Tetanggaku Luar Biasa
Bab 6
Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.
Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.
Jadi, sebenarnya, aku marah pun percuma. Karena, Mas Reyhan bersikap biasa saja seolah tidak ada pertengkaran. Hanya aku yang diam seribu bahasa. Walaupun tetap mengerjakan segala sesuatu seperti biasanya.
"Bu, nggak sarapan?" tanya Alisha. Mungkin anak sulungku itu heran, kenapa aku tidak bergabung bersama mereka seperti biasanya.
"Ibu, masih kenyang, Kak. Tadi subuh-subuh minum susu. Kalian aja yang sarapan. Ibu mau nyuci dulu," jawabku sambil memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.
"Oh." Alisha tidak bertanya lagi, dan melanjutkan sarapannya.
Sementara aku, melanjutkan aktivitas dengan membawa baju-baju berwarna putih ke kamar mandi untuk dicuci secara manual alias pakai tangan. Suara tangisan Fia dan Oliv masih terdengar, ditimpali teriakan Siska menyuruh keduanya diam. Ah, bodo amat. Pekerjaanku juga masih banyak. Toh, suaminya masih ada di rumah, masa iya tidak mau membantu menenangkan anak-anaknya.
***
Mas Reyhan sudah berangkat kerja, sekaligus mengantar Alisha ke sekolah. Tinggal aku menyelesaikan pekerjaan dan bersiap mengantarkan Andra. Suara tangisan Fia dan Oliv juga sudah berhenti. Kedua bocah itu tampak sedang bermain di teras bersama Arif ayahnya yang sudah memakai seragam kerja. Ah, lega rasanya melihat kakak beradik itu tertawa ceria.
Sebenarnya aku tidak keberatan membantu menjaga kedua bocah itu saat ibunya sedang kerepotan. Toh, tidak sekali dua kali aku dititipi anak tetangga, saat mereka akan pergi ke tempat yang tidak mungkin membawa anak-anak. Atau anak mereka tidak mau ikut. Aku juga tidak segan membantu menjaga anak tetangga saat ibu mereka repot dengan pekerjaan rumah. Karena, saat Alisha dan Andra kecil dulu, aku pun sering dibantu tetangga. Terutama Wak Ayi.
Membantu tetangga yang kesusahan adalah hal lumrah di sini. Apalagi sebagian besar warga kompleks ini pendatang, sama seperti aku dan Mas Reyhan. Jadi, karena merasa sama-sama jauh dari keluarga, membuat kami saling melengkapi, saling menolong, dan bekerja sama. Mungkin Siska belum tahu, karena tergolong warga baru.
"Bu, ayo, berangkat!" teriak Andra dari muka pintu.
Mendengar teriakan Andra, aku segera membereskan ember kosong, sisa gantungan, dan penjepit baju.
"Siap, Bos! Tunggu bentar, ya. Ibu ganti baju dulu."
Tak lama kemudian, kami berdua meluncur menuju ke sekolah Andra. Aku berencana untuk menunggu sampai bocah yang wajahnya mirip Mas Reyhan itu pulang. Sekalian mempromosikan beberapa baju model baru pada sesama wali murid. Nanti, pulangnya sekalian mengirim pesanan beberapa pelanggan.
***
"Mbak Ajeng, baca SW-nya Mbak Siska nggak?" tanya Leni, tetanggaku yang rumahnya paling ujung. Dia ke sini untuk melihat-lihat beberapa daster dan baju batik yang baru datang.
"Nggak, Len. Kenapa?"
Leni menunjukkan ponselnya padaku.
'Duh, gini amat yak, jauh dari ortu dengan duo bocil. Apalah daya, sodara yang dekat pura-pura nggak tau kesusahan kita. Bocil nangis kenceng pun pura-pura nggak denger. Nasib!'
Mataku membulat membaca tulisan Siska pagi tadi. Aku memang jarang sekali mengintip status w******p orang lain. Jaid, kalau disindir tidak akan tahu. Penasaran kubaca status selanjutnya.
'Duh, kerjaan belum kelar, suami udah berangkat kerja, duo bocil nggak mau ditinggalin. Gimana ini?'
Kali ini, tulisan disertai foto Fia dan Oliv yang sedang menangis. Sungguh aku ingin tertawa membaca dua tulisan itu. Kuserahkan ponsel pada Leni.
"Bukannya kamu komentarin atuh Len, bilang, kalo banyak kerjaan buru kerjain, bukan dibikin status. Orang kerjaan rumah belum kelar kok, sempet-sempetnya nyetatus. Anak nangis itu ditenangin, bukan difoto terus dibikin SW."
"Iya, ya, Mbak. Aneh. Tau, nggak? Ibu-ibu di warung langsung pada ngomong, kalo status itu nyindir Mbak Ajeng."
"Biarin aja, Len. Toh, ibu-ibu di sini udah pada kenal saya. Udah pada tahu sifat saya seperti apa, kan?"
"Iya, juga sih. Mm, Mbak, aku ambil dasternya dua, buat mamaku satu, buat mama mertua satu. Sama, baju tidur satu, ya. Tapi, biasa, aku bayar tiap akhir bulan."
Aku tersenyum melihat Leni menunjukkan pilihannya. Dia selalu begitu, selain membeli untuk dirinya, dia juga membeli dua buah daster batik. Untuk ibunya sendiri dan ibu mertuanya. Corak dan model disamakan, cuma warna saja yang beda. Biasanya dia membayar tiap akhir bulan. Aku setuju saja, toh, selama ini Leni belum pernah macet membayar baju-baju yang dia ambil.
Ibu-ibu yang lain juga sama. Alhamdulillah mereka amanah dan tidak banyak protes. Karena, harga yang aku tawarkan sama dengan yang di pasar atau toko. Tidak apa-apa, untung sedikit, asal banyak yang beli. Toh, tidak semua membayar dengan cara diangsur. Para pelanggan yang rumahnya jauh dan di luar kota, selalu membayar cash. Terkadang dilebihkan malah. Tuh, rezeki mah, dari mana saja. Tidak usah khawatir.
"Mau ke bude, mau ke bude …."
Aku yang sedang mengantar Leni ke luar segera menoleh ke arah teras rumah Siska. Tampak Fia menangis kencang dan sedang dipaksa masuk oleh ibunya.
"Ngga mau masuk, mau ke bude!" teriak Fia lagi diiringi tangisan.
"Bude! Bude! Bude siapa? Nggak usah ke sana-sana lagi! Mereka itu bukan siapa-siapa! Masuk!" teriak Siska sambil menarik tangan Fia yang berusaha kabur.
Mendengar omelan Siska pada Fia, seketika hatiku memanas. Hanya padaku Fia menyebut bude. Karena itulah aku tahu, Siska sedang menyindirku.
"Nggak mau! Aku mau ke Bude!" teriak Fia lagi.
"Masuk! Kalo nggak masuk, mama pukul kamu!"
Aku dan Leni saling pandang. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah mereka saat melihat Siska hendak memukul Fia. Kutahan tangan yang akan dipakai memukul tubuh Fia lagi.
"Sabar Siska! Bukan begini caranya ngomong sama anak kecil!" bentakku dengan napas memburu menahan marah.
"Lepas! Nggak usah ikut campur! Dia anakku! Terserah mau aku apakan! Minggir!" bentak Siska padaku.
Leni rupanya menyusulku ke teras rumah Siska. Ia menggendong Fia yang menangis dan terlihat ketakutan.
"Akan jadi urusan kami, kalo kamu melakukan kekerasan terhadap anak!" Aku menghempaskan tangan Siska dengan kasar, sehingga membuatnya sedikit terhuyung.
"Ayo, Len!"
Leni mengangguk, lalu mengikuti langkahku meninggalkan teras rumah Siska. Ku ambil alih Fia dari gendongan Leni.
Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian
Tetanggaku Luar BiasaBab 11"Mang Ali bilang, dari kemarin, mereka nggak pulang ke sana." Mas Reyhan menyahut dengan suara pelan.Aku mengerutkan kening, agak terkejut. Kalau tidak pulang kampung, terus Siska dan Arif ke mana? Padahal, saat meminjam mobil kemarin, Siska bilang mau pulang kampung. Kalau memang mau pinjam mobil dua hari bilang saja, tidak apa-apa. Jujur, saja. Kalau seperti ini, aku jadi khawatir terjadi apa-apa sama keluarga kecil Siska. Karena sejak kemarin tidak bisa dihubungi, dan tidak memberi kabar."Ya sudah, Ayah sama Alisha berangkat pakai sepeda motor. Ibu sama Andra naik ojek atau angkot, nggak apa-apa," usulku.Mas Reyhan menyetujui usulku. Tak lama kemudian, pria yang jarang marah itu, berangkat bersama anak sulung kami. Mudah-mudahan dia tidak terlambat sampai k
Tetanggaku Luar BiasaBab 12"Kalian apakan Alif?"Kedua anakku saling pandang. Kulihat kaca-kaca di mata polos keduanya. Jujur, sebagai ibu, aku tidak tega melihat mereka ketakutan seperti ini. Akan tetapi, aku juga tidak akan membiarkan mereka melakukan kekerasan pada orang lain, jika bukan untuk membela diri."Alisha! Bisa kamu jelasin sama ibu?"Alisha mengangkat wajahnya. Ada garis memanjang berwarna merah dari samping alis sampai pipi pada wajah yang serupa dengan Mas Reyhan itu. Aku mengerutkan kening, dan menajamkan penglihatan untuk memperjelas melihat luka di wajah Alisha."Ini, kenapa?"Alisha tak lagi bisa membendung tangisnya. Begitu pula Andra. Sebagai ibu, tak ada pilihan lain, kecuali me
Tetanggaku Luar BiasaBab 13"Sudah, bubar! Bubar! Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mohon, yang tidak berkepentingan, untuk meninggalkan tempat ini, terima kasih!" seru Pak RT pada orang-orang yang masih berkerumun di depan rumahku dan rumah Siska.Sungguh tak kusangka, keributan ini ternyata mengundang perhatian banyak orang. Setelah ini, mungkin, aku akan menjadi bahan gunjingan orang-orang sekompleks. Duh, dasar Siska. Ada-ada saja."Mbak Siska, Mbak Ajeng, saya rasa, ini cuma masalah sepele, dan salah paham. Dan, saya sebagai ketua RT di sini, berharap, kita sudahi saja masalah ini. Jangan diperpanjang lagi. Namanya juga anak-anak. Wajar kalo mereka berantem. Ntar juga, akur lagi. Kita, sebagai orang tua, sebaiknya jangan terlalu ikut campur. Anak-anak, mah, berantem sekarang, nggak sampai satu jam j
Tetanggaku Luar BiasaBab 14"Aku, kan, udah bilang! Kalo bisnis kamu itu bikin kamu keteteran ngurus dan lalai mengawasi anak-anak, hentikan!"Aku sedikit terkejut mendengar bentakan Mas Reyhan. Selama aku mengenalnya, baru kali ini, aku melihatnya semarah itu."Mas, ini cuma masalah sepele, anak-anak berantem itu wajar. Kenapa jadi bawa-bawa bisnisku?"Wajah Mas Reyhan memerah, dia menatap tajam ke arahku. "Bikin anak orang babak belur, kamu bilang sepele, hah?"Lagi-lagi aku beristighfar. Alisha dan Andra mempererat pegangan mereka pada lenganku."Mas, istighfar! Minum dulu, biar tenang. Kita ngomong baik-baik, bisa?"Mas Reyhan memejamkan mata, ia terlihat me
Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu
Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me
ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki
Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya
Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke
Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu
Tetanggaku Luar BiasaPermintaan dan tawaran Pak Rudi terus terngiang di telinga. Aku memang sengaja tidak langsung menjawabnya dan berpura-pura meminta waktu untuk memikirkan semuanya. Padahal, aku memang tergiur dengan tawaran itu. Kapan lagi, ada orang yang dengan suka rela membiayai perceraianku, ya, kan? Dan, aku juga berpikir, bahwa inilah saatnya, aku menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa aku pun bisa menjadi orang kaya. "Sis, kamu ngelamun terus, ada apa?" tegur Mia saat kami berjalan menuju kamar seusai bekerja.Aku dan Mia menempati kamar yang sama, di belakang restoran. Pak Rudi memang memberikan fasilitas mess untuk karyawan, terutama yang perempuan. "Tuh, kan, ngelamun lagi. Ada apa sih?" tanya Mia sambil membuka kunci kamar kami. Kemudian, kami berdua masuk. "Mm, nggak apa-apa Mia," jawabku sambil tiduran di atas kasur lipat yang cukup untuk empat orang. Kata Mia, dulu, kamar ini ditempati empat orang sebelum dua orang yang lain dipindahkan ke restoran yang baru.
Tetanggaku Luar Biasa"Saya akan membiayai perceraian kamu, asal…."Pak Rudi tidak melanjutkan kalimatnya. "Asal apa, Pak?" Pak Rudi tersenyum. Tangan halusnya mengusap kedua pipiku. Perlahan wajah Pak Rudi mendekat membuat hati berdebar tak karuan. Hembusan napasnya menyapa lembut wajahku. Tanpa sadar, mata pun terpejam untuk menghindari tatapan Pak Rudi. "Asal, kamu selalu ada buat saya," bisiknya di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Sebelum ini, aku memang sering menghabiskan waktu dengan beberapa cowok. Dari yang biasa saja sampai yang luar biasa dan melewati batas yang seharusnya kujaga. Tapi, rasanya biasa saja dan tidak mendebarkan seperti ini. Sungguh, bersama Pak Rudi, membuatku tak berdaya. "Sis, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Rudi, cepat aku membuka mata, tampak pria berkumis tipis itu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum jahil."Sa-saya baik-baik saja," jawabku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Duh, malunya. Aku pikir tadi Pak Rudi akan melakukan sesuatu
Tetanggaku Luar BiasaKeputusanku sudah bulat. Aku bosan terkungkung di dalam rumah yang menurutku melelahkan. Keadaan ekonomi yang tetap sulit, keluarga mertua yang selalu mengabaikanku bahkan saat butuh bantuan. Suami juga susah disuruh pulang. Hah! Menyedihkan sekali hidupku. Dengan alasan menyusul A Sandi ke Jakarta, aku meninggalkan Alif bersama mertuaku di Sumedang. Aku bilang ke mereka, ada lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko di dekat tempat kerja A Sandi. Mereka percaya begitu saja, bahkan memberikan tambahan ongkos.Apa kubilang? Orang tua A Sandi itu sebenarnya mata duitan, mereka ingin punya menantu yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, mereka memutar balikkan fakta, seolah akulah yang boros dan mata duitan. Lihatlah, mereka memasang wajah sumringah saat aku berpamitan. Mereka memintaku bekerja dengan tekun agar bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah seperti keinginanku. Menyebalkan bukan? Bahkan Bapakku saja tidak pernah menyuruhku bekerja mencari uang. ***