepaskan pelukan itu perlahan. “Aku juga rindu sekali dengan mama. Maaf kalau sempat membuat mama cemas,” katanya sambil menatap Dalena dengan penuh kasih. Ia tahu betul bagaimana ibunya selalu khawatir akan dirinya, dan mes
Davis baru saja kembali ke ruang kerjanya setelah makan siang ketika dia mendapati sosok yang tidak terduga duduk di sofa ruang kerjanya, menunggunya sejak beberapa saat yang lalu.Dominic—ayahnya, tersenyum lebar begitu melihat putranya masuk. Davis sedikit terkejut melihat kehadiran ayahnya yang tak terduga itu. Biasanya, Dominic memberi tahu terlebih dahulu sebelum datang, namun kali ini berbeda."Bagaimana kabar putraku yang baru saja kembali dari bulan madu?" tanya Dominic dengan nada ceria sambil beranjak bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Davis yang masih berdiri di pintu dengan wajah terkejut.Davis menghela napas, mencoba menenangkan diri dari rasa kagetnya. "Dad, kenapa mendadak datang tanpa memberitahu dulu?" tanyanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di belakang kursi.Dominic hanya tertawa kecil dan mengajak Davis untuk duduk. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik. Lagipula, aku sangat penasaran dengan bagaimana bulan madumu bersama T
Davis dan Tamara baru saja selesai bersiap. Dia benar-benar bisa merasakan kegugupan dalam dirinya kian meningkat setiap kali dia ingat kemana mereka akan pergi.Setelah mendengar bahwa mereka akan makan malam bersama Dominic dan Matilda—mertuanya, Tamara berusaha menenangkan diri. Meski sudah pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, malam ini terasa berbeda.Ini adalah pertama kalinya dia bertemu mereka sebagai istri Davis, dan rasa takut membuat kesalahan terus menghantui pikirannya. Tamara khawatir jika dia melakukan sesuatu yang akan mengecewakan mertuanya atau mempermalukan dirinya sendiri serta Davis.Menyadari kegelisahan yang terpancar dari wajah istrinya, Davis menghampiri Tamara yang tengah berdiri di depan cermin sambil merapikan gaunnya. "Kau baik-baik saja?"Tamara menatap suaminya melalui pantulan cermin. "Aku hanya... sedikit khawatir," aku Tamara pelan."Kau tidak perlu khawatir. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lagipula ini hanya makan malam santai. Jadi tidak
Davis dan Tamara terdiam. Saat ini, keduanya berada di balkon, memandangi langit malam yang bertabur bintang.Udara malam yang sejuk membelai wajah mereka, membawa keheningan yang menenangkan setelah makan malam bersama Dominic dan Matilda.Davis menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang tercipta. “Kau hebat,” kata Davis tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh ketulusan. “Kau berhasil membuat hubungan kita terlihat sangat natural di hadapan orang tuaku tadi.”Tamara yang awalnya terfokus pada bintang-bintang di atas, seketika menoleh ke arah Davis. Pujian itu datang begitu tiba-tiba, membuat wajahnya bersemu merah. Ini adalah pertama kalinya Davis memujinya, dan Tamara benar-benar senang mendengarnya. Namun, dia berusaha keras untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaan yang terlalu jelas. Dia hanya tersenyum tipis, berusaha bersikap biasa.“Terima kasih, Davis,” jawab Tamara akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku hanya melakukan yang terbaik agar semuanya berjalan l
Davis mengajak Tamara menuju kamar lamanya. Kamar yang tampak begitu rapi dengan nuansa biru muda menyambut mereka. Tamara terdiam sejenak, memperhatikan setiap sudut ruangan yang terlihat seperti kamar pemuda yang belum menikah. Dindingnya masih dihiasi poster-poster musik dan foto-foto masa remaja Davis, yang tampak tetap terjaga sejak ia terakhir kali tidur di sana.“Kapan terakhir kali kau tidur di kamar ini?” tanya Tamara, penasaran dengan suasana yang begitu nostalgik.Davis menatap ruangan itu sejenak, seolah mengingat kembali kenangan masa lalu. “Terakhir kali aku tidur di sini adalah ketika aku masih SMA. Setelah lulus, aku pergi kuliah di luar negeri dan mulai hidup mandiri. Lalu begitu aku pulang, aku mulai dipercaya untuk membantu daddy menangani perusahaan, dan sejak aku mulai bekerja, aku sudah mulai tinggal sendiri di apartemen yang sekarang kita tinggali.”“Ternyata sudah sangat lama, ya.”“Ya,” jawab Davis sambil duduk di tepi ranjang. “Semuanya di sini tetap sama sej
Davis merasa kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik, Davis akhirnya menghela napas panjang, tanda bahwa dia mulai menyerah. “Baiklah, kau boleh mulai bekerja besok lusa,” katanya dengan nada yang lebih lembut.Tamara menatapnya dengan ekspresi wajah bingung. Dia merasa tidak puas dengan jawaban itu. “Kenapa harus besok lusa? Kenapa bukan besok?” tanyanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar-debar.Davis terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Karena besok kau akan merasa kelelahan dan membutuhkan istirahat yang lebih banyak.”Tamara tampak bingung, dia tidak mengerti dengan ucapan Davis. Tapi tanpa aba-aba, Davis dengan cepat menarik pergelangan tangannya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan spontan jatuh dalam pangkuannya. Tubuhnya terhuyung ke depan, dan sebelum dia sadar apa yang terjadi, dia sudah terduduk di pangkuan Davis.Dalam jarak yang begitu dekat, Tamara dapat merasakan napas hangat Davis di pipinya. Mata mereka bertemu, d
“Tamara!” seru Matilda.Tamara menoleh ke arah Matilda yang baru saja tiba. Ia benar-benar terkejut mendapati wanita itu sudah berdiri di sana, dan di belakangnya, Davis menyusul dengan ekspresi bingung.Di sisi lain, ekspresi wajah Davis justru tampak jelas menunjukkan rasa penasaran. Dalam benaknya, Davis bertanya-tanya, sejak kapan Tamara mulai bersiap? Padahal beberapa saat yang lalu, ketika ia meninggalkannya sendirian di kamar, Tamara masih terbaring kelelahan. Kebingungan itu jelas tergambar di wajahnya.Matilda melangkah masuk, mendekati Tamara, dan bertanya, "Tamara, apa kau sakit? Davis bilang kau tidak bisa ikut sarapan karena merasa kelelahan?" Matilda segera mengecek suhu tubuh Tamara dengan menempelkan punggung tangannya di kening wanita muda itu.Tamara tersenyum tipis dan menjawab, "Aku baik-baik saja, mom. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku sebetulnya sedang bersiap, dan sebentar lagi akan turun."Matilda menghela napas lega. "Syukurlah, aku khawatir kalau kau sakit
Tamara akhirnya bisa mulai bekerja seperti yang dia harapkan. Setelah pembicaraan dengan Davis dua hari yang lalu, Davis memberinya izin untuk mulai bekerja di kantornya. Namun, seperti kesepakatan yang telah mereka buat sejak awal pernikahan, Tamara dan Davis sepakat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Mereka memastikan tidak ada satu orang pun di kantor yang tahu tentang pernikahan mereka, kecuali Fabio yang memang sudah mengetahui hubungan mereka sejak awal.Pagi itu, Tamara sudah bersiap. Setelah sarapan bersama dengan Davis, mereka berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, Tamara terus mengingatkan Davis untuk menurunkannya beberapa meter sebelum kantor, agar tidak ada yang melihat mereka datang bersama. "Jangan lupa, turunkan aku di tempat yang agak jauh dari kantor," ujar Tamara, suaranya penuh dengan kecemasan."Kau tidak perlu terus mengingatkanku," balasnya sambil tetap fokus mengemudi.Setibanya di depan restoran yang terletak tidak terlalu jauh dari kantor, Davis menepi
Bellatrix menghela napas dalam-dalam. Udara malam yang begitu dingin terasa begitu menusuk hingga membuatnya tidak tahan berlama-lama di luar. Wanita paruh baya itu langsung melangkah masuk ke dalam gedung tempat dimana biasa anak-anak buahnya berkumpul. Tiba di sana, kedatangannya langsung disambut oleh Ollie yang sudah menunggunya sejak tadi.“Selamat malam, nyonya.”“Tidak perlu basa-basi. Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Langsung antarkan saja aku pada mereka!” ucap Bellatrix tanpa menoleh sama sekali. Wanita berpakaian serba hitam itu kini berjalan dengan tergesa-gesa dengan Ollie yang mencoba mengimbangi langkahnya.“Mereka sudah menunggu di ruang biasa, nyonya. Begitu tiba, aku langsung meminta mereka berkumpul di sana sesuai dengan permintaan anda.”“Bagus! Lalu bagaimana dengan tugas lain yang aku berikan padamu?”“Saya sudah berhasil mendapatkan informasi yang anda minta. Hanya saja…, ada beberapa hal, nyonya,” gumam Ollie dengan kepala tertunduk. Bellatrix yang mendeng
“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku, sayang?” Bellatrix menatap wanita di hadapannya dengan raut wajah bingung. Tidak biasanya wanita di hadapannya ini memasang ekspresi serius seperti ini.“Kau sudah tahu kalau dia kembali, kan?” Hailey melontarkan pertanyaan retoris. Bellatrix sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Akan tetapi, walau terlihat begitu jelas, dia masih tetap berusaha untuk tenang seolah tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya.“Apa maksudmu?”“Kau tahu apa maksudku. Orang yang selama ini menjadi penghalang! Kau sudah tahu dia kembali, kan? Maka dari itu, kau meneleponku kemarin, ya kan?” Hailey menatap wajah Bellatrix intens. Dugaannya tidak akan mungkin salah. Bellatrix pasti sudah bertemu dengan Serena. Itulah kenapa dia meneleponnya kemarin.“I-Itu…, darimana kau tahu? Apakah jangan-jangan kau…”“Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Sekarang aku mengerti alasan kenapa kau menghubungiku kemarin. Itu pasti karena kau suda
Hugh terdiam memandang Serena yang kini duduk di hadapannya sambil melahap makanan yang baru saja di sajikan di hadapan mereka. “Bagaimana? Kau menyukainya?” tanya Hugh, sambil menunggu respon darinya.Serena mengunyah makanan di mulutnya sebelum mengutarakan pendapatnya. “Ini enak. Aku menyukainya.” Serena tersenyum simpul.“Sudah aku duga kau pasti akan menyukainya!”“Darimana kau tahu ada restoran seenak ini?”“Aku tidak sengaja menemukannya ketika aku dan Shawn pergi ke taman hiburan beberapa waktu lalu. Tempat ini sangat ramai, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk berkunjung ke sini. Selain itu, aku juga sempat melihat review di internet tentang restoran ini, dan ternyata memang bagus.”“Oh, begitu… tapi ini sungguh enak!” Serena kembali melahap makanannya. Sekarang ini, Serena dan Hugh sedang berada di restoran. Mereka sedang menikmati waktu makan siang bersama. Saat di rumah, Hugh melihat Serena sangat kelelahan dengan pekerjaannya, dan karena sudah saatnya jam makan siang,
“Kalau begitu, saya permisi.” Aiden tersenyum lantas berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Dia berniat untuk menemui putrinya sebelum meninggalkannya, dan membiarkan dia belajar bersama teman-teman barunya.Langkah Aiden mendadak terhenti saat dia melihat Rhys yang berdiri di koridor dengan wajah panik. Pria itu tampak kebingungan mencari sesuatu. Karena tidak melihat Loui bersamanya, Aiden bergegas menghampiri pria itu. “Rhys!”“Aiden, gawat!” Rhys mendekat dengan wajah cemas. “Loui hilang.”“Apa?” Aiden membelalakan mata begitu mendengar penuturannya barusan. “Tadi aku meninggalkan barangku di mobil, dan aku berniat untuk mengambilnya. Tapi Loui tidak mau dan bersikeras ingin menunggu di sini, jadi aku memintanya untuk duduk di sini sebentar sementara aku pergi. Begitu aku kembali, dia sudah tidak ada.”“Astaga, kau seharusnya tidak boleh lengah. Loui itu anak yang tidak bisa diam. Sekarang ayo cari dia sebelum dia melakukan sesuatu yang bisa membahayakannya!” Aiden dan Rhys lantas
“Jadi maksudmu adalah wanita jalang itu tidak sendirian?” Bellatrix mengalihkan perhatiannya pada Ollie. Lelaki itu sudah menjelaskan semuanya, dan begitu Bellatrix mengetahui cerita lengkap dari Ollie, dia segera meminta Ollie pulang.“Betul, nyonya. Dan sepertinya dia yang melindunginya selama ini.”Bellatrix termangu sambil mencerna ucapan Ollie barusan. Dia sungguh tidak menyangka kalau Serena akan memiliki seorang pelindung seperti yang diceritakan Ollie. Siapa pria yang dia maksud sebenarnya? Tidak mungkin itu Rhys, kan?“Aku ingin kau terus memantau Serena! Ikuti dia secara diam-diam dan terus pantau dia. Selain itu, coba juga untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai lelaki yang kau maksud. Cari tahu siapa namanya, bagaimana latar belakangnya, dan berikan aku seluruh detail informasi tentangnya. Pokoknya aku harus tahu semua yang tentang lelaki itu, agar aku bisa menilai apakah pria ini bisa menjadi ancaman atau tidak. Jika dia tidak menjadi ancaman, maka kita aka
Ollie melirik jam di ponselnya. Sudah hampir lewat dari jam pulang kantor, dan wanita yang menjadi targetnya sama sekali belum juga terlihat. Matanya yang terus mengawasi semakin sadar bahwa pegawai kantor yang ada semakin berkurang.Ada yang aneh, sepertinya aku harus memastikannya. Ollie melangkah turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Begitu tiba di dalam, dia dapat melihat beberapa pegawai yang baru tiba di lobi dan sedang berjalan mengarah ke pintu dimana dia datang.Tepat saat matanya mengedar ke sekeliling, Ollie menangkap pemandangan tidak biasa. Matanya melihat seorang pegawai wanita yang berjalan menuju arah yang berbeda dari pegawai yang lain. Begitu diamati lebih seksama, Ollie baru sadar bahwa wanita yang dilihatnya adalah Serena. Orang yang ditunggunya sejak tadi. Sial! Sepertinya dia sudah sadar bahwa aku mengikutinya sejak tadi. Kalau sampai nyonya Bellatrix tahu, maka ini akan menjadi masalah besar. Aku harus segera mengikutinya!Ollie mempercepat langkah kakin
“Aku senang kau datang dengan cepat.” Bellatrix tersenyum sambil menatap Ollie yang kini berdiri di hadapannya. “Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, nyonya?”Bellatrix mengeluarkan ponselnya. Wanita itu lantas menunjukkan foto Serena. “Kau perhatikan wajah wanita ini, dan ingat-ingat wajahnya.”“Bukankah ini adalah—““Ya, ini adalah wanita yang selama ini aku incar!” Bellatrix memotong kalimat Ollie. Membuatnya seketika diam sambil menatap Bellatrix yang tampak kesal. Dari ekspresinya, Ollie bisa melihat bahwa wanita itu benar-benar resah dengan kehadiran Serena. “Wanita itu saat ini ada di dalam, dan tugasmu adalah mengawasinya. Ikuti dia, dan jangan sampai lepas! Begitu kau berhasil menemukan dimana dia tinggal, kau harus segera melaporkannya padaku. Mengerti?”“Baik, nyonya. Saya mengerti.”“Bagus! Aku harus membereskan wanita itu secepatnya agar aku bisa hidup dengan tenang!” Bellatrix beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Ollie seorang diri. Wanita itu berniat untuk pergi bela
Bellatrix melangkah keluar dari dalam toilet dengan perasaan campur aduk. Dia kesal dan marah di saat yang bersamaan saat dugaannya ternyata benar. Wanita yang dia lihat ternyata memang Serena. Orang yang paling dia benci.Sebelum mencapai meja tempatnya dan Shopia menikmati makan siang, dia sempat berhenti sejenak untuk menghubungi seseorang. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan langsung melakukan panggilan telepon. “Ollie, aku memiliki tugas untukmu. Datanglah ke restoran tempatku berada saat ini. Akan langsung aku kirimkan lokasinya!” ujar Bellatrix yang segera memutus sambungan teleponnya begitu selesai bicara dengan anak buahnya. Lalu dengan segera, wanita itu mengirimkan lokasi restorannya berada saat ini.Bellatrix kembali ke mejanya dan melihat Shopia yang baru saja selesai melakukan panggilan telepon dengan seseorang. “Oh, astaga. Maaf karena aku membuatmu menunggu.” Bellatrix duduk di kursinya.“Tidak masalah. Omong-omong apakah setelah ini kau masih memiliki waktu?”“Aku t
“Bibi Hailey!” Loui tersenyum sambil berlari menghampirinya dengan kedua tangan yang terentang. Wanita yang sejak tadi berdiri sambil menunggunya itu lantas berjongkok sambil tersenyum. “Hai, sayang.”Loui memeluk Hailey erat. Dia sungguh senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan bibinya setelah sangat lama mereka tidak bertemu. “Aku sungguh merindukan, bibi.”“Benarkah? Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu selama tinggal di Cybertrone? Kenapa kau tidak pernah mengabariku?”“Dia sibuk sekolah!” Aiden menjawab. Pria yang menjadi kakaknya itu sibuk dengan tablet dan koper besar di tangannya.“Hai, kak! Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Tapi aku sungguh sangat sibuk. Sejak sehari sebelum keberangkatanku kemari, papa terus menghubungiku dan mengatakan banyak hal tentang pemilihan pemimpin baru. Aku sampai merasa muak mendengarnya. Bisakah kau membantuku agar papa berhenti menggangguku? Untuk sekarang aku ingin fokus pada Loui du