Sekeras apapun Renata menepis mengenai Noah, tapi hati seorang ibu pastinya akan melunak kalau masalah anak.Dada Renata rasanya begitu sesak. "Izinkan aku menggendongnya untuk yang terakhir kali, Bi."Melihat hal itu, Darren memalingkan wajahnya dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Dia tahu, di dalam hati Renata pastinya berat meninggalkan Noah seperti ini."Jadilah anak yang baik, dan nurutlah pada Papa Darren," ujar Renata pelan sambil mencium pipi Noah untuk yang pertama dan terakhir kalinya.Dengan sekuat tenaga dia menahan air matanya, namun nyatanya bulir-bulir bening itu tetap tidak bisa di tahannya.Bahkan Renata tidak tahu mengapa dia menangis, padahal selama ini dia tidak pernah peduli dengan Noah. Namun ternyata hatinya berkata lain, tanpa dia sadari, hatinya telah terpaut."Ayo, aku tidak mau terlalu buru-buru," ujar Renata kemudian yang mengajak Darren untuk segera pergi menuju bandara.Darren hanya menganggukkan kepalanya dan tidak banyak bicara. Keduanya mu
“Tidak ada,” jawab Darren dengan tegas.Jawaban Darren sudah pasti membuat Martano marah besar, dia selalu merasa muak saat melihat wajah Darren. Apalagi Darren yang tidak pernah bisa menghargainya.“Mana Renata?!” tanya Martano lagi dengan berteriak. Dia merasa dipermainkan oleh Darren.“Sudah aku antar! Sesuai dengan perintah bapak kalau hari ini aku harus mengantarkan Renata,” jawab Darren dengan santai.“Kau antar kemana, hah?!” tanya Martano lagi.“Bandara,” Jawab Darren datar.Martano semakin meradang mendengar apa yang Darren ketakan, dengan beraninya dia mengatakan mengantarkan Renata ke bandara. Dan itu pastinya akan membuat Martano naik pitam.Martano mengangkat tangannya untuk menampar Darren. Dan Darren pastinya sudah siap dengan semua itu, matanya menatap tajam kearah sang mertua hingga membuat Martano kembali menurunkan tangannya.“Kau mempermainkanku? Aku meminta kau mengantarkan Renata kembali ke rumahku. Dan sekarang mengapa kau mengantarkannya ke bandar. Apa kau piki
"Ini dari siapa?" tanya Darren yang seperti orang bodoh, padahal dia sendiri sudah membaca kop surat tersebut."Mungkin dari instansi terkait, Pak. Saya hanya mengantarkan saja," jawab sang kurir yang kemudian berpamitan meninggalkan Darren yang tampak lemas setelah menandatangani bukti penerimaan kiriman itu.Darren menggenggam erat surat tersebut, dia sudah bisa menebak isinya.Iya, Darren menerima surat yang dikirimkan dari pengadilan tinggi. Dan itu sepertinya adalah surat perceraian."Kau benar-benar serius ingin kita bercerai, Renata?" tanya Darren pelan.Rasanya Darren tidak percaya kalau Renata akan mengajukan gugatan cerai kepadanya dalam waktu yang sangat dekat. Apalagi Renata yang katanya akan pergi keluar negeri, ternyata dia masih sempat mengurus perceraian mereka.“Ada apa, Nak?”Amina yang melihat Darren tampak rapuh dan tidak bersemangat itu mendekat. Dia tidak tahu apa yang terjadi kepada Darren setelah menerima paket yang diantarkan oleh kurir tadi.“Ibu….” Darren se
“Kurangajar! Kau pasti berbohong!” teriak Martano marah.Ternyata Darren menelepon Martano, dia mengabarkan kalau saat ini Renata telah menceraikannya. Bahkan agar Martano percaya dengan apa yang dia katakan Darren mengirimkan foto surat keputusan yang dia terima.“Bukankah sudah jelas, aku kirimkan beserta foto surat dari pengadilan?” tanya Darren sambil menyunggingkan senyumannya.Saat ini Darren membayangkan bagaimana reaksi Martano saat tahu kalau Darren dan Renata sudah bercerai, dan hingga saat ini dia tidak bisa melacak keberadaan Renata.Renata memang hilang bak di telan bumi, bahkan surat yang dikirimkan kepada Darren itu tanpa nama pengirim. Sepertinya Renata belum benar-benar pergi dari negeri ini. Dia pastinya masih disibukkan mengurus perceraian itu. Darren juga tidak tahu apa yang Renata rencanakan.“Bisa saja kau palsukan!” teriak Martano yang masih tidak percaya kepada Darren.“Hah? Aku bukanlah orang yang suka memalsukan dokumen hanya untuk kepentingan diri sendiri!”
Uhuk!Amina terbatuk mendengar apa yang Darren katakan. Sebab hal itu pastinya sangat tidak mungkin. "Itu tidak mungkin, Darren. Panti sudah dijadikan tempat panti pijat seperti itu. Dan juga kita tidak mungkin bisa melawan konglomerat," jawab Amina dengan menggelengkan kepalanya.“Kalau bisa?” tanya Darren terus mengejar Amina dengan pertanyaannya.Amina menggelengkan kepalanya, dia tidak mau Darren mengambil langkah gegabah demi untuk mendapatkan kembali semua yang sudah dia ikhlaskan. “Jangan lakukan itu.”Darren mengernyitkan keningnya, dia heran mengapa Amina tampaknya sangat ketakutan. “Kenapa?”“Semua pastinya akan menyulitkan kamu dan membuat kamu bermasalah dengan orang lain. Ibu tidak mau hak itu terjadi, dan juga kita sudah cukup lama pergi dari sana. Bahkan mungkin bangunan panti yang dulu saja sudah hilang,” jawab Amina memaksakan senyum terkembang dari bibirnya.Walaupun sebenarnya begitu banyak kenangan bagi Amina di rumah tersebut. Rumah itu awalnya adalah rumah kecil
Hari ini, Darren kembali ke daerah dimana dulu panti milik Amina berdiri. Dia melihat bangunan lama yang kini telah menjadi panti pijat itu. Padahal dulunya itu adalah panti asuhan yang berisi anak-anak yang kurang beruntung.“Namanya masih panti, tapi fungsinya sudah berbeda. Dulu pengasuhnya adalah ibu kami seorang diri, yaitu ibu Amina. Dan sekarang lihatlah pengasuh orang-orang yang datang ke panti itu, mereka semua seksi dan muda-muda. Kenapa harus dijadikan panti pijat?” tanya Darren sambil menggelengkan kepalanya.Darren melihat bangunan itu dari seberang panti tersebut dari dalam mobilnya. Dia melihat begitu banyak orang yang keluar masuk panti. Dan rata-rata yang masuk adalah lelaki paruh baya. Karena memang panti pijat itu terkenal dengan layanan plus-plusnya dengan kumpulan perempuan-perempuan cantik dengan pakaian minim.“Beruntungnya aku bertemu dengan ibu, beliau merawatku seperti anaknya sendiri. Jasa papa begitu dikenang, sehingga dalam kesulitan pun ibu tetap membawak
Tin! Tin!Suara klakson memekakkan telinga. Entah mengapa, semua orang begitu senang membunyikan klaksonnya.“Astaga! Mereka kenapa sih?!” kesal Darren saat suara klakson itu bersahut-sahutan terus saja memenuhi jalanan itu.Dan seketika Darren tersentak, karena ternyata kendaraan yang mengklakson tersebut ditujukan kepadanya. Padahal saat ini Darren sudah parkir di pinggir dan tidak parkir di badan jalan.“Mau mereka apa sih?! Kenapa mereka mengganggu, dan apakah mereka tidak melihat kalau aku tidak mengganggu jalan!” teriak Darren kesal dan akhirnya menginjak pedal gas melanjutkan perjalanannya.Bruum!Darren meninggalkan tempat itu dengan hati yang kesal. Dia kembali menuju cafenya, disana biasanya dia duduk dan memperhatikan para pelanggan yang datang keluar dan masuk cafenya.“Selamat siang, Pak,” sambut sekretarisnya saat melihat kedatangan Darren di café tersebut,Daffa, sekretaris yang sudah bergabung dengannya sejak beberapa waktu yang lalu itu adalah karyawan yang paling dip
"Siapa?" tanya Darren keheranan.Karena memang Darren merasa tidak mengenal perempuan yang saat ini berdiri di depannya itu.Bukannya menjawab, wanita itu malah tersenyum sinis sambil mencebik. "Tidak perlu kenal denganku, kau bukan levelku untuk bergaul. Lihat saja, kalian hanya mampu minum kopi di gelas yang kecil. Atau jangan-jangan itu hanyalah kopi hitam biasa yang biasa di warung-warung pinggir jalan."Darren dan Daffa saling pandang, mereka seperti menghadapi orang yang kesurupan. Sebab, tidak ada angin dan tidak ada hujan tiba-tiba dia diserang dengan hinaan."Jaga ucapanmu, kau tidak tahu kalau cafe ini…," ujar Daffa yang tersulut emosi. Namun, dengan cepat Darren menahan Daffa dan mengedipkan matanya. Darren memberikan kode kepada Daffa untuk menghentikan apa yang dia katakan, Darren ingin tahu apa sebenarnya mau perempuan itu."Kenapa? Mau bilang kalau kopi kalian gratis tanpa bayar, sebab sang pemilik kasihan melihat orang miskin disini?" tanya nya dengan bersedekap dada.