Tetanggaku Luar Biasa
Bab 1
Suara tangisan bocah dari rumah sebelah, seolah menjadi musik pengiring kesibukan di pagi hari. Sebentar lagi, pasti terdengar teriakan.
"Aa! Pegang dulu si ade!"
Benar, kan? Belum selesai aku menghitung sampai tiga, suara teriakan itu sudah terdengar. Aku sudah hafal betul ritual pagi hari dari tetangga baru yang menempati rumah tepat di samping kanan rumahku. Sebenarnya, mereka itu masih saudara jauh suamiku. Entah bagaimana urutannya, yang jelas kata ibu mertua, mereka memanggilku Mbak atau Teteh. Otomatis, anak-anak mereka memanggilku Bude atau Uwak.
"Assalamualaikum, Mbak! Punten!"
Terdengar suara salam diiringi ketukan pintu. Aku yang baru selesai mencuci piring, segera menuju ruang depan untuk membuka pintu. Tampak tetangga sebelah tengah berdiri sambil menggendong anaknya yang baru berumur satu tahun. Sementara di sebelahnya, berdiri seorang anak perempuan berumur tiga tahun.
"Ada apa, Sis?" tanyaku pura-pura, padahal aku sudah mulai hafal kebiasaannya setiap pagi.
"Mm, maaf, Mbak Ajeng. Aku mau nitip Oliv sebentar," jawabnya sambil menyerahkan bocah kecil bernama Olivia itu padaku.
Mau tidak mau aku menerima dan menggendong bocah menggemaskan itu. "Emang, kamu belum beres?"
"Belum, Mbak. Tinggal nyuci sama masak, sih."
"Oh, ya sudah."
"Mbak, udah beres semua?" tanyanya sambil melihat ke dalam rumahku.
"Udah, kok. Tinggal nganter Andra ke sekolah."
"Oh. Kalo gitu, sekalian nitip Fia, ya. Aku mau ke warung depan, sekalian ikut ke ayahnya Fia. Soalnya kalo, Fia diajak, suka minta jajan."
Tanpa menunggu jawabanku, Siska berlalu meninggalkan kedua anaknya. Ya, hampir setiap pagi, Siska selalu menitipkan kedua anaknya di sini. Awalnya, memang aku yang berinisiatif mengasuh anaknya. Tak tega rasanya melihat Siska mengepel teras dan menjemur pakaian sambil menggendong Oliv. Lama-lama, Siska tak segan menitipkan kedua anaknya padaku dengan berbagai alasan.
"Bude, mamam," rengek Fia sambil menarik pinggiran dasterku saat kuajak masuk ke rumah.
"Fia lapar?"
Gadis kecil berambut keriting itu mengangguk.
"Mm, Fia mandi dulu, ya."
Bocah yang masih memakai baju tidur bergambar hello kitty itu menggeleng. Aku tahu dia belum mandi. Bahkan, Oliv pun, dari aromanya ketahuan belum mandi.
"Kalo mau mamam, mandi dulu. Ntar baru mamam bareng Mas Andra. Bude masak ayam goreng, loh. Fia mau?"
Mata bening Fia berbinar mendengar bujukanku. Detik berikutnya, bocah berpipi tembem itu mengangguk.
"Nah, sekarang, jagain dulu dedeknya. Bude siapin dulu air anget buat mandi, ya."
"Iya. Tapi, nanti mamam ayamnya dua," pinta Fia sambil menunjukkan tiga jari tangan kanannya padaku.
"Iya, tapi, jagain adiknya dulu, ya.:
Gadis kecil itu mengangguk. Aku segera berlalu ke kamar mandi, menyiapkan air hangat. Kemudian kembali ke ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang keluarga dan menyatu ruang makan. Kuajak kedua bocah perempuan itu mandi. Aku tak perlu pusing soal baju ganti. Karena sering dititipkan dan mandi di sini, beberapa pasang baju mereka pun bermigrasi ke rumah ini.
***
Jam setengah delapan, Andra, Fia dan Oliv sudah selesai makan. Waktunya aku mengantar Andra ke sekolah. Akan tetapi, Siska belum muncul juga. Rumahnya juga tampak sepi. Mungkin masih di warung depan. Teleponku tidak diangkat, pesan juga tidak dibaca.
"Ibu, ayo berangkat! Ntar Andra kesiangan," rengek Andra tak sabar.
"Bentar, kita tunggu Tante Siska dulu, ya."
Andra merengut, mungkin kesal.
Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda Siska datang. Akhirnya kuputuskan untuk mengantarkan Andra sambil membawa Fia dan Oliv. Tak apalah, toh, jalan yang menuju sekolah Andra melewati warung yang dimaksud Siska. Nanti, kutinggalkan kedua bocah ini pada ibunya di sana.
"Andra, duduk di belakang, ya. Fia di tengah. Pegangan yang kenceng, ya," pesanku sambil menaikkan dua bocah itu ke atas jok sepeda motor. Untung, Andra sedang baik hati, dan mau duduk di belakang. Biasanya, mana mau.
"Duh, kenapa jadi repot begini," gerutuku sendirian. Perasaan mengurus dua anak sendirian tak serepot ini.
***
Sepeda motor kupacu perlahan hingga tiba di warung di ujung gang. Terlihat Siska sedang tertawa-tawa bersama ibu-ibu yang lain sambil mengerumuni meja berisi aneka sayur mayur. Entah apa yang membuat mereka tertawakan. Duh, enak bener, pagi-pagi nongkrong di warung, sementara anaknya dititipkan ke orang lain.
Setelah memarkir sepeda motor dengan aman, aku turun. Beberapa ibu menoleh dan menyapaku ramah. Kubalas sapaan mereka tak kalah ramah.
"Sis, maaf. Ini, Fia sama Oliv. Aku mau anter Andra ke sekolah," ujarku sambil menyerahkan Fia dan hendak melepas gendongan Oliv.
Siska terlihat tidak senang dengan kedatanganku. "Yah, Mbak. Cuma nitip bentar doang, udah dianterin lagi."
Hah? Sebentar? Satu jam lebih, dia bilang sebentar? Yang benar saja.
"Lagian, aku pulangnya gimana? Belanjaanku banyak, loh, Mbak. Masa aku gendong anak, bawa belanjaan, nuntun juga," gerutu Siska.
Beberapa pasang mata menatap kami. Aku memilih diam dan memasang wajah jutek. Ingin rasanya aku menjawab, "itu sih DL, alias Derita Lu!"
"Mbak, masa tega liat aku kerepotan," ujar Siska dengan wajah memelas.
Senyum palsu segera kupamerkan. "Siska, sayang. Nitip anak sampai satu jam lebih, itu lama, loh. Ya, nggak Bu-Ibu?"
Ibu-ibu itu saling pandang. Kemudian ada yang mengangguk setuju, ada yang diam saja, ada juga yang menggeleng dengan ekspresi gemas.
"Kalo kamu nggak mau repot, pulangnya naik ojek aja. Tuh, banyak," lanjutku sambil menunjuk beberapa tukang ojek yang mangkal tak jauh dari warung ini.
"Tapi, Mbak …."
"Kalo nggak mau repot, sewa pembantu dong," sahutku cepat. "Udah, ah. Aku antar Andra dulu, takut kesiangan. Mari, Bu-Ibu, assalamualaikum."
"W*'alaikumsalam," jawab ibu-ibu serempak.
Tanpa ba-bi-bu aku segera meninggalkan warung untuk mengantarkan Andra. Tak kupedulikan bisik-bisik dan tatapan heran dari para ibu di sekitar Siska. Siska memasang wajah cemberut saat aku meninggalkannya. Bodo amat. Elu jual, gue beli.
Tetanggaku Luar BiasaBab 2Mengantarkan Andra di sekolah adalah salah satu rutinitas keseharianku. Biasanya aku menyempatkan diri menyapa sesama wali murid yang juga mengantar anaknya. Sesekali ikut nongkrong bareng mereka, biar tidak disebut sombong dan kudet. Karena, sebenarnya aku termasuk tipe orang yang tidak suka terlalu lama nongkrong dan terlibat obrolan tidak jelas. Mendingan di rumah, nonton tivi atau baca novel, atau mengerjakan sesuatu yang lain. Nanti, waktunya Andra pulang, aku jemput lagi. Toh, jarak antara rumah dan sekolah Andra tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit kalau memakai sepeda motor.Nah, jam dua siang, biasanya aku bersama Andra, menjemput Alisha. Alisha adalah anak sulungku yang duduk di bangku kelas tujuh."Bu, pulangnya makan bakso dulu, yuk," ajak Alisha sambi
Bukan Tetangga BiasaBab 3"Nitip Fia sama Oliv, lagi?"Siska mengangguk sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum palsu."Siska, maaf, ya. Aku juga mau masak buat makan malam. Jadi, maaf, nggak bisa bantu jaga mereka lagi."Seketika raut wajah Siska berubah. Dengan nada suara memelas dia meminta aku membawa salah satu anaknya, tapi kutolak."Mbak Ajeng nggak kasihan apa? Masa aku masak sambil jagain mereka berdua. Terus, kalo aku mandi, siapa yang ngawasin mereka?"Aku yang sudah turun dari teras rumah Siska kembali balik badan dan menatap tajam padanya. "Itu urusanmu! Tadi, satu setengah jam, kamu nitip mereka ke anak-anakku, kamu ngapain aja?""Kan, aku udah bilang, temenku nelp
Tetanggaku Luar BiasaBab 4"Bukan itu, Mbak," bantah Siska dengan suara pelan. "Anakku nggak biasa diobati dengan cara tradisional. Fia sama Oliv, dari bayi kalo panas langsung dibawa ke dokter."Aku menghela napas kasar. Ingin rasanya menepuk jidat sendiri."Maaf, Siska. Perasaan semalam cuaca gerah banget. Kenapa Oliv bisa masuk angin? Di rumah kalian juga nggak ada kipas angin, kan?" tanyaku menurunkan nada suara.Siska masih menunduk. Wanita berambut panjang itu melirik pada suamiku. "Kemarin sore, pas aku mandi, Oliv sama Fia nggak mau aku tinggal. Jadi, aku bawa ke kamar mandi. Soalnya mereka juga belum mandi, aku pikir sekalian aja. Habis mandi aku sekalian nyuci baju. Anak-anak ikut main air sampai aku beres nyuci. Terus, malamnya, badan Oliv panas sama muntah-mu
Tetangga Luar BiasaBab 5"Mbak Ajeng ini, gimana sih? Dititipin Fia, malah Fia dititipin lagi ke orang lain. Kalo, nggak mau, ngomong dong, Mbak. Jadi, Fia aku bawa sekalian. Bukan malah dititipin lagi ke orang!" oceh Siska saat aku tiba di rumah seusai menjemput Alisha.Siska terlihat kesal. Sambil berdiri di teras rumahku, ia menggendong Oliv, sementara tangan satunya memegang tangan Fia. Mendengar omelan Siska, aku buru-buru memarkir sepeda motor, dan langsung menghampirinya."Kamu dari mana aja? Sebelum nyalahin orang lain, lihat dirimu sendiri dulu! Atau, kamu bakalan malu sendiri! Jangan menyalahkan orang lain hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri!" sahutku ketus.Sebenarnya aku ingin balik mencaci maki Siska. Akan tetapi, aku tidak mau Alisha melihat ibunya marah
Tetanggaku Luar BiasaBab 6Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.Jadi, sebena
Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu
Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me
ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki
Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya
Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke
Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu
Tetanggaku Luar BiasaPermintaan dan tawaran Pak Rudi terus terngiang di telinga. Aku memang sengaja tidak langsung menjawabnya dan berpura-pura meminta waktu untuk memikirkan semuanya. Padahal, aku memang tergiur dengan tawaran itu. Kapan lagi, ada orang yang dengan suka rela membiayai perceraianku, ya, kan? Dan, aku juga berpikir, bahwa inilah saatnya, aku menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa aku pun bisa menjadi orang kaya. "Sis, kamu ngelamun terus, ada apa?" tegur Mia saat kami berjalan menuju kamar seusai bekerja.Aku dan Mia menempati kamar yang sama, di belakang restoran. Pak Rudi memang memberikan fasilitas mess untuk karyawan, terutama yang perempuan. "Tuh, kan, ngelamun lagi. Ada apa sih?" tanya Mia sambil membuka kunci kamar kami. Kemudian, kami berdua masuk. "Mm, nggak apa-apa Mia," jawabku sambil tiduran di atas kasur lipat yang cukup untuk empat orang. Kata Mia, dulu, kamar ini ditempati empat orang sebelum dua orang yang lain dipindahkan ke restoran yang baru.
Tetanggaku Luar Biasa"Saya akan membiayai perceraian kamu, asal…."Pak Rudi tidak melanjutkan kalimatnya. "Asal apa, Pak?" Pak Rudi tersenyum. Tangan halusnya mengusap kedua pipiku. Perlahan wajah Pak Rudi mendekat membuat hati berdebar tak karuan. Hembusan napasnya menyapa lembut wajahku. Tanpa sadar, mata pun terpejam untuk menghindari tatapan Pak Rudi. "Asal, kamu selalu ada buat saya," bisiknya di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Sebelum ini, aku memang sering menghabiskan waktu dengan beberapa cowok. Dari yang biasa saja sampai yang luar biasa dan melewati batas yang seharusnya kujaga. Tapi, rasanya biasa saja dan tidak mendebarkan seperti ini. Sungguh, bersama Pak Rudi, membuatku tak berdaya. "Sis, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Rudi, cepat aku membuka mata, tampak pria berkumis tipis itu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum jahil."Sa-saya baik-baik saja," jawabku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Duh, malunya. Aku pikir tadi Pak Rudi akan melakukan sesuatu
Tetanggaku Luar BiasaKeputusanku sudah bulat. Aku bosan terkungkung di dalam rumah yang menurutku melelahkan. Keadaan ekonomi yang tetap sulit, keluarga mertua yang selalu mengabaikanku bahkan saat butuh bantuan. Suami juga susah disuruh pulang. Hah! Menyedihkan sekali hidupku. Dengan alasan menyusul A Sandi ke Jakarta, aku meninggalkan Alif bersama mertuaku di Sumedang. Aku bilang ke mereka, ada lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko di dekat tempat kerja A Sandi. Mereka percaya begitu saja, bahkan memberikan tambahan ongkos.Apa kubilang? Orang tua A Sandi itu sebenarnya mata duitan, mereka ingin punya menantu yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, mereka memutar balikkan fakta, seolah akulah yang boros dan mata duitan. Lihatlah, mereka memasang wajah sumringah saat aku berpamitan. Mereka memintaku bekerja dengan tekun agar bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah seperti keinginanku. Menyebalkan bukan? Bahkan Bapakku saja tidak pernah menyuruhku bekerja mencari uang. ***