Share

Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam
Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam
Penulis: Rahma La

Ketukan Tengah Malam

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aduh, sakit, Pa! Sakit!" Teriakan itu kencang sekali. Aku meringis sendiri setiap kali mendengarkannya. Aduh, rasanya tidak sanggup mendnegar teriakan itu. 

"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun, sakit!" Teriakan itu terdengar kembali, aku mengambil bantal, menutupi telingaku dengan bantal, astaga aku terganggu sekali. 

Aku memperbaiki posisi tidur beberapa kali, suara itu tetap saja terdengar menyeramkan dan menyakitkan. Aduh, bagamana cara agar aku tidak bisa mendengarkan teriakan itu kembali? Setiap mendengarkannya, aku malah merasa semakin kasian dengan orang yang berteriak. Aku menghela napas beberapa kali. Ini benar-benar mengganggu ku. 

"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun!" Teriakan iyu kembali terdengar.

Ini tidak bisa dibiarkan. Aku beranjak. Menghela napas beberapa kali, tidak bisa tertidur akibat suara itu. Kalau tidak ada suara itu, mungkin aku tidak akan merasa terganggu seperti sekarang. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. 

"Aduh, kamu ngapain sih dari tadi bolak-balik tempat tidur? Aku jadi gak bisa tidur nih. Kamu berisik banget." Suamiku ikut terbangun, padahal tsid tidur dia pulas sekali. 

Bagaimana caranya aku bisa tidur kalau suara itu benar-benar mengganggu hidup kami? Aku mengusap telinga, suamiku memang tidak tau banget kalau aku merasa terganggu dan tidak bisa tidur akibat suara itu. 

"Suara itu lho, Mas. Kamu kenapa bisa tidur sih sedangkan suara itu ganggu banget tidur." Aku mengembuskan napas kesal, suamiku mengangkat bahu, dia kembali tertidur. 

Astaga, aku menepuk dahi, dia cepat sekali bisa tidur. Melupakan soal jeritan itu. Suamiku mana peduli dengan suara bising itu. Aku mengusap telinga lagi, kemudian kembali merebahkan tubuh, berusaha kembali tidur. 

"Sakit! Aduh, Pa! Ampun sakit banget! Sakit! Ampun, Pa! Ampun."

Ini memang hanya aku yang mendengarnya atau bagaimana sih? Lihatlah suamiku sudah tertidur lelap, seolah tidak peduli dengan suara menyebalkan yang mengganggu tidurku itu. Aku mengusap telinga, benar-benar suaranya seperti berada di sebelahku. Aku menelan ludah, kembali mencoba untuk tidur, memejamkan mata. 

"Udah sakit, Pa! Sakit! Ampun!" Suara anak kecil itu terdengar lagi. Aku menelan ludah, tidak bisakah anak kecil itu diam sebentar? Suaranya benar-benar mengganggu tidurku. 

Berkali-kali teriakan itu terdengar setiap malam, sampai aku sendiri tidak bisa tidur dibuatnya. Ini tetangga juga merasakan begini atau bagaimana sih? Kenapa sepertinya tidak ada yang merasa terganggu dengan teriakan itu?

Mereka tidak pernah bertanya atau mebgobrolaknya kalau sedang mengobrol bersama. Seolah-olah suara itu tidak pernah ada. Aku menghela napas kesal, merasa benar-benar terganggu dan aku tidak bsia tidur lagi sekarang. 

Ayolah, kemarin aku sudah tidak tidur, kemarin nya juga aku sudah tidak tidur, mengantuk sekali rasanya. Biasanya aku juga tidur siang-siang sih, tapi kan aku juga malam butuh tidur. Hari ini masa aku tidak tidur lagi sih? Begadang mendengarkan suara teriakan itu gitu?" 

"Mas! Mas Fahri, bangun dong." Aku menggoyangkan tubuhnya yang pulas sekali tertidur. Mas Fahri seolah tidak menanggapi aku. Dia kembali tidur, tidak terganggu dengan teriakan juga guncangan dairku. 

dasar menyebalkan. Hampir saja aku menimpuknya dengan sesuatu slalu dia tidak terbangun. Mas Fajri ikut duduk di kasur, matanya menyipit, kemudian menoleh ke aku. 

"Apalagi sih? Kamu itu tinggal tidur kok susahnya? Gak usah didengerin, anggap aja angin lalu. Atau besok aku beliin barang biar kamu gak bisa dengerin suara teriakan itu lagi deh." Mas Fahri memberikan solusi padaku, matanya masih terlihat mengantuk. 

Astaga, apakah dia tidak punya hati? Harusnya dia juga ikut memikirkan ada apa dengan anak itu. Malah memberikan ku solusi untuk membeli sesuatu agar tidak mendengarkan teriakan itu. Mas Fahri benar-benar menyebalkan. 

"Udahlah, biairn aja. Lagian mereka itu punya keluarga kan? Biar keluarga mereka aja yang ngurus. Kita gak perlu ikut campur. Oke? Kamu dnegar aku, Sayang?"

Bukan begitu, bukannya aku tidak mendengarkan perkataan Mas Fahri, tapi kasian lho. Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak tahan mendengarkannya. "Kasian banget anak itu, tiap malam disiksa."

"Namanya juga anak tiri, Nay." Mas Fahri akhirnya menjawab lebih baik, dia menguap beberapa kali. Dia tampak tidak peduli sama sekali.

Kata tetangga menang benar begitu, anak yang ada di dalam rumah itu adalah anak tiri. Aku yang mendengarkan sendiri penjelasan mereka saat aku bertanya pada salah stau warga. Mereka menjawab ragu-ragu pertanyaan ku. 

Memangnya kenapa sih kalau anak tiri? Tetap saja kan kasian. Aku menghela napas pelan, masih merasa kasian pada anak itu. Kan tidak ada yang salah dari anak tiri, dia juga manusia. Bukan untuk disiksa begitu, kalau hanya untuk menyiksa, lebih baik berikan saja anaknya pada yang menginginkan, bukannya begitu caranya atau beriksan saja pada panti asuhan agar mereka menjaga anak itu dengan baik. Jangan sampai dia merasa kesakitan begitu. 

Aku mengusap dahi mendengar perkataan Mas Fahri. Kami harusnya melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Kami yang mendengarkan  tidak boleh diam begitu saja. Kasihan anak kecil yang ada di rumah itu. Dia tersiksa sekali sepertinya, apalagi teriakan dia begitu menyiksa. Aku saja yang membayangkannya tidak bisa, apalagi kalau terjadi padaku coba? Ah, aku tidak bisa membayangkan hal itu. 

"Kamu mau laporin lagi? Gak bakalan ditanggapin, Nay." Mas Fahri menggelengkan kepala melihat ekspresi wajahku, dia seolah tau apa yang sedang aku pikirkan. 

Tapi itu kN perbuatan mulia kalau kami membantu anak malang itu. Kasian sekali dai sampai merasa tersiksa di rumahnya sendiri. Rumah yang menurutku besar dengn mewah, tetapi malah isinya menyakitkan. Aku lebih khawatir pada anak kecil itu. 

Ya, sudah hampir sepuluh kali kami melaporkannya ke pihak berwajib atas kasus kekerasan anak. Tidak ada tanggapan. Seolah angin lalu. Tidak ada yang menanggapi, bahkan tidak ada yang memproses laporan kami, seolah kami ini memberitahukan hal yang tidak penting

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Narti Riyanto
cerita halusinasi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Ziva Meninggal?

    "Tutup pintunya cepetan, Nay!"Dengan tangan gemetar, aku menutup pintu rumah. Jantungku berdetak kencang sekali."Kenapa kamu buka pintu rumah? Jangan macam-macam lagi, ah."Aku menelan ludah, yang aku peluk tadi—Astaga, sulit dicerna oleh nalar manusia. Aku tadi melihat anak kecil dengan darah di wajahnya yang hancur."Jangan dibayangin lagi. Tidur, besok kesiangan."Aku merasa, ada yang aneh dengan keluarga Zifa. Bukan hanya hubungan anak tiri dengan papanya yang jahat itu.Ah, aku harus mencari tahu. Membela hak Zifa.***"Zifa abis dari mana?" tanyaku sambil menyapu halaman rumah. Zifa lewat depan rumahku.Wajahnya tampak pucat, mungkin karena Papanya tadi malam.Zifa berhenti sebentar. Dia menoleh ke aku.&

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Luka itu Tidak Ada di Tubuh Ziva

    Sebelum baca, yang belum Subscribe/Berlangganan, disubscribe/Berlangganan dulu, yaa.***"Aku gak kerja hari ini. Bantu-bantu di sana aja.""Serius, Mas? Kamu gak bohong, kan? Gak mungkin Zifa meninggal. Jelas-jelas tadi dia bicara sama aku."Uhuk!Mas Fahri yang sedang minum tersedak. Dia menatapku terkejut."Kamu halusinasi atau gimana, Nay? Jelas-jelas Mas lihat jasadnya Zifa dibawa tadi. Udah pucat, kaku juga. Kalau Mas perhatiin, meninggalnya tadi malam. Baru ketemu tadi subuh."Aku mengusap wajah. Kalau benar tadi malam habis teriakan Zifa kesakitan, aku akan merasa bersalah sekali.Astaga, kenapa aku membiarkan anak kecil disiksa papanya sendiri?"Siap-siap. Jangan melamun. Kita gak salah apa-apa. Gak ada yang salah di sini. Ingat, jangan merasa bersalah, Nay."&nbs

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Peringatan dari Orang Tak Terduga

    Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.***"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak."Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah.Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini."Bi?"Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal."Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Halusinasi Mama Ziva

    SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?""Bukannya tadi yang jatuhin—"Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka."Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya."Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa.""Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—""Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.***"Ser

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Pembicaraan Pembantu Ziva di Telepon

    SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Heh! Kamu ngapain Ibu?"Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku."Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan."Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?"Non Zifa udah meninggal, Bu.""Lalu tadi?"Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa."Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali."Ah, iya. Tadi saya ny

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Titik Terang

    SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Siapa di sana?"Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga."Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan."Untung sempat merekam tadi."***"Bibi pulang dulu, ya, Ngga.""Iya. Makasih

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Nenek yang Penuh Misteri

    "Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Papa Penghancur Segalanya

    "Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak

Bab terbaru

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Akhir (TAMAT)

    Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Masalah Apa?

    "Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berjuang Bersama

    Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Perkelahian Tak Bisa Dihindari

    "Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Didatangi Tamu Tak Diundang

    "Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berubah Arah

    "Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Menumpas Kejahatan

    "Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Tindakan

    "Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Barang Misterius

    "Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny

DMCA.com Protection Status