Beranda / Lainnya / Tetanggaku Luar Biasa / Tidak Tahu Terimakasih

Share

Tidak Tahu Terimakasih

Penulis: Dwi Mei Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-30 20:06:13

Tetanggaku Luar Biasa 

Bab 2

Mengantarkan Andra di sekolah adalah salah satu rutinitas keseharianku. Biasanya aku menyempatkan diri menyapa sesama wali murid yang juga mengantar anaknya. Sesekali ikut nongkrong bareng mereka, biar tidak disebut sombong dan kudet. Karena, sebenarnya aku termasuk tipe orang yang tidak suka terlalu lama nongkrong dan terlibat obrolan tidak jelas. Mendingan di rumah, nonton tivi atau baca novel, atau mengerjakan sesuatu yang lain. Nanti, waktunya Andra pulang, aku jemput lagi. Toh, jarak antara rumah dan sekolah Andra tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit kalau memakai sepeda motor. 

Nah, jam dua siang, biasanya aku bersama Andra, menjemput Alisha. Alisha adalah anak sulungku yang  duduk di bangku kelas tujuh. 

"Bu, pulangnya makan bakso dulu, yuk," ajak Alisha sambil memakai helm. 

Setelah berpikir sebentar, aku menyetujui ajakan si sulung. Cuaca panas begini, menikmati seporsi bakso kayaknya pas. Tanpa banyak kata, aku mengarahkan sepeda motor ke warung bakso langganan kami. Sambil menikmati bakso, Alisha dan Andra bercerita tentang kejadian di sekolah masing-masing. Sesekali kami terkekeh saat ada cerita yang lucu. Hingga tak terasa, bakso sudah habis. 

"Bu, nggak beli buat Fia?" tanya Andra. Aku tersenyum, senang melihat sikap Andra yang peduli pada orang lain. 

"Beli, dong," jawabku sambil menunjukkan dua bungkus bakso pada Andra. Bocah itu tersenyum manis sambil mengacungkan dua ibu jari padaku. Sementara Alisha sudah menunggu di dekat sepeda motor. 

Semenjak Siska menempati rumah di sebelahku, setiap kami jajan, aku atau suami memang selalu membungkus untuk mereka. Bukan apa-apa, itu untuk mengajarkan pada anak-anak tentang berbagi. Tidak harus banyak. Walaupun cuma satu atau dua bungkus bakso, atau sekotak martabak, tidak apa-apa. Yang penting ikhlas. 

Sebenarnya bukan hanya pada Siska. Pada tetangga yang dulu mengasuh Alisha juga aku bersikap sama. Mungkin, karena hal itulah, kedua anakku, setiap membeli makanan, selalu ingat sama orang di sekitar mereka. 

***

"Mbak, makasih baksonya," ujar Siska sambil duduk di kursi tanpa permisi. Sedangkan kedua anaknya dia tinggalkan di teras, bersama kedua anakku. 

"Oh, iya, sama-sama. Tadi kebetulan anak-anak pada minta, jadi sekalian beli buat Fia."

"Belinya di mana?" tanya Siska sambil mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan, mungkin dia kepanasan. Udara akhir-akhir ini memang cukup panas. 

"Di deket sekolahan Alisha," jawabku tanpa menoleh, karena sedang fokus mengepak beberapa baju tidur pesanan pelanggan di luar kota. 

Selain ibu rumah tangga, aku juga nyambi sebagai pedagang online dan offline. Usaha ini sudah dirintis sejak masih bekerja menjadi kuli pabrik. Hingga sekarang sudah punya beberapa pelanggan dan reseller. Memanfaatkan the power of medsos, tentu saja. Lumayanlah, daripada main hape buang-buang kuota. 

"Kenapa, Sis? Nggak enak, baksonya?" tanyaku penasaran. Sebab, biasanya ada saja yang tidak pas dari makanan yang kuberikan. Walaupun selalu habis juga. 

"Mm, enak sih, cuma …."

"Cuma apa?"

"Kurang banyak tetelannya."

Duh, Siska. Ada-ada saja. Apa dia nggak ingat sama timbunan lemak di badan? Kalau makan bakso maunya yang banyak tetelan. 

"Ada sih, yang tetelannya banyak, Sis. Ukuran baksonya juga lebih besar," sahutku. 

"Kenapa nggak beliin yang itu?" 

Waduh! Udah untung aku ingat beli buat dia. Udah gratis, protes pula! 

"Tadi habis, Sis," jawabku sambil menahan dongkol. 

"Habis atau karena harganya lebih mahal?"

Aku menarik napas dan membuangnya pelan-pelan, berharap kedongkolan ini sedikit berkurang. Kalau tidak takut kena pasal, sudah kulempar lakban si Siska ini. 

"Habis, Siska … aku sama anak-anak juga, biasanya beli yang itu. Cuma nggak kebagian, jadi  beli yang biasa. Kalo harganya, cuma beda tiga ribu. Kalo nggak percaya ya sana, cek aja ke tukang baksonya."

Mendengar omelanku, Siska nyengir kuda, kemudian berdiri. 

"Pulang dulu, ya,  Mbak. Mau mandi, ah. Gerah," pamitnya sambil berlalu. 

Dalam hati aku menjawab, "lah, yang nyuruh dia datang siapa? Datang-datang sendiri, kok."

***

"Alisha, Andra! Udah mau Maghrib! Kalian nggak ngaji?" teriakku dari dalam rumah, memanggil anak-anak yang masih di teras. Mereka berdua biasanya sebelum adzan Maghrib berkumandang, sudah berangkat mengaji di Masjid kompleks bersama anak-anak lain. 

"Iya, Bu. Tapi, ini Fia ama Oliv gimana?" tanya Alisha yang masuk sambil menggendong Oliv. Sementara Andra menuntun Fia. Baju kedua bocah itu, masih sama dengan yang tadi pagi aku pakaikan. Selain itu, mereka berdua juga tampak kucel, seperti belum mandi. 

"Loh, Fia ama Oliv, nggak ikut pulang sama mama?" tanyaku pada Fia. Bocah itu hanya menggeleng. 

"Kata Tante Siska, tadi nitip bentar. Tante Siska mau mandi," jawab Alisha sambil menyerahkan Oliv padaku. 

Sejak Siska berpamitan pulang untuk mandi, itu, kan, sudah satu setengah jam yang lalu. Masa iya, dia belum beres mandi? 

"Ya sudah, sana kalian siap-siap ngaji. Fia ama Oliv biar ibu yang anterin."

Kedua anakku mengangguk, lalu masuk ke kamar masing-masing. Sementara aku menggendong Oliv dan menuntun Fia, menuju ke rumah Siska. 

"Siska! Assalamualaikum!" tak ada jawaban, padahal aku mendengar sayup-sayup suara Siska tengah berbicara, seperti sedang menelepon. 

"Siska! Ini, anak-anakmu minta pulang. Pengen ke mama, katanya!" sengaja aku menaikkan nada suara. 

Tak lama kemudian, Siska keluar. Anehnya, baju yang dipakai masih sama dengan yang tadi. Dan kelihatannya, belum mandi. 

"Eh, Mbak Ajeng. Maaf, ini, sobat waktu aku sekolah nelepon. Keasyikan ngobrol ampe lupa, mau mandi belum jadi."

Siska tampak salah tingkah, lalu kembali bicara pada seseorang di telepon, mengajak untuk mengakhiri percakapan mereka.

Aku menurunkan Oliv, lalu meninggalkan teras rumah Siska. 

"Mbak Ajeng, Mbak! Nitip anak-anak lagi, dong. Masa aku mandi, masak sambil jagain mereka, repot Mbak. Boleh, ya, aku nitip mereka sebentar," pinta Siska dengan wajah memelas. 

Aku berhenti, lalu berbalik menatap Siska yang tampak salah tingkah. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pendi Bae
mantullllllll
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
Pembukaan aja udah menarik......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Tetanggaku Luar Biasa    Oliv Sakit

    Bukan Tetangga BiasaBab 3"Nitip Fia sama Oliv, lagi?"Siska mengangguk sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum palsu."Siska, maaf, ya. Aku juga mau masak buat makan malam. Jadi, maaf, nggak bisa bantu jaga mereka lagi."Seketika raut wajah Siska berubah. Dengan nada suara memelas dia meminta aku membawa salah satu anaknya, tapi kutolak."Mbak Ajeng nggak kasihan apa? Masa aku masak sambil jagain mereka berdua. Terus, kalo aku mandi, siapa yang ngawasin mereka?"Aku yang sudah turun dari teras rumah Siska kembali balik badan dan menatap tajam padanya. "Itu urusanmu! Tadi, satu setengah jam, kamu nitip mereka ke anak-anakku, kamu ngapain aja?""Kan, aku udah bilang, temenku nelp

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Siska Ke mana?

    Tetanggaku Luar BiasaBab 4"Bukan itu, Mbak," bantah Siska dengan suara pelan. "Anakku nggak biasa diobati dengan cara tradisional. Fia sama Oliv, dari bayi kalo panas langsung dibawa ke dokter."Aku menghela napas kasar. Ingin rasanya menepuk jidat sendiri."Maaf, Siska. Perasaan semalam cuaca gerah banget. Kenapa Oliv bisa masuk angin? Di rumah kalian juga nggak ada kipas angin, kan?" tanyaku menurunkan nada suara.Siska masih menunduk. Wanita berambut panjang itu melirik pada suamiku. "Kemarin sore, pas aku mandi, Oliv sama Fia nggak mau aku tinggal. Jadi, aku bawa ke kamar mandi. Soalnya mereka juga belum mandi, aku pikir sekalian aja. Habis mandi aku sekalian nyuci baju. Anak-anak ikut main air sampai aku beres nyuci. Terus, malamnya, badan Oliv panas sama muntah-mu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Masih Saja Salah

    Tetangga Luar BiasaBab 5"Mbak Ajeng ini, gimana sih? Dititipin Fia, malah Fia dititipin lagi ke orang lain. Kalo, nggak mau, ngomong dong, Mbak. Jadi, Fia aku bawa sekalian. Bukan malah dititipin lagi ke orang!" oceh Siska saat aku tiba di rumah seusai menjemput Alisha.Siska terlihat kesal. Sambil berdiri di teras rumahku, ia menggendong Oliv, sementara tangan satunya memegang tangan Fia. Mendengar omelan Siska, aku buru-buru memarkir sepeda motor, dan langsung menghampirinya."Kamu dari mana aja? Sebelum nyalahin orang lain, lihat dirimu sendiri dulu! Atau, kamu bakalan malu sendiri! Jangan menyalahkan orang lain hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri!" sahutku ketus.Sebenarnya aku ingin balik mencaci maki Siska. Akan tetapi, aku tidak mau Alisha melihat ibunya marah

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Status W******p

    Tetanggaku Luar BiasaBab 6Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.Jadi, sebena

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Fia Masih Di sini?

    Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Tambahan Modal

    Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Nebeng Ke Swalayan

    Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Tetanggaku Luar Biasa    Mereka Ke Mana?

    Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30

Bab terbaru

  • Tetanggaku Luar Biasa    End

    Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu

  • Tetanggaku Luar Biasa    Bab 46

    Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Tetanggaku Luar BiasaPermintaan dan tawaran Pak Rudi terus terngiang di telinga. Aku memang sengaja tidak langsung menjawabnya dan berpura-pura meminta waktu untuk memikirkan semuanya. Padahal, aku memang tergiur dengan tawaran itu. Kapan lagi, ada orang yang dengan suka rela membiayai perceraianku, ya, kan? Dan, aku juga berpikir, bahwa inilah saatnya, aku menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa aku pun bisa menjadi orang kaya. "Sis, kamu ngelamun terus, ada apa?" tegur Mia saat kami berjalan menuju kamar seusai bekerja.Aku dan Mia menempati kamar yang sama, di belakang restoran. Pak Rudi memang memberikan fasilitas mess untuk karyawan, terutama yang perempuan. "Tuh, kan, ngelamun lagi. Ada apa sih?" tanya Mia sambil membuka kunci kamar kami. Kemudian, kami berdua masuk. "Mm, nggak apa-apa Mia," jawabku sambil tiduran di atas kasur lipat yang cukup untuk empat orang. Kata Mia, dulu, kamar ini ditempati empat orang sebelum dua orang yang lain dipindahkan ke restoran yang baru.

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Tetanggaku Luar Biasa"Saya akan membiayai perceraian kamu, asal…."Pak Rudi tidak melanjutkan kalimatnya. "Asal apa, Pak?" Pak Rudi tersenyum. Tangan halusnya mengusap kedua pipiku. Perlahan wajah Pak Rudi mendekat membuat hati berdebar tak karuan. Hembusan napasnya menyapa lembut wajahku. Tanpa sadar, mata pun terpejam untuk menghindari tatapan Pak Rudi. "Asal, kamu selalu ada buat saya," bisiknya di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Sebelum ini, aku memang sering menghabiskan waktu dengan beberapa cowok. Dari yang biasa saja sampai yang luar biasa dan melewati batas yang seharusnya kujaga. Tapi, rasanya biasa saja dan tidak mendebarkan seperti ini. Sungguh, bersama Pak Rudi, membuatku tak berdaya. "Sis, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Rudi, cepat aku membuka mata, tampak pria berkumis tipis itu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum jahil."Sa-saya baik-baik saja," jawabku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Duh, malunya. Aku pikir tadi Pak Rudi akan melakukan sesuatu

  • Tetanggaku Luar Biasa    Rayuan Siska

    Tetanggaku Luar BiasaKeputusanku sudah bulat. Aku bosan terkungkung di dalam rumah yang menurutku melelahkan. Keadaan ekonomi yang tetap sulit, keluarga mertua yang selalu mengabaikanku bahkan saat butuh bantuan. Suami juga susah disuruh pulang. Hah! Menyedihkan sekali hidupku. Dengan alasan menyusul A Sandi ke Jakarta, aku meninggalkan Alif bersama mertuaku di Sumedang. Aku bilang ke mereka, ada lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko di dekat tempat kerja A Sandi. Mereka percaya begitu saja, bahkan memberikan tambahan ongkos.Apa kubilang? Orang tua A Sandi itu sebenarnya mata duitan, mereka ingin punya menantu yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, mereka memutar balikkan fakta, seolah akulah yang boros dan mata duitan. Lihatlah, mereka memasang wajah sumringah saat aku berpamitan. Mereka memintaku bekerja dengan tekun agar bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah seperti keinginanku. Menyebalkan bukan? Bahkan Bapakku saja tidak pernah menyuruhku bekerja mencari uang. ***

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status