Hans mengejar Madeline yang sudah keluar dari butik.
"Kamu marah?" tanya Hans saat berhasil menyamakan langkah mereka.
Madeline memalingkan wajah menatap Hans. Pria itu terlihat berbeda dari biasanya. Malam ini, rambutnya tersisir rapi dan mengenakan kemeja hitam slim fit dengan celana jeans pudar. Tampan dan muda, itu yang dapat mewakili penampilan pria itu.
"Apakah harus memulai rumor seperti itu?" tanya Madeline sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Rumor sudah dimulai sejak satu bulan yang lalu. Lagipula, apa yang aku katakan tadi benar apa adanya," jawab Hans santai.
Madeline kehilangan kata-kata dan tidak tahu harus berkata apa. Apakah harus melontarkan penolakan lagi? Bukankah seharusnya pria itu sudah tahu apa jawabannya? batin Madeline yang berhenti melangkah dan menatap Hans dengan melotot.
"Kamu sangat cantik malam ini," ujar Hans. Ya, Madeline sangat cantik malam ini. Gaun hitam itu melekat sempur
Madeline memoles kembali bibirnya. Beruntung tadi dirinya mengambil lipstik ini dari si penata rias. Ini baru dan Madeline menyukai warnanya. Yang diambilnya hanya satu lipstik ini.Setelah lipstik terpoles sempurna, Madeline merapikan rambutnya yang sedikit kusut. Madeline berusaha menguasai dirinya. Ciuman tadi cukup berpengaruh dan jantungnya masih berdebar. Tidak! Dirinya tidak boleh terpengaruh. Hanya ciuman, tidak lebih! Madeline berusaha meyakinkan dirinya. Lagipula, dirinya tidak tahu sudah berapa banyak wanita yang dicium oleh Hansen Qin. Mengingat kemungkinan itu, membuat Madeline mual. Seketika itu juga, dirinya tidak lagi merasa salah tingkah, melainkan sedikit kesal karena pria itu menciumnya tanpa izin.Berhasil mengendalikan diri, Madeline akhirnya keluar dari kamar mandi. Hans masih berdiri di tempat yang sama dan kembali mengulurkan tangan. Namun, kali ini Madeline tidak menyambut, melainkan menyerahkan kantongan butik kepada pria itu dan b
Max menarik tangan Madeline di sepanjang koridor yang mereka lewati untuk mencapai lift. Madeline berusaha melepaskan tangannya, tetapi hal itu membuat cengkeraman pria itu semakin erat.Tepat di depan lift, Madeline menghentakkan tangannya dengan kuat dan itu terlepas.Max menatap tajam ke arah perempuan itu, berpikir Madeline hendak melarikan diri. Namun, Madeline tetap berdiri di sisinya dan menarik kesal jas yang tersampir di pundaknya, hingga lepas."Ini! Aku tidak perlu ini!" ujar Madeline ketus dan menyodorkan jas itu tepat ke depan wajah Maximilian Qin.Max tidak menerima jas itu dan memalingkan wajahnya menatap ke layar digital petunjuk lift di hadapan mereka.Madeline kesal dan berpikir, apakah jas ini akan dibuang ke lantai. Namun, mengingat betapa mahal semua barang yang melekat pada pria itu, membuatnya mengurungkan niat itu. Ya, Madeline tidak mau menambah daftar hutangnya."Kita tidak bisa m
Madeline membanting pintu kamar mandi cukup kuat, di belakangnya. Apa yang salah dengannya? Madeline menyentuh pipinya yang terasa memanas. Di usianya yang sudah kepala tiga, tidak seharusnya masih begitu terpengaruh. Ciuman dengan Hans kembali berputar di benaknya dan itu membuat wajahnya kembali merah padam.Buru-buru, Madeline membasuh wajahnya dengan air dingin. Setelah merasa tenang, Madeline melepaskan gaun hitamnya dan diganti dengan kaos tadi. Kaos itu menelan tubuhnya dengan panjang mencapai lutut, ini cukup sopan. Jauh lebih sopan, dibandingkan dengan gaunnya tadi.Dengan langkah lebar, Madeline melangkah keluar dari kamar mandi. Melihat ke sekeliling kamar, tetapi tidak menemukan Max. Di mana pria itu? batinnya.Buru-buru, Madeline keluar dari kamar dan mendapati Max sudah berdiri di tengah ruang tamu, menatapnya.Madeline mengabaikan tatapan itu dan melangkah ke dapur. Mulai mengumpulkan bahan yang akan digunakan. Jumla
Pukul 9 lewat sedikit, Madeline sudah berada di dalam lift, turun ke lantai 20, ruang kerja Max. Penampilannya menakjubkan, setelan merah ini memeluk sempurna tubuhnya. Membuat penampilan terlihat layaknya eksekutif profesional. Untuk rambut, Madeline mengikatnya menjadi sanggul sederhana dan masih menggunakan sumpit kemarin untuk menahannya. Kantongan miliknya berada di tempat tinggal Max, jadi dirinya dapat menggunakan lipstik merah itu.DINGGG!Pintu lift terbuka dan dengan langkah penuh percaya diri, Madeline melangkah masuk.Jay ada di sana, beserta beberapa pengawal. Tatapan mereka menunjukkan kekaguman. Sebelumnya, mereka sudah tahu betapa hebat tindakan Madeline dalam mengusir wanita-wanita Tuan mereka. Apalagi saat ini, selain penampilannya yang berubah drastis, mereka juga tahu semalam Madeline bermalam di kamar Tuan mereka. Yang mana, belum pernah ada satu wanita pun yang memiliki keberuntungan itu. Mereka yakin, Madeline akan menjad
Madeline duduk di samping Max dengan Jay yang mengemudi. Tentu, di belakang mereka ada mobil lain yang mengkawal pewaris Keluarga Qin ini."Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?" tanya Max tanpa menatap Madeline."Ehm, sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan!" seru Madeline."Katakan," jawab Max, kali ini dirinya memalingkan wajah menatap wanita yang duduk di sampingnya."Aku tahu keberadaanku di sini adalah karena hutang David Kang. Jika Anda puas dengan apa yang aku lakukan tadi, maka apakah aku dapat bekerja untuk Anda? Maksudnya, jika aku resmi bekerja maka akan ada gaji yang dapat Anda potong, untuk pelunasan hutang."Max mengangguk. Madeline sedikit tersenyum melihat reaksi positif pria itu, secercah harapan tumbuh di dalam hatinya.Max menatap untuk sepersekian detik ke arah lesung pipi yang terlihat di wajah itu dan terpana. Saat lesung pipi itu tidak lagi terlihat, barulah Max berkata, "Apakah kam
DING!Pintu lift terbuka dan itu Hansen Qin, yang melangkah masuk ke dalam ruang kerja.Madeline mengangkat wajah dan mendapati itu Hans, lalu langsung berdiri. Ada sedikit rasa bersalah, karena kemarin malam Madeline meninggalkan Hans sendirian di acara reuni itu."Hans, maafkan soal semalam!" ujar Madeline yang sudah berada di hadapan Hans.Hans mengangguk dan menjawab, "Bukan salahmu."Hans tersenyum lembut saat melihat wanita itu. Seperti biasa, Madeline terlihat memukau terlepas dari penampilannya sekarang."Apa yang kalian lakukan?" tanya Hans yang tidak ingin membahas masalah kemarin malam.Setelah Madeline meninggalkan acara reuni itu, Hans juga melakukan hal yang sama. Dirinya kembali ke kamar dan menghabiskan berbotol-botol wiski, yang membuatnya langsung terlelap sampai pagi."Kemarilah," ajak Madeline dan berjalan kembali ke arah sofa.Madeline kembali duduk di
Di dalam mobil, akhirnya Max menyerah dan bertanya, "Apa yang dilakukan mereka?"Menjaga raut wajah sedatar mungkin, Jay menjawab, "Nona Madeline menolak pernyataan cinta Tuan Hans dan mengatakan bahwa ciuman semalam terjadi karena, dirinya yang kurang mendapat perhatian dari seorang pria."Barulah, seulas senyum menghiasi wajah tampan itu. Jay, melihat bagaimana Tuannya tersenyum dan ikut tersenyum. Jay tahu, Tuannya tidak seperti yang terlihat dan sisi itu muncul, saat berhadapan dengan Madeline Lu."Tuan Robert Qin, hendak bertemu dengan Tuan," ujar Jay. Ya, Jay tahu nama sang ayah Tuannya itu, akan membuat suasana hati Tuannya memburuk. Namun, sekretaris Tuan Besar sudah begitu sering menghubungi dirinya, semua terkait dengan acara ulang tahun perusahaan yang akan segera tiba. Ini kali pertama bagi Tuannya untuk muncul di depan publik."Tidak perlu! Katakan padanya, bahwa aku akan bertemu dengannya saat acara itu berlangsung!" tegas Max. D
Max memundurkan kursinya dan langsung berdiri."Madeline, ayo!" perintah Max sambil merapikan jas dan langsung berbalik, melangkah keluar dari restoran.Bukankah sudah tidak ada pertemuan apa pun lagi? batin Madeline. Tapi, siapa yang tahu akan apa isi pikiran bosnya itu. Mematuhi perintah, Madeline buru-buru membersihkan bibirnya menggunakan serbet dan langsung berdiri, mengejar pria itu.Anna Chu sedikit kesal dengan sikap acuh tak acuh pria itu. Namun, pria yang ada dihadapannya juga merupakan salah satu pewaris Keluarga Qin. Lalu, Anna Chu memfokuskan tatapannya ke arah pria di hadapannya. Kedua pria Qin sama tampan, Maximillian mencerminkan maskulinitas dan Hansen mencerminkan pemuda tampan yang manis. Dua-duanya amat menarik."Kamu Hansen Qin, bukan? Perkenalkan aku Anna Chu."Anna Chu memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Hans.Hans mengabaikan uluran tangan itu dan berdiri dari dud
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me