Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.
***
"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak.
"Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."
Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah.
Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?
"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"
Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?
Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini.
"Bi?"
Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal.
"Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"
"Oke. Cukup, Bi. Saya belum siap dengernya."
Abangnya Zifa seolah menyembunyikan rahasia besar.
"Ah, ya. Nama saya Angga, Bi. Mama tinggal sama saya di kota lain. Sedangkan adek tinggal sama Papa. Saya kira, Adek baik-baik aja. Ternyata enggak."
Aku mengembuskan napas pelan, kenapa mereka membiarkan anak perempuan seperti Zifa tinggal bersama Papanya sendiri?
Ya Allah, apakah Zifa menjadi korban—
Buru-buru aku menggelengkan kepala. Masih belum percaya dengan pemikiranku.
"A—apa yang sebenarnya terjadi pada Zifa?"
"Saya juga gak tau, Bi. Yang saya tau, Zifa nitip sesuatu sama Bi Nay. Sempat dia kasih juga fotonya. Astaga, saya kira adik saya baik-baik aja, Bi."
"Tiap malam, Zifa sering teriak kesakitan. Awalnya Bibi kira gak papa. Semakin lama, justru semakin menjadi. Gak ke hitung lagi teriakan Zifa."
Angga terlihat pucat. Dia pasti menyesalinya.
"Kenapa Adek gak pernah bilang ke Abang? Kenapa?"
"Sudahlah. Jangan disesali lagi. Gak akan bisa. Zifa sudah dikuburkan."
"Iya, Bi. Saya mau minta tolong lagi, Bibi bisa gak?"
Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Sesuai apa yang dikatakan oleh Zifa. Aku harus membantu Abangnya.
"Tolong bantu saya mengungkap kasus ini, Bi. Gak ada yang tau kejadian itu selain Zifa dan Papa. CCTV di rumah ini ternyata rusak semua. Saya gak tau apa-apa. Masalahnya petunjuk hanya teriakan Zifa. Saya gak tau harus gimana, Bi."
"Sebelum Zifa meninggal, Bibi udah janji untuk membongkar semuanya. Tapi Bibi gak bisa sendirian."
"Pasti saya bantu, Bi. Saya boleh minta nomor telepon Bibi?"
Aku mengangguk. Memberikan nomor telepon pada Angga.
"Den Angga, Ibu udah sampai. Nyariin Den Angga."
"Nanti saya kesana, Bi."
Pembantu Angga mengangguk, melirikku sekilas. Tatapannya sinis. Entah kenapa, aku merasa adq yang aneh dengannya.
"Kebetulan saya lagi di kota ini, maka nya datang cepat tadi, Bi. Kalau Mama di luar kota, agak lama. Gak nunggu Mama nguburnya, Bi. Kasian kelamaan."
Cerita panjang lebar Angga aku tanggapi dengan anggukan. Pikiranku masih melayang ke pembantu Zifa.
"Nanti kita ketemu lagi, ya, Bi. Saya nemuin Mama dulu."
"Iya."
Aku melangkah keluar rumah Zifa. Nanti lagi, Mas Fahri sepertinya sudah pulang.
"Mas, udah sarapan?" tanyaku sambil duduk di kursi. Aku menatap Mas Fahri yang diam saja.
Tidak biasanya. Mas Fahri tidak pernah diam seperti ini, melamun. Dia paling tidak betah.
"Mas?"
"Tolong Zifa, Nay."
Deg.
Nada suara Mas Fahri berbeda sekali. Aku terdiam, dia juga tidak biasanya menyinggung soal Zifa.
Ada yang berbeda. Aku menatap Mas Fahri cukup lama.
"Zifa udah meninggal, Mas." Aku berkata pelan.
"Tolong Zifa. Dia menderita. Tolong dia."
Aku akhirnya menganggukkan kepala. Dari pada urusannya panjang lebar.
Selesai mengambilkan Mas Fahri sarapan, aku kembali keluar rumah. Ke rumah Zifa lagi. Tidak enak kalau lama-lama perginya.
"Kamu abis dari rumah, Nay?"
Eh? Tubuhku kaku mendengar suara Mas Fahri. Bukankah dia tadi ada di rumah? Kenapa sekarang ada di sini?
"Lho, kok kamu di sini, Mas? Bukannya di rumah?"
"Hah?! Dari tadi Mas di sini, Nay. Belum pulang ke rumah. Halusinasi lagi kamu, ya?"
Jantungku berdetak cepat mendengarnya. Lalu siapa yang mengobrol denganku tadi?
Astaga. Berapa kali aku mengalami kejadian persis seperti ini? Mengerikan.
"Udah. Jangan dipikirin lagi. Nanti aja kita obrolin."
Mas Fahri menepuk pundakku pelan, kemudian berlalu.
Saat aku sedang membantu membereskan piring kotor, ada yang menepuk pundakku.
Pembantu Zifa. Yang aku curigai. Dia membantu membawakan piring.
"Selama bertetangga, kita belum pernah kenalan atau saling sapa, ya, Bu."
Aku meliriknya, kemudian tersenyum terpaksa. Entahlah, meskipun dia terlihat ingin hangat kali ini, tapi masih ada yang mengganjal di hatiku.
"Bi Nay sama Bibi tolong potongin kue ini, ya."
Angga memberikan beberapa kue lapis. Aku mengambilnya, membawa ke belakang. Diikuti pembantu Zifa.
"Papanya Non Zifa itu gak suka sama orang yang mencampuri hidup keluarganya."
Mendengar itu, aku menoleh. Merasakan ada sesuatu di kalimat pembantu Zifa.
Terdengar benda terjatuh. Aku menelan ludah melihat pisau yang jatuh di sampingku.
Ah, dia memperingatiku barusan.
Ada sesuatu yang terjadi antara Zifa, Papanya, dan pembantunya.
***
Jangan lupa like dan komen, yaa.
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?""Bukannya tadi yang jatuhin—"Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka."Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya."Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa.""Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—""Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.***"Ser
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Heh! Kamu ngapain Ibu?"Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku."Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan."Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?"Non Zifa udah meninggal, Bu.""Lalu tadi?"Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa."Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali."Ah, iya. Tadi saya ny
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Siapa di sana?"Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga."Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan."Untung sempat merekam tadi."***"Bibi pulang dulu, ya, Ngga.""Iya. Makasih
"Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P
"Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak
"Sudah selesai memeriksa kamar Zifa, Nak?"Eh? Kami berdua menoleh ke belakang. Nenek itu sudah menunggu di depan pintu. "U—udah, Nek.""Makan, yuk. Nenek udah masak.""Iya. Ayo, Nay. Beresin itu dulu."Aku mengangguk. Buru-buru membereskan kotak dan buku yang berserakan. Juga mengantongi foto dan kertas tadi. Kami sampai di dapur. Aku menelan ludah, melihat makanan yang tersaji. Seperti bubur yang diaduk-aduk saja. Entah apa rasanya. "Ayo, Nak. Dicicipi."Patah-patah aku mengangguk, mengambil sendok. Kemudian memakan bubur itu. Benar saja. Rasanya aneh, campur aduk. Baunya juga amis sekali. Aku langsung mengambil tisu, pura-pura membersihkan mulut. Putri menyenggolku. Wajahnya juga tampak aneh."Makan-makan aja, telan pakai air. Jangan dibuang, nanti Nenek itu gak suka sama kita," bisik Putri. Masalahnya, gimana cara menelan makanan ini. Entah rasanya asin, pedas, manis, campur aduk. Akhirnya, sdiaduk-aduk makan bubur ini setengah hati. Aku menghela napas pelan, rasanya peru
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid
"Sesuatu apa, Ngga?" Angga menoleh ke sekitar. Mungkin memastikan tidak ada orang di sekitar kami. "Lihat ini, Bi."Aku menatap kalung yang ditunjukkan Angga. Apanya yang berbeda? "Mana sesuatunya?" "Yang ini, Bi." Tertulis nama seseorang di sana. Aku mengernyit, nama siapa itu? Tulisannya juga berwarna merah, berbau amis. "Maksudnya apa, Ngga?""Ini nama pembantu di sini, Bi. Kalau Angga hubungin sama maaalah ini, dia pelaku utamanya."Astaga. Aku menatap Angga tidak percaya. Benarkah itu semua? "Serius, Ngga? Tapi bukannya Papa tiri kamu pelaku utamanya? Kenapa jadi—""Ini serius banget, Bi Nay. Aku pokoknya bakalan hukum seberat-beratnya."Entah kenapa, aku masih belum yakin dengan pembantu itu. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar lain. Bukti kami belum banyak. Seperti robot, pasti ada sesuatu besar yang menggerakkannya. Pasti masalah ini sama seperti itu. "Ada yang tahu selain kita gak?"Angga diam sejenak. Dia menatapku aneh. "Tahu apa, Bi?" "Gak mungkin
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
"Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku
"Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan
"Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny