Katya melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 03:00 sore, ketika dia tiba di Hotel Larrote kota Paris. Tempat di mana Bagaskara, sang tunangannya berada. Jauh-jauh Katya pergi ke negeri ini dari Indonesia untuk bertemu Bagas. Namun, alih-alih menemukan Bagas berada di kantornya, Katya malah diarahkan ke gedung hotel ini.
Awalnya, Katya sungguh-sungguh berpikir bahwa Bagas sedang menghadiri sebuah meeting di hotel ini. Sebagai seorang pelayan di restoran hotel di Jakarta, Katya tahu betul hotel bukan hanya dijadikan tempat bagi orang-orang untuk menginap. Begitu juga dengan Bagas.
Katya menunggu dengan cemas dan penuh keraguan di lobby hotel. Dia tak memiliki akses untuk menghampiri tempat Bagas berada saat ini. Ia hanya menunggu penuh harap bahwa sang kekasih akan terkejut melihat kedatangannya yang mendadak menyusulnya.
Setelah sekitar setengah jam, Katya hendak menghubungi Bagas lagi. Namun suara pintu lift yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Ia tercengang melihat rombongan orang-orang yang memakai setelan jas dan gaun keluar dari lift. Di belakang mereka, ia akhirnya bisa melihat Bagas. Katya refleks beranjak dari duduknya dan tertegun membeku di tempatnya berdiri.
Ia memang melihat Bagas, tapi laki-laki itu tak berjalan sendirian. Bagas bergandengan dengan seorang wanita cantik yang memakai gaun pernikahan modern. Penampilannya, buket bunga yang dipegang, sampai iring-iringan yang mengantarkan mereka, membuat Katya akhirnya sadar, bahwa Bagas tidak sedang menghadiri pernikahan seseorang. Tapi ia baru saja melangsungkan pernikahan.
Mereka semua tertawa, Bagas yang kelihatan bahagia, mencium kening wanita itu sambil berjalan melewatinya. Mungkin mereka tak menyadari kehadiran Katya. Tapi alam bawah sadar Katya tak mengizinkan dirinya untuk diam saja. Ia segera menarik kopernya menyusul mereka semua lalu suaranya yang memanggil Bagas, menarik perhatian banyak orang.
Katya bisa melihat sang mempelai wanita bertanya pada Bagas menggunakan bahasa Prancis. Lantas Bagas pun menjawabnya dengan tenang menggunakan bahasa Prancis juga. Padahal Katya bisa melihat betapa terkejutnya Bagas melihat dirinya di sini. Bukan terkejut senang karena kehadirannya, tapi lebih tepatnya terkejut karena takut. Dan Katya tak percaya dengan ekspresi itu.
Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mempelai wanita itu malah tersenyum padanya, lalu masuk duluan ke dalam mobil, sementara Bagas menghampirinya.
"Siapa, Bagas?" tanya seorang wanita paruh baya menahan Bagas sebentar.
"Teman ku dari Indonesia," jawab Bagas singkat.
"Jangan lama-lama," bisik wanita itu ketus. Ia melirik ke arah Katya sebentar, memperhatikan pakaian yang digunakan gadis itu yang hanya menggunakan celana jeans, kemeja polos berwarna merah muda, dibalut jaket denim dan sepatu sneakers.
Dengan senyum palsunya, Bagas berhasil membawa Katya kembali ke dalam lobby untuk bicara. Sampai mereka benar-benar terlepas dari pandangan keluarganya.
"Kita ngobrol di dalem," ucap Bagas menuntun Katya yang linglung ke dalam cafe yang ada di hotel tersebut. Ia memesan VIP sambil sibuk menelepon pegawainya untuk membawa perempuan bernama Sophia itu pulang terlebih dahulu bersama keluarganya. Lagi-lagi Bagas menggunakan bahasa Prancis yang tak dimengerti oleh Katya.
Hingga seorang pelayan mengantarkan welcome drink untuk tamu VIP mereka itu, Katya masih diam. Ia berusaha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Kamu udah makan? Jam berapa kamu sampai di sini?" tanya Bagas seperti biasa, nadanya terdengar begitu lembut. Tapi Katya tak bisa mendengar jelas karena pikirannya sedang bercabang kemana-mana.
"Hey, sayang ..." Bagas meraih tangan Katya sehingga Katya bisa melihat jelas cincin polos yang melingkar di jari manis Bagas. Seolah mempertegas keadaan bahwa laki-laki ini sudah benar-benar menikah.
"Aku bisa jelasin semuanya."
"Jelasin," jawab Katya lemah.
"Aku... memang sudah menikah. Aku sudah lama dijodohkan dengan perempuan tadi. Aku minta maaf karena gak bilang ini ke kamu sebelumnya."
"Terus buat apa kamu minta aku untuk dateng ke sini lusa nanti? Kamu bilang kamu serius sama aku. Sekarang kamu tinggalin aku gitu aja?" marah Katya dengan suara bergetar. Ia bahkan menarik tangannya dari Bagas, tapi laki-laki itu malah semakin kuat menggenggam tangannya.
"Hey, No, sayang... Aku gak ninggalin kamu. Aku gak mungkin ninggalin kamu, makanya aku berniat jemput kamu ke sini. Dan aku gak nyangka kamu bisa dateng ke sini sendirian sekarang," bisik Bagas menatap Katya dengan pandangan sayunya.
"I love you, Kat. I always love you. Kamu tahu kan aku, sayang banget sama kamu."
Katya menundukkan kepalanya kemudian menangis sejadi-jadinya mendengar kalimat Bagas barusan yang biasanya akan selalu membuat hatinya berbunga-bunga. Namun saat ini keadaannya berbeda, kalimat-kalimat itu hanya membuat hatinya semakin hancur.
"Kamu gak bisa kaya begini, Gas. Kamu sudah menikah, lalu hubungan kita ini apa? Untuk apa kamu berniat bawa aku ke sini? Kamu gak mungkin menikahi dua perempuan."
"Kat, please ... Kamu harus terus ada di sisi aku. Kita gak perlu nikah. Aku udah siapin semua kebutuhan kamu di sini. Aku beli apartemen, pakaian, asisten rumah tangga, aku udah siapin semuanya, sayang. Dan aku janji, keadaan kita gak akan berubah."
Katya menghapus air matanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap Bagas dengan pandangan kecewa.
"Apa karena selama ini aku gak bisa berhubungan intim sama kamu? Jadi kamu pilih perempuan itu? Apa karena aku -"
"Ssst... hey, sayang. Tenang, pikirin baik-baik. Kamu tahu aku juga butuh itu, dan kamu gak perlu khawatir kan? karena aku bisa dapetin itu dari istri aku nanti. Percaya sama aku, Kat, aku cuma butuh cinta kamu. Kamu mau kan terus sama aku?" bujuk Bagas mencium punggung tangan Katya sambil terus memohon.
"Aku bener-bener sayang sama kamu, Kat. Aku gak bisa jauh-jauh dari kamu. Please, tinggal di apartemen yang udah aku siapin untuk kamu. Kita bisa aman di sana, oke?"
Katya merasa kepalanya berputar, perasaannya telah campur aduk dengan segala situasi ini. Jujur saja, hatinya masih belum bisa melepas Bagas. Apalagi dengan sikap Bagas seperti ini. Tapi haruskah ia menjadi wanita simpanan Bagas?
"Sayang, kamu bisa kan ngertiin aku? Jangan tinggalin aku, Kat..." Bagas beranjak dari duduknya menghampiri Katya dan memeluknya.
"Kamu mau kan tinggal di apartemen?" bisik Bagas mengelus pipi Katya dengan lembut.
Katya menahan napasnya, ia menganggukkan kepalanya pelan dengan air mata yang menetes dari salah satu matanya.
"Aku tahu kamu akan selalu cinta sama aku, Kat. I love you," bisik Bagas mencium kening Katya dengan lembut lalu kembali memeluk gadis itu erat-erat. Sementara Katya memejamkan matanya, menikmati pelukan Bagas. Tapi setiap kali ia memejamkan mata, yang terbersit di otaknya adalah ketika Bagas mencium kening sang mempelai wanita.
"Beberapa orang suruhan aku akan nganter kamu ke apartemen. Kamu tunggu aku di sana."
Pikiran Katya benar-benar kacau, jiwanya seolah telah keluar dari raganya. Langkahnya bagai robot mengikuti dua laki-laki bertubuh tinggi yang mengantarnya masuk ke dalam mobil.
Mereka memasukkan koper Katya ke bagasi, sementara tas ransel gadis itu ia taruh di sebelahnya. Kedua pria itu duduk di kursi depan, sementara Katya di kursi penumpang belakang. Mobil mulai melaju, sementara hari mulai gelap.
Selama perjalanan, yang Katya ingat hanyalah kejadian pernikahan tadi dan semua kaimat-kalimat manis Bagas. Bahkan, ponselnya kini terus berbunyi nada notifikasi pesan dari Bagas. Sayangnya Katya terlalu larut dalam pikirannya sampai tak melihat semua isi pesan tersebut.
Mobil berhenti di sebuah pom bensin. Salah satu dari mereka keluar untuk mengisi tangki bahan bakar mobil ini. Sementara Katya meminta izin untuk pergi ke toilet. Salah satu dari orang suruhan itu berniat mengantar, tapi Katya yang merasa risih segera menolaknya.
Di kamar mandi, Katya membasuh wajahnya lalu melihat dirinya lagi di cermin.
Hatinya sakit, ia sangat amat kecewa. Tapi apakah cintanya pada Bagas akan berakhir seperti ini? Atau ia benar-benar harus menjadi wanita kedua yang disembunyikan oleh Bagas? Semua kebutuhannya terpenuhi tanpa ia perlu bekerja keras, hubungannya dengan Bagas juga akan baik-baik saja selama tak ada orang lain yang tahu.
Akan tetapi, di sisi lain otak Katya berontak. Haruskah ia menjadi wanita simpanan? Meskipun semua ini bukan tentang finansial, Katya benar-benar tulus dengan cintanya, tapi apakah logis ia menjadi orang ketiga dalam sebuah rumah tangga? Apapun alasannya, Katya tak bisa menolak kenyataan bahwa Bagas yang ia kenal, bukanlah miliknya, Bagas yang ia cintai sudah menikah dengan perempuan lain.
Katya meraih ponselnya dari dalam tas, kemudian ia mencoba menghubungi Bagas. Tak seperti sebelumnya, kali ini Bagas begitu cepat mengangkat panggilan teleponya.
"Ya, sayang? Kamu udah sampai di apartemen?"
"Maaf, Gas. Aku gak bisa ..."
"Gak bisa? Gak bisa apa?"
"Aku akan pulang ke Indonesia. Aku gak bisa sama kamu lagi. Hubungan kita udah selesai sejak pernikahan kamu dimulai..."
"Apa? Sayang, enggak. Jangan kemana-mana, denger aku... Katya! Orang-orang itu akan bawa kamu ke apartmen apapun yang terjadi-"
Katya segera mengakhiri sambungan telepon itu sambil menahan tangisnya, ia segera menonaktifkan ponsel itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah itu, Katya segera keluar dari toilet hendak mengambil kopernya. Tapi, melihat dua orang yang mengantarnya itu berlari dengan raut wajah serius menuju kamar mandi, membuat Katya ketakutan. Ia buru-buru berlari melalui arah lain dan benar saja kedua orang itu mengejarnya sambil meneriaki namanya.
Katya mengumpat selama berlari. Takut, marah, dan khawatir semuanya seolah menyatu dalam satu waktu. Sulit rasanya mencari taxi dalam keadaan berlari begini. Bahkan, ia harus melewati gang-gang yang tak tahu kemana arahnya. Sampai ia menemukan jalan besar, tapi sialnya mobil sedan milik orang-orang suruhan Bagas sudah menghadangnya. Katya memilih jalan lain, menuju sebuah gang yang pastinya tak bisa dilewati oleh mobil.
Kakinya yang lelah tergelincir hingga membuatnya terjatuh. Tapi ia segera berdiri dan meneriaki sebuah taxi di seberang jalan. Orang-orang tadi masih mengejarnya di tengah kegelapan malam. Katya berhasil sampai di depan taxi, ia segera membuka pintu taxi dan melepaskan tas ranselnya. Namun tiba-tiba seorang perempuan mendorong tubuh lemahnya hingga terjatuh ke aspal lalu ia masuk ke dalam taxi meninggalkan Katya yang berusaha mengejarnya.
Sayangnya, dari arah belakang, ada tiga orang laki-laki bersetelan jas lengkap yang menangkap tubuh mungilnya. Mereka membawa Katya masuk ke dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam sambil menutup mulutnya dengan lakban, lalu mengikat kedua tangannya dengan tali. Katya berusaha melawan dengan kemarahannya. Namun, ia baru menyadari sesuatu yang membuatnya ketakutan setengah mati. Orang-orang yang menangkapnya ini ... bukanlah orang-orang suruhan Bagas yang sejak tadi mengejarnya.
Katya membuka matanya pelan-pelan, tubuhnya terhuyung ke sana kemari saat dua orang laki-laki membawanya keluar mobil. Masih dengan tangan diikat dan mulut yang disumpal kain, langkah Katya terseok-seok memasuki lift. Sebenarnya, Katya biisa saja menendang salah satu dari mereka dan kabur. Tapi kedua kakinya terasa kebas, entah karena aksi kejar-kejaran tadi, atau karena posisi kakinya tertekuk di dalam mobil, atau mungkin karena keduanya.Begitu salah satu laki-laki itu melepaskan pegangannya pada Katya, gadis itu jatuh dan mereka menekan kedua bahu Katya hingga ia benar-benar bersimpuh di atas lantai. Mereka semua berbicara bahasa Prancis. Dan layaknya di film-film aksi, Katya merasa dirinya di ambang kematian. Mungkin yang sedang menculiknya adalah perkumpulan gangster, atau penjual organ tubuh manusia. Yang pasti, Katya hanya bisa menunduk ketakutan. Dalam hati, Katya terus berdoa untuk keselamatannya. Ia benar-benar hanya berdoa agar dia tak dibunuh. Hanya itu.Suara pintu terbuk
Katya diam termenung di atas tempat tidur empuk milik orang asing ini. Meskipun kedua tangannya tak diikat lagi, Katya enggan bergerak untuk mengganti bajunya. Meskipun mulutnya sudah tak lagi disumpal, ia enggan mencicipi segala hidangan yang memenuhi meja kamar itu.Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menangis. Meratapi semua yang telah terjadi padanya. Semua kesialannya sejak menginjakkan kaki di negeri orang. Entah apa yang lebih buruk dari ini. Apakah hidupnya akan selamat atau tidak.Pernikahan Bagas dengan perempuan lain saja sudah cukup memukul hatinya. Sekarang, ia malah terjebak di tempat asing ini. Apakah memang seharusnya ia menerima Bagas lagi? Meskipun ia harus menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. Tidak, Katya lebih memilih mati dibunuh oleh orang-orang asing ini daripada menjadi perempuan simpanan Bagas. Ia memang hanyalah perempuan biasa yang hidup di panti asuhan, tapi apakah ia begitu rendah sampai seorang laki-laki hanya menjadikannya seorang wani
Berpura-pura menjadi istri orang asing ini? Gagasan macam apa itu? Katya benar-benar merasa dunianya porak-poranda. Bagaimana mungkin ia mendapatkan masalah bertubi-tubi? Selain fisik, perasaan serta pikirannya pun diaduk-aduk dalam rentang waktu dua hari."Oke, sebaiknya kita sarapan dulu. Baru bicarakan lebih lanjut-""Enggak. Saya akan langsung cari tas saya dan pergi ke KBRI.""Apa kamu yakin? Saya akan bantu kamu ..."Katya menggelengkan kepalanya, ia melepaskan sepatu yang semula dipakaikan oleh Jevano kemudian mengembalikannya lagi pada Jevano."Terima kasih atas tawarannya. Saya bisa urus diri saya sendiri," ucap Katya berusaha keras menahan air matanya. Jevano sempat tertegun melihat raut wajah Katya yang memprihatinkan dan ia refleks menahan tangan gadis itu. Sayangnya, refleks Katya juga yang membuat gadis itu melepaskan tangannya dari Jevano sesegera mungkin."Biar Martin anter kamu ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan tas kamu.""Oh, dan mengatakan kalau tas saya
"Basic-nya perusahaan laki-laki ini berkembang di Indonesia. Artinya, dia gak punya kedudukan yang kuat di Paris. Setidaknya sebelum dia menikah dengan perempuan bernama Sophia itu. Well, gue gak begitu kenal dia secara pribadi. Tapi selama kerjasama dengan Bagas Satya ini, dia terkenal control freak," jelas Kevin. Asisten CEO perusahaannya yang tinggal di Paris untuk membantu Jevano dalam menjalankan perusahaan. Kevin adalah laki-laki asal Indonesia keturunan Chinese yang sangat pandai. Dia sempat menjadi CEO di salah satu cabang hotel keluarganya. Maka dari itu, selain karena alasan persahabatan, Jevano memilih Kevin untuk membantunya mengurus perusahaan di sini. "Jadi, menurut gue, perempuan bernama Katya itu, adalah korban laki-laki bernama Bagas ini. Dan dia target yang sangat cocok untuk lo, Jev," ujar Kevin menyimpulkan setelah Jevano yang sudah ia anggap sebagai saudaranya ini menceritakan apa yang terjadi belakangan ini dan kenapa ia meminta Kevin menceritakan tentang seora
Pada dasarnya setiap manusia selalu memiliki pilihan dalam hidupnya. Begitu juga dengan Katya. Tapi untuk saat ini, baginya, hanya ada dua. Kembali pada Bagas untuk menjadi wanita simpanan, atau menerima tawaran untuk menjadi istri pura-pura Jevano.Keduanya sangat menyulitkan Katya tentunya. Tapi tujuannya sama, sebisa mungkin Katya tak pulang ke Indonesia dengan kabar buruk untuk Ibu Eveline. Ia tak ingin tiba-tiba pulang ke Indonesia membawa kabar buruk. Ditipu oleh Bagas dan luntang-lantung di jalanan kota Paris sampai ada orang yang membantunya pulang.Dan dari kedua pilihan itu, akhirnya Katya memilih untuk berada di sini. Di ruangan Jevano, duduk berhadapan dengan laki-laki itu."Silakan kamu baca aja kontraknya. Ada beberapa peraturan yang perlu kamu pahami. Kalau ada yang kamu rasa perlu dikoreksi, bilang aja," ucap Jevano setelah memberikan sebuah map kepada Katya yang berisi kontrak mereka."Kita akan bicarakan, sampai ketemu titik tengahnya. Yang penting, hak dan kewajiban
Hari ini Katya merasa dirinya dirombak habis oleh orang-orang Jevano. Rambutnya ditata rapi dengan dipotong di bagian-bagian diperlukan, diberi vitamin, dan dicatok.Seorang penata rias mengajarkan Katya untuk merias wajahnya sendiri secara elegan. Lemarinya telah dipenuhi dress, ia kembali melalui perawatan tubuh, kuku, dan gigi.Martin perlu menegaskan pada Katya untuk lebih banyak menggunakan dress selama keluarga Jevano ada di sini.Memakai dress dan high heels bukan hal baru bagi Katya. Tapi yang menjadi masalah, Katya selalu merasa tak percaya diri. Dan ia juga tak terbiasa menggunakan dress untuk keseharian begini.Martin juga memberitahu Katya kalau namanya adalah Rachel Amanda. Seorang designer. Astaga, Katya sampai harus mempelajari dasar-dasar tugas seorang designer."Katya?" panggil seorang perempuan menghampiri Katya yang sedang melihat-lihat baju di sebuah butik bernama La'Amour.Katya tertegun melihat seorang wanita cantik bertubuh tinggi proposional yang menyapanya den
Meja makan berbentuk oval dari marmer ini kini dipenuhi oleh hidangan khas Eropa. Dan untungnya, meskipun Katya tak kuliah, pekerjaannya sebagai pelayan tamu-tamu orang kayanya itu membuatnya tak asing dengan situasi mewah ini. Bedanya, dulu ia yang menyajikan makanan, tapi hari ini ia yang duduk manis sambil menerima pelayanan.Katya tersenyum kepada Rosaline, perempuan paruh baya yang pertama kali menyapanya dengan hangat. Ia perempuan yang cantik, sangat sopan, dan memiliki tutur bahasa yang lembut sehingga Katya sedikit ragu apakah orang-orang tua ini akan membicarakan tentang hubungan intim kepadanya? Katya jadi semakin yakin kalau itu semua hanyalah gurauan yang dibuat Kevin. Sementara Pramono Utama, kakek dari Jevano kelihatan lebih tegas dan agak jutek menurut Katya. Hampir sebagian waktu makan malam mereka dihabiskan dengan pembicaraan Pramono dan Jevano seputar perkembangan perusahaan di sini. Dan kalau Katya tak salah tanggap, Pramono sempat menyindir Jevano untuk segera m
Katya tak pernah menyangka akan dihadapkan pada situasi seperti ini. Dan entah kenapa begitu melihat Bagaskara lagi, kedua matanya perih, ada perasaan sesak di dadanya. Jevano awalnya ragu dengan laki-laki yang berdiri beberapa meter dari mereka ini. Tapi karena Katya tiba-tiba berhenti melangkah dengan raut wajah kaget dan memerah, Jevano jadi tahu kalau laki-laki itu tak lain adalah Bagas.Jevano menahan napasnya, ia melepaskan pegangannya pada tangan Katya ketika laki-laki itu berjalan menghampiri mereka lalu tanpa aba-aba menarik tangan Katya untuk berada di sisinya."Aku mau bicara sama kamu," ucap Bagas pada Katya yang masih menatap Jevano berharap laki-laki itu mengerti untuk membantunya pergi. Tapi apa mau dikata, Jevano kembali teralihkan dengan dering ponselnya yang menandakan laki-laki itu memiliki urusan lain yang lebih penting."Pastikan nanti kamu pulang dengan Martin," bisik Jevano tepat di telinga Katya."Hey, kamu siapa?" tanya Bagas menggunakan bahasa Prancis sambil
Sophia sedang memilih-milih design gaun yang akan dipakainya untuk pesta penyambutan kakaknya di kota ini minggu depan ketika ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Victoria.Padahal, hampir seharian ini Sophia sudah melupakan mengenai kecurigaannya pada Bagas. Tapi begitu Victoria menelepon, ada rasa ketakutan sendiri baginya hingga Sophia ragu untuk mengangkat panggilan telepon itu. Ia khawatir, kalau Victoria baru menghubunginya sekarang karena ia sudah menemukan identitas si wanita yang dipeluk oleh Bagas. Tapi karena merasa tak enak hati, akhirnya Sophia memutuskan untuk mengangkat telepon itu dan menyiapkan diri. Mau bagaimana pun, ia memang harus mencari tahu tentang ini."Hey, Vic...""Sophia. Aku minta maaf karena mengabari kamu sekarang. Jadi, aku sedang ada perjalanan bisnis keluar kota, mungkin aku belum bisa membantu kamu soal... wanita itu."Kedua mata Sophia membelalak cerah, ternyata hari ini memang bukan waktunya ia harus mengetahui apapun yang disembuny
"Berhenti sejenak. Semakin sering kamu muncul, maka mereka akan semakin mengenali kamu. Sebaiknya kamu bersembunyi bagaimana pun caranya. Perempuan itu ... mengenali kamu." Suara berat laki-laki itu terdengar menggunakan bahasa Prancis. Laki-laki yang memakai topi dan sedang menghisap sebuah cerutu itu menghela napas gusar."Katya?""Ya. Jevano ternyata sangat menganggap ini semua dengan serius. Dia mengerahkan bukan hanya satu orang suruhannya, tapi banyak untuk menyelidiki teror ini. Kamu sebaiknya menjauh, atau mereka akan lebih cepat mengenali kamu.""Aku gak mau mengulur lagi. Sudah terlalu lama Jevano menikmati hidupnya.""Sepertinya kita harus mengubah strategi. Wanita itu akan jadi penghalang terbesar kita.""Makanya sebelum itu terjadi, secepatnya habisi Jevano!""Diamlah. Apa kamu ingin menghabisinya dan mendekam di penjara? Untuk apa kita menyusun strategi dan menunggu selama ini kalau pada akhirnya akan di penjara? Jangan tolol."Wanita itu mendengus kesal sambil menuangka
Setelah mengatakan pada Martin untuk menyelidiki lagi mengenai wanita yang terus berada di sekitar Sophia itu, Jevano kembali ke ruang tamu. Mau tak mau, ia kembali bertatap muka dengan Katya yang masih berdiri di sana."Saya harap kamu gak takut dengan teror ini, Kat. Mereka gak akan berani melakukan hal-hal buruk pada kamu."Katya menganggukkan kepalanya. Ia masih berpikir kalau mungkin masih ada keraguan pada Jevano pada pendapatnya. Tapi Katya juga yakin, Jevano bukan orang bodoh yang tidak akan mendengarkan kebenaran di hadapannya. Tinggal bagaimana caranya Katya menegaskan kalau wanita yang ia lihat itu adalah wanita bernama Laura. Sesuai foto yang ia lihat di basement tempo hari."Apa kamu sudah ingin tidur, Kat?" tanya Jevano menghentikan langkah Katya yang hendak berjalan ke kamarnya. "Saya juga belum tahu sih. Kenapa?" tanya Katya."Saya ... Masih ingin mengobrol dengan kamu."Sebelum Katya bereaksi dengan kalimatnya yang cukup mengejutkan itu, Jevano kembali menambahkan, "
Sophia masih dibuat linglung dengan foto yang Veronica berikan ini. Seumur hidupnya, Sophia tak akan mungkin berpikiran buruk tentang suaminya. Tak mungkin, tak mungkin Bagaskara berselingkuh. Ia yakin siapapun perempuan ini, mungkin hanya teman lamanya."Ini pasti teman lamanya, Veronica. Tak perlu ambil pusing," ucap Sophia berusaha untuk tetap tenang."Lalu kenapa dia sampai berbohong sama kamu, Sophia? Dia tak pernah bertemu dengan segerombolan remaja mabuk. Karena luka itu adalah akibat seorang laki-laki yang memukulinya setelah dia memeluk perempuan itu."Sophia terdiam dengan gelisah. Ia sampai kehilangan kata-kata karena ini semua."Aku harus tanya ini sama Bagas," ucap Sophia memutuskan dengan sigap. Tapi Veronica dengan cepat menahannya."Suami kamu akan berbohong, Sophia. Sebagai teman, aku lebih menyarankan kamu untuk mencari tahu siapa perempuan ini. Setelah itu, kamu boleh tanyakan pada suami kamu," saran Veronica yang menurut Sophia memang ada benarnya juga. Ia tak bisa
Katya berusaha keras untuk melepaskan pelukan Bagaskara, tapi laki-laki itu benar-benar seperti orang kerasukan. Ia memeluk Katya dengan sangat erat sambil menghirup wangi rambut Katya seolah terobsesi dengan bagian tubuh Katya yang satu itu."Bagas! Lepasin atau aku teriak.""Kat, listen. I love you," bisik Bagaskara sebelum tubuhnya terhuyung dan menghantam dinding bangunan saat Jevano menghajarnya."How dare you, touch her! Setelah apa yang kamu lakukan!" Jevano kembali menghajar Bagaskara. Lalu Katya buru-buru menarik Jevano sekuat tenaga untuk menjauhi Bagaskara. Sayangnya tubuh mungilnya tak bisa melakukan itu. Alhasil ia segera mendorong Bagas menjauh dan menyelinap diantara keduanya hingga ia bisa menghalangi Jevano."Stop, please... Jevan, stop..." Katya memohon pada Jevano sambil memegangi tangannya.Bagaskara melemparkan tatapan tajamnya pada Jevano, kemudian ia berjalan menjauh dari keduanya menuju mobil. Ia sudah terlanjut kesal karena kejadian ini sehingga hasratnya terh
Ponsel Bagaskara bergetar tanda notifikasi pesan masuk ketika ia sedang memeriksa beberapa berkas yang diberikan oleh sekretarisnya. Sebenarnya, ia jarang sekali menerima pesan masuk dari orang asing apalagi jika hanya berisi spam. Tapi siang ini, ia mendapatkan pesan masuk dari nomor tak dikenal yang mengirimkannya sebuah foto. Dan begitu ia membukanya, dahinya berkerut heran. Itu adalah foto Katya yang berada di sebuah supermarket seorang diri.Perempuan itu kelihatan tersenyum antusias melihat-lihat bahan makanan. Sudah sangat lama sekali Bagaskara tak melihat Katya tersenyum lebar seperti itu. Dan sejujurnya bagaskara merindukan gadis itu. Wing Seng, 2 Rue Rebeval, 75019 ParisBagaskara tahu alamat yang dituliskan dalam pesan itu. Pesan ini seolah mengajaknya untuk menyusul Katya ke sana. Tapi siapa orang ini? Apa ini nomor baru Katya? Dan walaupun awalnya sempat ragu, Bagaskara akhirnya beranjak dari duduknya sambil membawa kunci mobilnya. Ia hanya ingin memastikan jika Katya be
"Saat itu usia saya baru 7 tahun. Seseorang menyekap saya. Saya gak tahu itu di mana dan berapa lama. Yang pasti, kejadian itu yang membuat saya trauma sampai saat ini. Itu memang bukan kelemahan terbesar saya, sama halnya dengan teror yang dilakukan orang itu hari ini. Saya rasa hanya peringatan," ucap Jevano setengah memejamkan matanya.Jadi, maksud Jevano, kejadian di basement tadi bukanlah untuk menjebaknya? Melainkan Jevano? Katya pikir, si pelaku hanya tahu di basement itu Katya, karena Jevano pun masuk secara mendadak. Lalu dia mngunci pintu basement. Tapi dengan mengunci pintu, mematikan lampu, semua itu sudah sangat sempurna untuk membuat Jevano kelimpungan. Misi penjebakkan hari ini memang seolah sengaja membuat Jevano menderita."Jadi siapa yang memungkinkan melakukan ini semua menurut kamu?" tanya Katya pelan."Ada banyak kemungkinan, Kat... Pelakunya ... Bisa saudara saya, bahkan Ibu saya. Mereka semua tahu insiden itu.""Ibu kamu? Gak mungkin -""Dia yang melakukan itu s
Sebenarnya, Jevano enggan memberitahu Katya mengenai rekaman CCTV tadi. Tapi ia pikir, bagaimana pun ia sudah berjanji pada Katya akan memberitahukan wanita ini apa saja yang ia temukan tentang si penguntit.Dan benar saja seperti dugaannya, reaksi Katya kelihatan panik. Ia mulai gelisah dengan menekan-nekan telapak tangannya sendiri. Tapi hingga kini, Katya belum mengatakan apa-apa sehingga membuat Jevano merasa bersalah."Kat, kamu harus ingat. Saya akan selalu buat kamu aman. Saya tahu kejadian tadi membuat saya lemah, tapi kamu harus percaya sama saya. Saya gak akan membiarkan mereka menyentuh kamu sedikit pun." Jevano menggenggam tangan Katya meskipun dirinya sendiri masih kelihatan belum tenang.Bukan sekali dua kali Jevano merasa diteror oleh seseorang. Tapi kali ini, entah kenapa ada sesuatu yang membuatnya jauh lebih takut, merasa memiliki kekhawatiran yang sebelumnya jarang ia rasakan."Sebaiknya kamu istirahat dulu. Semua ini biar saya yang urus.""Jevan, maafin saya. Saya
Jevano masih berusaha mendobrak pintu. Ia menggedor-gedor pintu tersebut dan mencoba memanggil orang-orang."Jevan, mereka gak akan mendengar. Lebih baik kamu berhenti mendobrak pintu atau badan kamu akan sakit."Sayangnya Jevano tak menyahuti kalimat Katya. Tapi ia mencoba mencari cara lain dengan melihat-lihat ke sekitar pintu. Ia tak yakin, tapi ia berharap ada sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu ini.Katya juga berusaha mencari sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan pintu itu. Namun, kemudian ia terkejut saat Jevano menendang pintu itu dengan kesal lalu menjatuhkan dirinya duduk di salah satu anak tangga.Awalnya, Katya merasa bingung. Aneh saja baginya, kenapa laki-laki seperti Jevano sepanik ini. Padahal basement ini masih berada di sekitar rumahnya sendiri. Mengenai celah ventilasi, ruangan ini memilikinya meskipun tak besar.Akan tetapi saat melihat Jevano gelisah dan seperti sulit bernapas, Katya buru-buru menghampirinya."Jev, kamu gak apa-apa?" tanya Katya.J