Max memundurkan kursinya dan langsung berdiri.
"Madeline, ayo!" perintah Max sambil merapikan jas dan langsung berbalik, melangkah keluar dari restoran.
Bukankah sudah tidak ada pertemuan apa pun lagi? batin Madeline. Tapi, siapa yang tahu akan apa isi pikiran bosnya itu. Mematuhi perintah, Madeline buru-buru membersihkan bibirnya menggunakan serbet dan langsung berdiri, mengejar pria itu.
Anna Chu sedikit kesal dengan sikap acuh tak acuh pria itu. Namun, pria yang ada dihadapannya juga merupakan salah satu pewaris Keluarga Qin. Lalu, Anna Chu memfokuskan tatapannya ke arah pria di hadapannya. Kedua pria Qin sama tampan, Maximillian mencerminkan maskulinitas dan Hansen mencerminkan pemuda tampan yang manis. Dua-duanya amat menarik.
"Kamu Hansen Qin, bukan? Perkenalkan aku Anna Chu."
Anna Chu memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Hans.
Hans mengabaikan uluran tangan itu dan berdiri dari dud
Madeline memalingkan wajah dan menatap keluar jendela mobil. Jantungnya masih berdegup kencang. Ini gila, dirinya terlalu terpengaruh.Dari pantulan kaca jendela, Madeline dapat melihat wajah pria itu yang terlihat biasa saja. Ya, mungkin ini adalah hal yang biasa bagi Max.Madeline berhasil mengendalikan perasaannya dan berpikir, sudah saatnya untuk sadar. Sadar akan keberadaannya, yang hanya merupakan jaminan hutang suami brengseknya. Kalaupun Max tertarik padanya, itu pasti karena penampilan barunya dan setelah itu apa? Tidak akan ada apa-apa, selain Madeline masuk dalam deretan mantan kekasih pria itu.Hari-hari berikutnya, cukup sibuk. Sebab, kabar akan keterlibatan Maximillian Qin dalam acara tahunan itu sudah tersebar. Ini kali pertama bagi Max tampil di depan umum. Biasanya, para reporter hanya dapat mengambil foto pria itu saat terlibat cinta kilat dengan para artis. Tentu, kesempatan kali ini amat langka dan akan digunakan sebaik mung
Max tidak bergeming, itu tidak sesuai dengan perkiraan Madeline. Wajah mereka begitu dekat dan tatapan Max seakan menghipnotis.Saat itulah, pintu ruangan itu terbuka dan Jay berkata, "Tuan Besar sudah tiba, beliau.... Maaf!"Setelah sadar apa yang sedang terjadi antara Tuannya dengan Madeline, Jay langsung berbalik dan keluar dari ruangan itu. Ya, jika dilihat dari jauh, mereka terlihat seperti sedang berciuman. Bukankah ini langkah besar? Selama mengikuti Tuannya itu, Jay belum pernah melihatnya mencium wanita.Suara Jay sudah menyadarkan Madeline dari tatapan hipnotis pria itu. Madeline mundur satu langkah dan berkata, "Bukankah itu artinya kita sudah harus berangkat?""Ehem! Ya!"Max langsung berjalan ke arah pintu dan keluar, Madeline mengikuti.Dirinya hampir mencium wanita itu. Dorongan itu amat besar. Namun, rasa takut akan akibatnya amat mengganggu dan membuat Max ragu. Dirinya selalu merasa jijik saat memikirkan t
Akhirnya, Max melonggarkan pelukannya, tetapi tidak melepaskannya. Mengangkat wajah dan menatap wanita yang ada di hadapannya."Ayo, kamu harus memberikan kata sambutan untuk acara ini. Apakah kamu bisa?" tanya Madeline.Madeline tidak akan bertanya apakah pria itu baik-baik saja. Sebab, sudah pasti pria itu tidak baik-baik saja."Apakah kamu bisa?" tanya Madeline kembali.Max memejamkan mata untuk sesaat. Mencoba mencerna perasaannya saat ini. Namun, saat ini sama sekali tidak ada sedikitpun rasa khawatir atau cemas dalam hatinya."Jika kamu berkenan, aku akan ikut naik ke atas panggung bersamamu. Kamu dapat memperkenalkan diriku sebagai sekretaris. Wajar bagi seorang sekretaris mendampingi bosnya bukan?" ujar Madeline, menawarkan diri."Semua orang tahu siapa kamu!" balas Max. Madeline cukup terkenal dengan ucapannya yang langsung menusuk dan tanpa ampun. Ya, seperti itulah wanita itu di ruang rapat, mew
Max menatap Madeline. Tangan hangat wanita itu menangkup wajahnya dan mereka begitu dekat."Kamu mengerti?" bisik Madeline sekali lagi.Max tersenyum. Dirinya sudah tahu akan jebakan itu. Jebakan disiapkan oleh, orang-orang yang membencinya. Max, sudah memiliki rencana bagaimana menghadapi wanita sewaan itu. Wanita itu seharusnya dihentikan saat tiga langkah mencapai dirinya. Para pengawal sudah bersiaga di sana dan hanya tinggal mengikuti instruksi. Jika wanita itu ditangkap, maka akan membawanya kepada dalang rencana busuk ini. Trauma miliknya hanya diketahui oleh keluarga inti. Ini artinya, ada anggota keluarga yang membocorkan rahasianya itu.Namun, yang tidak diperhitungkan adalah penolong dadakan. Madeline Lu.Max tersenyum dan berkata, "Mari kita tunjukkan apa yang ingin mereka lihat!"Belum sempat mencerna apa maksud perkataan pria itu, Madeline merasakan tangan Max melingkari pinggangnya. Menarik tubuhnya semakin me
Handuk kecil itu dibasahi dengan air hangat. Lalu, menggunakan handuk itu, Madeline mulai menggosok lembut seluruh tubuh dan wajah pria itu, kemudian mengeringkannya dengan handuk kering. Dulu, ya dulu, saat bayinya demam tinggi, hal ini juga dilakukannya untuk menurunkan suhu tubuh.Setelah beberapa waktu, tubuh pria itu tidak lagi begitu panas."Max! Max!" Kembali Madeline mencoba membangunkan pria itu.Kali ini, Max membuka matanya dan menatap Madeline. Pria itu terlihat lemah dan masih pucat pasi."Bisakah kamu berdiri? Aku akan memindahkan dirimu ke kamar," jelas Madeline.Max mengangguk pelan dan berusaha berdiri. Madeline membantu pria itu dengan menggunakan tubuhnya sebagai penyangga.Tangan Madeline melingkari pinggang pria itu, yang tidak terlapisi pakaian. Saat ini, Max bertelanjang dada dan Madeline menempel di kulit yang hangat itu.Perlahan, mereka berjalan ke arah kamar dan Made
Max hanya mengangguk. Pertemuan yang tidak lagi dapat ditunda, tetapi kali ini Max sama sekali tidak memiliki rasa khawatir. Apakah dirinya telah sembuh? batin Max, sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya.Madeline Lu, wanita pertama yang diciumnya. Madeline Lu, juga wanita pertama yang tidur di sampingnya. Ya, banyak wanita yang telah bercinta dengannya, tetapi hanya sebatas seks dan setelah selesai, maka Max membayar dan meninggalkan mereka.Seulas senyum terpatri di wajah tampan itu dan senyum itu, terlihat jelas oleh Madeline."Apakah suasana hatimu begitu baik?" tanya Madeline yang ikut tersenyum."Ya," jawab Max."Setelah sarapan, bersiaplah. Ikut aku ke rumah besar," ujar Max santai.Madeline mengangguk dan berpikir, dirinya mendampingi pria itu sebagai sekretaris. Namun, kenyataannya adalah Madeline telah menjadi bagian penting dalam kehidupan Maximillian Qin dan karena alasan itulah, Max akan mem
BRAKKK!Robert Qin memukul meja begitu kuat, kesal dan marah."Aku tidak peduli dengan mainanmu! Namun, sebagai pewaris Keluarga Qin, kamu memiliki tanggung jawab! Dan, wanita yang berhak mendampingi dirimu, adalah mereka yang sejajar dengan kita!" amuk Robert.Ha ha ha!Max tertawa dingin dan berdiri dari duduknya, merapikan jasnya."Jika begitu, aku tidak akan menikah! Bukankah Anda sudah menerima hal itu sebelumya? Jadi, dengan sedikit kesembuhan yang aku miliki, Anda menjadi tamak?" tanya Max dingin."KAU...!" maki Robert sambil memegang dadanya yang mulai sesak."Jika ini tujuan Anda memintaku kemari, maka Anda pasti kecewa!" balas Max dan berderap keluar dari ruang tamu, dengan kesal."Tuan, ini obat Tuan!" Sekretaris Robert, segera berlari masuk dengan obat-obatan Tuannya.Robert segera menerima pil-pil itu dan menelan semuanya, sekaligus. Setelah merasa tenang
Max menarik napas dalam, berusaha mendapatkan ketenangannya kembali. Kedua tangannya menyisir rambutnya ke belakang.Ya, seharusnya saat ini Max sedang makan malam dengan klien penting, tetapi dirinya pamit sebelum acara makan malam itu selesai. Max merasa muak, saat klien itu terang-terangan menggoda dirinya. Biasanya, hal itu tidak akan mengganggunya. Bahkan, terkadang Max akan dengan senang hati, melanjutkan lebih jauh setelah makan malam usai. Namun, tidak hari ini.Pikirannya hanya dipenuhi oleh Madeline Lu. Dirinya ingin segera bertemu dengan wanita itu dan tanpa pikir panjang, langsung memutuskan untuk pergi ke kamar Madeline. Beruntung, Max melakukan hal tersebut.Saat melihat bagaimana wanita itu gemetar ketakutan, berlinang air mata sambil mengulurkan tangan padanya, hal itu membuat Max menggila. Sudah lama tangannya tidak pernah menghajar seseorang. Biasanya, akan ada Jay maupun pengawal lain yang akan melakukan hal tersebut untuknya
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me