Renata terbangun dari tidur lelapnya dan terkejut dengan pemandangan punggung Demitrio, tanpa sehelai kain menutupinya. Dan yang lebih membuat Renata terkejut lagi, Demitrio tertidur di sampingnya.
"Bapak bangun!" teriak Renata. Tak ada pergerakan berarti dari Demitrio yang masih tetap tertidur pulas.
Mata Renata langsung mengarah pada tubuhnya, jangan-jangan malam hari bosnya melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, batin Renata bergumam.
Tapi Renata sedikit lega, karena baju tidurnya masih terpasang rapi. Dia beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri.
"Ehm...." Tangan Demitrio memeluk tubuh Renata.
Renata terbelalak dengan kelakuan atasannya ini, dia langsung membawa guling untuk dijadikan senjata.
"Ciaaattt terima ini!" Renata berteriak dan memukuli Demitrio yang masih tertidur.
"Aduh ... Apa sih?" tanya Demitrio kesal dan terbangun karena ulah Renata.
Tapi apa yang dilakukan Renata setelah Demitrio terbangun, dia terus memukuli Demitrio tanpa henti.
"Renata, hentikan!" teriak Demitrio.
Demitrio hanya bisa menahan pukulan Renata dengan lengannya. Tak ada kesempatan untuk membalas pukulan bertubi-tubi dari Renata selain menggerakkan badannya dan menindih Renata. Tangannya mengunci tangan kanan Renata sedangkan tangan yang lainnya membekap mulut Renata.
"Emmm." Renata berusaha memberontak.
"Diam! Jangan berteriak! Apa kamu ingin semua datang dan menyangka, aku memperkosa kamu? Hah!" bentak Demitrio.
Setelah mendengar perkataan Demitrio, akhirnya Renata menurut padanya. Setelah Renata terdiam, Demitrio melepaskan tangan dari mulut Renata, tapi matanya masih melotot pada Renata.
Dalam hati Renata hanya bisa mengutuk dirinya sendiri, kenapa dia harus memukul bosnya? Yang ada, kini Renata merasa menjadi tawanan dalam dekapan Demitrio.
"Pak, berat," lirih Renata, yang tidak berani bergerak.
"Kita lanjutkan saja, mau?" tanya Demitrio dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Tidaaak ma...," ucap Renata terhenti dengan lumatan bibir kenyal Demitrio. Mata Renata hanya bisa melotot, melihat kelakuan bosnya. Semakin lama, Demitrio semakin memperdalam ciumannya.
Renata terus berontak, tapi hatinya berkata lain. "Sudah berapa kali aku kecolongan dan Ya Tuhan, aku mulai menyukainya," batin Renata berkata.
"Kamu menyukainya, Re?" tanya Demitrio, suaranya makin serak.
"...." Renata tak menjawab apapun.
Hanya makian dan cercaan dalam hati Renata pada saat ini. Selama bekerja dengan Demitrio, dia tidak pernah tertarik pada Demitrio.
Tapi semuanya pupus dalam benak Renata, dia terjatuh pasrah dipelukan Demitrio.
Demitrio mulai menyasar setiap inci dari tubuh ramping Renata. Bibirnya terus mencari area sensitif Renata.
"Jangan lakukan, Pak," lirih Renata.
"Sekali saja, Re," jawab Demitrio dengan suara lembut.
"Sekali buat, Bapak. Tapi penyesalan tak berujung untuk saya," lirih Renata, air matanya tak berhenti mengalir.
Walaupun hawa panas telah menguasai mereka, tapi Renata masih ingat akan perkataan ibunya.
Demitrio mengelus wajah Renata dengan lembut, menghapus bulir-bulir bening yang ada di atas pipi Renata.
"Aku tidak akan pernah menyentuhmu, sampai ada takdir menyatukan kita. Walaupun aku tahu, aku bukan pria yang baik untuk kamu, Renata Prameswari," bisik Demitrio tepat di telinga Renata, meninggalkan jejak gigitan yang tidak menyakitkan.
***
Renata dan Demitrio keluar dari kamar hotel, menuju meja makanan untuk sarapan.
Mereka duduk di dekat kolam ikan buatan, air mancur kecil menghiasinya. Tampak indah dilihat dengan gemericik air yang menyejukkan hati.
Menyejukkan hati Renata yang tak menentu, bibirnya tak berhenti melapalkan doa-doa.
"Kenapa terus nunduk, Re?" tanya Demitrio yang sibuk memotong croissant.
Renata tak menjawab apapun, hatinya terasa teriris melihat wajah Demitrio yang santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Renata memainkan roti isi, yang tersaji di depannya. Tidak ada selera makan, yang ada hanya rasa mual, apabila mengingat kedekatan dia dengan Demitrio.
Apakah kedekatan ini akan selamanya mengikat dalam ikatan suci atau hanya sebatas penyalur nafsu? Seperti wanita-wanita yang dekat dengan Demitrio, batin Renata terus meracau.
"Ah ... andai Demitrio tidak bajingan seperti yang aku kenal, mungkin aku akan menerimanya dengan senang hati," gumam Renata.
Sebenarnya Demitrio mendengar samar, apa yang dikatakan oleh Renata. Tapi untuk saat ini, dia tidak bisa menyakinkan Renata untuk percaya padanya.
Karena dia juga tidak tahu apakah kedekatan dengan Renata adalah cinta atau sebatas ketertarikan setelah melihat Renata yang telah dipoles make up belaka? Batin Demitrio seakan menjawab, rasa gundah yang ada pada hati Renata.
"Re, nanti setelah meeting jadwalkan saya untuk pergi menemui Nyonya Velope,"
Duaar seakan boom atom jatuh dari langit menimpa hati Renata, mendengar Demitrio ingin menemui Nyonya Velope, hati Renata terasa sakit.
Dia berpikir pasti Demitrio akan melakukan hal yang aneh-aneh bersama Nyonya Velope, tapi Renata segera tersadar kalau dia tidak pantas untuk cemburu.
"Ya Pak, nanti saya kosongkan waktu ... setelah meeting," ucap Renata dengan suara pelan, mulutnya berhenti mengunyah makanan yang makin terasa hambar di indera pengecapnya.
"Kenapa Renata Prameswari?"
Renata hanya menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan dari Demitrio.
Demitrio paham dengan apa yang dirasakan oleh Renata, tapi Demitrio harus menutupi segala rasa yang dia rasakan pada Renata. Entah cinta atau sekedarnya, semua masih terbalut dalam kegamangan.
"Jangan terlalu berharap, pada seorang Demitrio yang penuh dosa ini, Re," ucap Demitrio menyudahi sarapan paginya.
***
Setelah menyelesaikan urusan di meja resepsionis, Demitrio dan Renata menunggu mobil terparkir di depan pintu hotel.
"Ekhm ... boleh aku bawa sekertaris cantik mu ini, Dem?" tanya Alghara mengejutkan Renata dan Demitrio.
Mereka menoleh bersamaan ke arah suara, dengan malas Demitrio membalikkan badannya kembali.
Satu langkah pasti, Alghara mendekati Renata. Dia menarik tangan Renata dan memasukannya ke dalam saku jas.
Kelakuan Alghara memancing amarah Renata, dengan gerak refleks dia menampar keras pipinya, tapi Alghara tidak bergeming sedikitpun. Dia hanya mengusap pipinya yang memerah.
"Ini yang aku mau, gadis garangku." Sebelah matanya mengedip.
"Oh Tuhan, cobaan apalagi ini," batin Renata memelas.
Melihat tingkah Alghara yang mencurigakan, Demitrio menarik tubuh Renata menjauh darinya.
Setelah beberapa saat menunggu, kini mobil Demitrio berhenti tepat di sampingnya. Demitrio langsung membawa Renata masuk kedalam mobil, tanpa ucapan pamit pada Alghara.
Alghara hanya tersenyum sinis melihat kepergian Renata dan Demitrio.
"Dengan kuasaku, kamu pasti akan jatuh dipelukanku. Tunggu aku, gadis garangku!" tegas Alghara dengan seringai liciknya. Tangan Alghara, mengeluarkan benda mengkilat karena cahaya.
"Dan teruntuk sepupuku, Demitrio Agashi, kelak benda ini yang akan melukaimu." Tangannya memainkan sebuah pisau lipat yang terlihat tajam.
Dalam perjalanan menuju kantor, baik Renata dan Demitrio tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun, mereka sibuk dengan pemikirannya sendiri.Untuk mengurangi suasana horor dalam mobil, Demitrio sengaja memutar lagu rock dengan volume yang sangat keras.Dia hanya ingin mendengar protes Renata, yang masih diam membisu.Musik terus menghentak menggetarkan seisi dalam mobil, Renata hanya diam walaupun suara musik terdengar memekakkan telinga. Demitrio semakin kesal dengan sikap Renata yang berubah menjadi gunung es, diam tak bergerak. Matanya kosong melihat jalanan yang telah ramai dengan mobil-mobil egoisme.Dengan kasar Demitrio mematikan sound musik di mobilnya."Re! Tolong jangan bikin saya bingung," ketus Demitrio membuka obrolan dengan Renata yang masih terdiam seribu bahasa.Tak ada umpatan atau teguran dari seorang Renata, biasanya dia yang selalu menghiasi telinga Demitrio dengan suara ketusnya."Renata Prameswari, bicara!" 
Brugh ...Alghara Fredicson mendorong Renata ke dinding, telapak tangannya dijadikan bantalan ketika kepala Renata hampir terbentur tembok.Mata Renata semakin jijik melihat perlakuan Alghara, Renata mengangkat tangannya. Setidaknya memberikan perlawanan kepada Alghara yang mulai mendominasi dirinya."Mau tampar aku lagi?" tanya Alghara. Matanya mulai menggoda, hidung mancungnya dia dekatkan dengan batang hidung Renata.Samar semilir angin halus terasa di wajah Renata, dia hanya bisa menatap tajam, pria yang tengah menggungkungnya. Renata hanya bisa mendengus kesal, perlawanan yang dia lakukan hanya lah sebuah kesia-siaan."Tolong Pak Al, saya harus kembali bekerja!" tegas Renata, mata huzelnya terus melihat tajam, menusuk ke dalam mata Alghara."Bekerja denganku saja, sekali pelayanan yang kamu berikan. Aku akan berikan segala yang kamu inginkan," ucap Alghara, yang terus memancing Renata dengan sentuhan-sentuhan halusnya. Bibir Alghara mul
"Dem!" Teriak seorang wanita dengan tampilan elegan, riasan natural selalu terpoles rapih di wajah cantiknya. Walaupun usianya telah menginjak 40 tahun, tapi tak ada garis-garis penuaan di wajahnya. Seakan wanita muda yang selalu terjaga dengan indah. Renata dan Demitrio terkejut mendengar teriakan di balik pintu, Demitrio langsung menghentikan aktivitas panasnya bersama Renata. Sedangkan Renata dengan cepat berdiri dan merapikan baju yang sudah tak beraturan. "Velo?" tanya Demitrio tampak gusar karena Nyonya Velope memergoki kelakuannya. "Kenapa kamu? Takut melihat saya!" bentak Nyonya Velope dengan menenteng tas mahalnya. Dengan senyuman yang terkembang Demitrio mendekati Nyonya Velope, tanpa basa-basi, dia menarik tangan Nyonya Velope ke dalam pelukannya. Renata yang masih dalam ruangan Demitrio hanya bisa tersenyum ketus, satu tamparan mungkin layak disandangkan padanya. "Renata kamu hanya butiran debu di hati Demit
Tiing ...Pintu lift menuju apartemen Demitrio terbuka, Renata langsung menuju block tempat bosnya tinggal. Sebuah apartemen mewah, lantai paling atas. Begitu luas mungkin satu helikopter bisa mendarat hanya di halamannya saja.Renata segera membuka kode untuk membuka kunci pintu yang di jaga ketat, karena CCTV terpasang di pintu depan.Renata hanya bisa menghela napas ketika melihat apartemen yang telah berubah menjadi kapal pecah, kulit kacang berserakan, baju-baju seperti terlempar dari angkasa. Berhambur entah apa yang terjadi, hanya butuh dua hari tidak tersentuh tangan Renata, apartemen mewah berubah bak tong sampah."Hadeuh pulang kerja masih aja nge-Ijah!" kata Renata kesal, tangan mungilnya cekatan membersihkan ruangan.Suka tidak suka, Renata bisa sabar dengan perjalanan hidupnya. Terperangkap bersama atasannya yang terkadang menjadi seseorang yang manis tapi bisa berubah dalam sekejap menjadi monster teraneh sejagad raya.Renata m
"Tolo--!" teriak Renata terpotong karena bekapan tangan kekar Alghara.Renata hanya bisa berpikir untuk berteriak berharap orang yang melihatnya, datang untuk menolong. Tapi semua sia-sia, tangan Alghara dengan satu gerakan mampu membungkam mulut Renata."Ikuti aku!" bisik Alghara dengan sarkasme tepat di kuping Renata.Alghara membuka pintu mobilnya dengan cepat, dia setengah mendorong tubuh ramping Renata."Pak turunkan saya, Pak!"Renata sudah kehabisan akal untuk menghindari Alghara yang telah menyalakan mobil, Alghara tidak memperdulikan kata-kata Renata, dengan tergesa dia melajukan mobilnya.Vroom ... Vroom ...Alghara terus mengemudikan mobilnya, menyalip keramaian di jalanan kota. Dia sudah tidak memperdulikan lagi teriak kasar dari orang-orang yang meneriakinya. Dalam benaknya sekarang hanya ada keinginan untuk membawa Renata ke tempat yang menjadi favoritnya.Alghara membelokkan mobilnya ke suatu tempat yang in
"Pak Al! Bapak gak apa-apa? Kalau bapak sakit, saya antar ke dokter, mumpung masih di rumah sakit," ucap Renata seraya berdiri, bersiap untuk mengantar Alghara.Alghara sesaat membenturkan kepalanya sendiri ke tembok, seakan sakit tidak dia pedulikan lagi.Renata tidak mengerti dengan sikap Alghara, tampak seperti orang yang tengah frustasi. Dia segera mendekati Alghara yang semakin rapuh, pikirnya memberi kekuatan mungkin bisa sedikit mengurangi kecemasan yang dirasakan Alghara."Ada yang bisa saya bantu, pak?"Greep ...Alghara memeluk Renata dalam cemas, tak terasa satu demi satu bulir-bulir bening membasahi bahu Renata.Renata hanya bisa terdiam, tak mengerti harus berbuat seperti apa? Alghara yang garang berubah menjadi seorang yang rapuh."Maafkan aku, Re...," ucap Alghara dalam lirih."Aku sudah maafin bapak, it's ok." Renata menepuk-nepuk punggung Alghara yang masih dalam pelukannya.Nyaman yang Alghara rasakan p
"Ini rumah kamu, Re?" Alghara memarkirkan mobilnya di depan rumah sederhana namun memiliki taman kecil yang tertata rapih, pot-pot kecil menghiasi garis pembatas teras rumah."Masuk dulu, Pak?""Bolehkah?" tanya Alghara berbasa-basi, namun tak ada niat jahat dibenaknya."Kalau bapak berkenan, silahkan...," ujar Renata, kakinya melangkah menuju pintu dengan aksen kayu berwarna coklat.Alghara mengekor, mengikuti Renata dari belakang. Dia hanya berpikir selama dia hidup, dia selalu diberikan fasilitas super fantastis. Namun hatinya terasa kosong dan tak pernah merasa puas. Tapi lihatlah gadis yang tengah berjalan di hadapannya ini, dengan santai memasuki ruangan yang mungkin hanya seluas dapur rumahnya dengan penuh kebahagiaan.Ceklek ...Renata membuka kunci pintu, terlihat kursi-kursi berwarna krem."Duduk Pak. Bapak mau kopi atau teh?" tawar Renata."Espresso saja," ucap Alghara menyandarkan punggungnya di kursi de
Meskipun, dalam keadaan kesal Renata pergi menuju meja kerjanya dengan wajah tersenyum ketika bertemu sahabatnya Alin. Renata tidak mau rasa sedih yang tengah dia rasakan ketahuan oleh Alin."Hai, cantik. Udah lihat meja kerja kamu belum?" Alin menggandeng Renata."Emang kenapa dengan meja kerjaku?""Lah, si Empunya cerita juga gak tahu, ya...," tukas Alin tidak percaya.Renata hanya menggelengkan kepalanya. Hari ini benar-benar membuat hatinya ingin meledak."Kalau kamu belum tahu, aku tutup mata kamu, ya." Dengan gerakan cepat, Alin menutup kedua mata Renata dengan jari-jarinya.Beberapa saat melangkah, akhirnya mereka sampai di kubikel Renata."Taaaraaaa, lihat Renata...," ucap Alin.Buket-buket bunga Orchid tertata rapih di meja kerja Renata. Sesaat terpaku seakan terhipnotis dengan pandangan yang menyejukkan mata."Ini punya siapa?" tanya Renata."Kalau di meja kerja kamu, berarti punya kamu, Re." Alin menghi
Dengan berat hati Renata membereskan meja kerjanya. Dalam hatinya terus mengutuk semua perbuatan bos-nya ini. "Ih, kenapa aku harus terjebak dengan manusia minus rasa seperti ini. Aku tidak ingin berada di sini. Tapi keadaan memaksaku untuk selalu mengikutinya. Ahhhh, menyebalkan!" teriak Renata seraya menghapus air matanya dengan kasar.Grep!Satu tangan telah berada di atas lengan Renata mencengkramnya dengan kasar. "Siapa yang menyebalkan, Renata Prameswari?"Mata Renata perlahan menoleh sesaat pada sumber suara. "Ahh, kenapa anda di sini?" tanya Renata seraya menggerakkan lengannya supaya terbebas dari tangan besar sang pria."Ini kantorku, Renata. Apa kamu sudah tidak ingat?Hah!" bentakan seraya melepaskan lengan Renata.Renata mendekati, "Saya tahu ini kantor anda! Dan saya bukan karyawan anda lagi! Dasar the demit!" teriak Renata.Mendengar ejekan Renata, amarah Demitrio semakin menjadi. Dengan cepat dia mendorong Renata p
"Sudah, Mbak Re. Biar kita saja yang bereskan," ucap Rio, seorang OB gaul. Wajahnya tampan namun sayang karena masih terlalu muda, dia training di bagian OB. Ya, semoga takdir memihak padanya."Gak apa-apa, Rio. Mbak juga dah biasa ngerjain kayak gini." Tangan Renata sibuk mengelap meja yang akan dipakai meeting."Emang, Pak Bos, gak marah kalau lihat, Mbak, lap meja?""Gak, lah. Yang penting uang kita ngalir. Bener, gak?" tanya Renata yang berhasil membuat Rio terkikik.Tak ada pilihan untuk Renata pada saat ini. Selain mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya dengan senang hati."Untuk minumannya apa yang harus saya siapkan, Mbak Re?""Seperti biasa saja, Rio. Mereka bukan orang yang menuntut lebih kok...," ujar Renata yang masih sibuk mempersiapkan alat-alat untuk meeting."Kalau gitu saya cek dulu di pantry, ya, Mbak...," sela Rio.Belum Renata menjawab, tiba-tiba datang Demitrio dari belakang."Rio! Kamu ke
Meskipun, dalam keadaan kesal Renata pergi menuju meja kerjanya dengan wajah tersenyum ketika bertemu sahabatnya Alin. Renata tidak mau rasa sedih yang tengah dia rasakan ketahuan oleh Alin."Hai, cantik. Udah lihat meja kerja kamu belum?" Alin menggandeng Renata."Emang kenapa dengan meja kerjaku?""Lah, si Empunya cerita juga gak tahu, ya...," tukas Alin tidak percaya.Renata hanya menggelengkan kepalanya. Hari ini benar-benar membuat hatinya ingin meledak."Kalau kamu belum tahu, aku tutup mata kamu, ya." Dengan gerakan cepat, Alin menutup kedua mata Renata dengan jari-jarinya.Beberapa saat melangkah, akhirnya mereka sampai di kubikel Renata."Taaaraaaa, lihat Renata...," ucap Alin.Buket-buket bunga Orchid tertata rapih di meja kerja Renata. Sesaat terpaku seakan terhipnotis dengan pandangan yang menyejukkan mata."Ini punya siapa?" tanya Renata."Kalau di meja kerja kamu, berarti punya kamu, Re." Alin menghi
"Ini rumah kamu, Re?" Alghara memarkirkan mobilnya di depan rumah sederhana namun memiliki taman kecil yang tertata rapih, pot-pot kecil menghiasi garis pembatas teras rumah."Masuk dulu, Pak?""Bolehkah?" tanya Alghara berbasa-basi, namun tak ada niat jahat dibenaknya."Kalau bapak berkenan, silahkan...," ujar Renata, kakinya melangkah menuju pintu dengan aksen kayu berwarna coklat.Alghara mengekor, mengikuti Renata dari belakang. Dia hanya berpikir selama dia hidup, dia selalu diberikan fasilitas super fantastis. Namun hatinya terasa kosong dan tak pernah merasa puas. Tapi lihatlah gadis yang tengah berjalan di hadapannya ini, dengan santai memasuki ruangan yang mungkin hanya seluas dapur rumahnya dengan penuh kebahagiaan.Ceklek ...Renata membuka kunci pintu, terlihat kursi-kursi berwarna krem."Duduk Pak. Bapak mau kopi atau teh?" tawar Renata."Espresso saja," ucap Alghara menyandarkan punggungnya di kursi de
"Pak Al! Bapak gak apa-apa? Kalau bapak sakit, saya antar ke dokter, mumpung masih di rumah sakit," ucap Renata seraya berdiri, bersiap untuk mengantar Alghara.Alghara sesaat membenturkan kepalanya sendiri ke tembok, seakan sakit tidak dia pedulikan lagi.Renata tidak mengerti dengan sikap Alghara, tampak seperti orang yang tengah frustasi. Dia segera mendekati Alghara yang semakin rapuh, pikirnya memberi kekuatan mungkin bisa sedikit mengurangi kecemasan yang dirasakan Alghara."Ada yang bisa saya bantu, pak?"Greep ...Alghara memeluk Renata dalam cemas, tak terasa satu demi satu bulir-bulir bening membasahi bahu Renata.Renata hanya bisa terdiam, tak mengerti harus berbuat seperti apa? Alghara yang garang berubah menjadi seorang yang rapuh."Maafkan aku, Re...," ucap Alghara dalam lirih."Aku sudah maafin bapak, it's ok." Renata menepuk-nepuk punggung Alghara yang masih dalam pelukannya.Nyaman yang Alghara rasakan p
"Tolo--!" teriak Renata terpotong karena bekapan tangan kekar Alghara.Renata hanya bisa berpikir untuk berteriak berharap orang yang melihatnya, datang untuk menolong. Tapi semua sia-sia, tangan Alghara dengan satu gerakan mampu membungkam mulut Renata."Ikuti aku!" bisik Alghara dengan sarkasme tepat di kuping Renata.Alghara membuka pintu mobilnya dengan cepat, dia setengah mendorong tubuh ramping Renata."Pak turunkan saya, Pak!"Renata sudah kehabisan akal untuk menghindari Alghara yang telah menyalakan mobil, Alghara tidak memperdulikan kata-kata Renata, dengan tergesa dia melajukan mobilnya.Vroom ... Vroom ...Alghara terus mengemudikan mobilnya, menyalip keramaian di jalanan kota. Dia sudah tidak memperdulikan lagi teriak kasar dari orang-orang yang meneriakinya. Dalam benaknya sekarang hanya ada keinginan untuk membawa Renata ke tempat yang menjadi favoritnya.Alghara membelokkan mobilnya ke suatu tempat yang in
Tiing ...Pintu lift menuju apartemen Demitrio terbuka, Renata langsung menuju block tempat bosnya tinggal. Sebuah apartemen mewah, lantai paling atas. Begitu luas mungkin satu helikopter bisa mendarat hanya di halamannya saja.Renata segera membuka kode untuk membuka kunci pintu yang di jaga ketat, karena CCTV terpasang di pintu depan.Renata hanya bisa menghela napas ketika melihat apartemen yang telah berubah menjadi kapal pecah, kulit kacang berserakan, baju-baju seperti terlempar dari angkasa. Berhambur entah apa yang terjadi, hanya butuh dua hari tidak tersentuh tangan Renata, apartemen mewah berubah bak tong sampah."Hadeuh pulang kerja masih aja nge-Ijah!" kata Renata kesal, tangan mungilnya cekatan membersihkan ruangan.Suka tidak suka, Renata bisa sabar dengan perjalanan hidupnya. Terperangkap bersama atasannya yang terkadang menjadi seseorang yang manis tapi bisa berubah dalam sekejap menjadi monster teraneh sejagad raya.Renata m
"Dem!" Teriak seorang wanita dengan tampilan elegan, riasan natural selalu terpoles rapih di wajah cantiknya. Walaupun usianya telah menginjak 40 tahun, tapi tak ada garis-garis penuaan di wajahnya. Seakan wanita muda yang selalu terjaga dengan indah. Renata dan Demitrio terkejut mendengar teriakan di balik pintu, Demitrio langsung menghentikan aktivitas panasnya bersama Renata. Sedangkan Renata dengan cepat berdiri dan merapikan baju yang sudah tak beraturan. "Velo?" tanya Demitrio tampak gusar karena Nyonya Velope memergoki kelakuannya. "Kenapa kamu? Takut melihat saya!" bentak Nyonya Velope dengan menenteng tas mahalnya. Dengan senyuman yang terkembang Demitrio mendekati Nyonya Velope, tanpa basa-basi, dia menarik tangan Nyonya Velope ke dalam pelukannya. Renata yang masih dalam ruangan Demitrio hanya bisa tersenyum ketus, satu tamparan mungkin layak disandangkan padanya. "Renata kamu hanya butiran debu di hati Demit
Brugh ...Alghara Fredicson mendorong Renata ke dinding, telapak tangannya dijadikan bantalan ketika kepala Renata hampir terbentur tembok.Mata Renata semakin jijik melihat perlakuan Alghara, Renata mengangkat tangannya. Setidaknya memberikan perlawanan kepada Alghara yang mulai mendominasi dirinya."Mau tampar aku lagi?" tanya Alghara. Matanya mulai menggoda, hidung mancungnya dia dekatkan dengan batang hidung Renata.Samar semilir angin halus terasa di wajah Renata, dia hanya bisa menatap tajam, pria yang tengah menggungkungnya. Renata hanya bisa mendengus kesal, perlawanan yang dia lakukan hanya lah sebuah kesia-siaan."Tolong Pak Al, saya harus kembali bekerja!" tegas Renata, mata huzelnya terus melihat tajam, menusuk ke dalam mata Alghara."Bekerja denganku saja, sekali pelayanan yang kamu berikan. Aku akan berikan segala yang kamu inginkan," ucap Alghara, yang terus memancing Renata dengan sentuhan-sentuhan halusnya. Bibir Alghara mul