"Sudah selesai memeriksa kamar Zifa, Nak?"Eh? Kami berdua menoleh ke belakang. Nenek itu sudah menunggu di depan pintu. "U—udah, Nek.""Makan, yuk. Nenek udah masak.""Iya. Ayo, Nay. Beresin itu dulu."Aku mengangguk. Buru-buru membereskan kotak dan buku yang berserakan. Juga mengantongi foto dan kertas tadi. Kami sampai di dapur. Aku menelan ludah, melihat makanan yang tersaji. Seperti bubur yang diaduk-aduk saja. Entah apa rasanya. "Ayo, Nak. Dicicipi."Patah-patah aku mengangguk, mengambil sendok. Kemudian memakan bubur itu. Benar saja. Rasanya aneh, campur aduk. Baunya juga amis sekali. Aku langsung mengambil tisu, pura-pura membersihkan mulut. Putri menyenggolku. Wajahnya juga tampak aneh."Makan-makan aja, telan pakai air. Jangan dibuang, nanti Nenek itu gak suka sama kita," bisik Putri. Masalahnya, gimana cara menelan makanan ini. Entah rasanya asin, pedas, manis, campur aduk. Akhirnya, sdiaduk-aduk makan bubur ini setengah hati. Aku menghela napas pelan, rasanya peru
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid
"Sesuatu apa, Ngga?" Angga menoleh ke sekitar. Mungkin memastikan tidak ada orang di sekitar kami. "Lihat ini, Bi."Aku menatap kalung yang ditunjukkan Angga. Apanya yang berbeda? "Mana sesuatunya?" "Yang ini, Bi." Tertulis nama seseorang di sana. Aku mengernyit, nama siapa itu? Tulisannya juga berwarna merah, berbau amis. "Maksudnya apa, Ngga?""Ini nama pembantu di sini, Bi. Kalau Angga hubungin sama maaalah ini, dia pelaku utamanya."Astaga. Aku menatap Angga tidak percaya. Benarkah itu semua? "Serius, Ngga? Tapi bukannya Papa tiri kamu pelaku utamanya? Kenapa jadi—""Ini serius banget, Bi Nay. Aku pokoknya bakalan hukum seberat-beratnya."Entah kenapa, aku masih belum yakin dengan pembantu itu. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar lain. Bukti kami belum banyak. Seperti robot, pasti ada sesuatu besar yang menggerakkannya. Pasti masalah ini sama seperti itu. "Ada yang tahu selain kita gak?"Angga diam sejenak. Dia menatapku aneh. "Tahu apa, Bi?" "Gak mungkin
"Apaan, sih, Put? Biasa aja kali. Gak usah panik, cuma mau ke rumah anak itu.""Coba aku lihat alamatnya."Meskipun agak bingung, aku tetap memberikan ponsel itu ke Putri. Dia ingin melihat alamatnya. "Astaga!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Angga menghentikan mobil. Kami fokus ke Putri yang terlihat aneh. "Kenapa, Put?" Aku melirik Angga yang ikut menoleh ke belakang. "Pesannya gak sengaja ke hapus, Nay. Nomornya juga. Gimana jadinya?"Kami bertatapan sejenak. Angga mengangkat bahu, itu bukan masalah besar sebenarnya. Aku menoleh kembali ke Putri. Sebenarnya, pesan itu sulit dihapus. Tidak mungkin gak sengaja kehapusnya. Kecuali, Putri memang ada niatan untuk menghapus pesan itu. "Gak papa. Sini ponselnya."Brak!Bagus. Aku menatap ponsel yang sudah tergeletak di lantai mobil. Ada apa, sih, dengan Putri hari ini? Dia terlihat aneh sekali. Putri buru-buru mengambil ponsel milik Angga. "Gak bisa dinyalain lagi. Maaf, ya."Aku menoleh ke Angga. Wajahnya biasa saja. "Gak papa, Bi.
"Nenek tadi bilang—""Kita sudah sampai, Nak."Eh? Aku melongo mendengarnya. Belum juga Angga berbicara sesuatu. Rumah di sini seperti rumah panggung, tapi terlihat lebih tua, sepertinya rapuh juga. Aku menatap sekeliling, tidak ada yang menarik. "Kalian betul mau ke rumah Pia?"Aku mengangguk. Jelas saja. "Ayo."Nenek ini tahu di mana rumah Pia? Berarti itu berita bagus sekali. Kami tidak perlu mencari tahu sendiri. Kami kembali berjalan. Sejak tadi, Angga terus melirikku. Dia ingin mengatakan sesuatu. "Nah, ini, Nak.""Ini rumah Pia, Nek?" tanyaku sambil menatap rumah itu. Terlihat sudah rapuh sekali rumahnya. Aku menatap dari sisi samping juga. Seperti mau ambruk. "Bukan. Ini rumah Nenek, Nak. Mari, masuk."Eh? Kenapa kami malah ke rumah Nenek ini? Bukankah kami mau ke rumah Pia?Aku menoleh ke Angga. Dia menggelengkan kepala, tanda tidak membolehkanku untuk protes. "Kalian ingin menanyakan soal Zifa, bukan?"Astaga. Aku mengerjapkan mata mendengar pertanyaan nenek itu. Dia
"Ja—jadi Pia sudah meninggal, Nek?""Sebulan setelah kepindahannya kesini, Nak."Mendadak kakiku lemas mendengarnya. Masih jelas sekali di pikiranku, ketika Pia menelepon kemarin. "Kalian sempat mendengar suara Pia?"Aku mengangguk. "Kemarin kami sempat teleponan, Nek.""Serius, Nak?" Nenek itu ikut berjongkok di sebelahku. Kami sudah ada di dekat kuburan Pia. Aku menatap gundukan tanah itu, mengembuskan napas pelan. "Iya, Nek. Serius sekali, saya berbicara dengan Pia kemarin, juga Angga.""Ah, ada dua kemungkinannya, Nak." "Apa itu, Nek?""Nanti saja. Kamu sejak tadi mau berbicara dengan Pia, kan? Silakan. Kamu juga Angga?"Angga mengangguk, dia mengambil posisi jongkok di sebelahku. Sungguh, aku mengira kalau Pia masih hidup. Ternyata, dia sudah—Ah, lalu kemana lagi kami harus mencari semua informasi ini? Awalnya, aku hanya ingin mengandalkan Pia. "Ayolah, Nak. Fokus sekarang. Pikirkan nanti. Nenek sudah punya sesuatu untuk kamu."Aku menoleh ke Nenek itu, mengernyit. Dia men
"Pia cucu Nenek?" tanya Angga terkejut. "Iya. Pia, sahabat Zifa. Dia yang memegang rahasia Zifa."Ini benar-benar kabar gembira. Aku mengambil foto yang ada di tangan Angga. Berusaha mengingat wajah remaja yang mengobrol denganku tadi. "Jadi, Nak. Serius kamu bertemu dengan Pia tadi? Di sana?""Iya, Nek." Aku mengalihkan pandangan. "Tadi Pia bilang—""Nay, kamu udah hubungi Fahri belum? Dia nelponin aku, nanyain kamu terus."Kami menoleh ke pintu. Ada Putri di sana. Dia menatap kami. Buru-buru aku mendekati Putri, mengambil ponsel yang diberikannya. Padahal, aku sudah mematikan ponsel, agar Mas Fahri tidak bertanya yang aneh-aneh. Kalau menurutku, menghubungi Mas Fahri hanya ketika waktu luang saja. Aduh, jangan sampai Putri bilang yang tidak-tidak. "Masih terhubung itu."Aku berdeham, keluar dari kamar sebentar. "Halo, Mas. Tumben nelepon lewat Putri.""Iyalah. Aku telepon kamu gak aktif nomornya. Siapa lagi yang mau aku telepon selain Putri?" tanyanya ketus. Aduh, dari nadany
"Isi kotaknya apa, Bi?" tanya Angga. Dia mendekat ke arahku. "Kayaknya, lumayan berharga, Ngga."Aku membuka tutup kotak itu hati-hati. Kami menatap sebentar isi di dalamnya. "Coba keluarin, Bi." Hanya sebuah buku. Aku mengangguk, mengeluarkan buku itu dari dalam kotak. Ah, buku ini seperti buku harian, tapi terkunci juga."Yah, kok pakai dikunci segala, sih? Pakai kunci kotak itu bisa gak, Bi?" tanya Angga sambil melirik kotak tadi. Tidak usah dicoba juga tidak akan pas. Lubang kunci ini lebih kecil, tidak cocok untuk kunci yang masih menggelantung di kotak. "Nay, udah belum?""Astaga." Aku menoleh ke pintu. "Sabar, Putri. Sebentar lagi aku pasti keluar, jangan kayak gitu terus bisa gak, sih?" tanyaku kesal. "Biasa aja, Nay. Suami kamu ganggu aku terus. Memangnya enak ditelepon beberapa menit sekali?"Aku menghela napas pelan, memasukkan buku itu kembali ke kotak, menguncinya. Kemudian beranjak. Aku akan membawa kotak ini pulang. Bagaimana pun caranya. "Eh? Memangnya Nenek itu
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
"Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku
"Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan
"Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny