SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.
***
"Heh! Kamu ngapain Ibu?"
Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku.
"Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"
Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan.
"Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?
"Non Zifa udah meninggal, Bu."
"Lalu tadi?"
Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa.
"Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."
Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali.
"Ah, iya. Tadi saya nyuruh Angga manggil kamu." Pandangannya teralih ke pembantu Zifa. "Bi, tolong keluar, ya. Saya mau bicara penting sama Bibi Nay."
"Tapi, Bu—"
"Bi, tolong, ya."
Dengan berat hati, pembantu Zifa keluar kamar, sambil melirikku tajam. Dia sepertinya tidak menyukaiku sejak awal kami bertemu.
Aku mendekat, Mama Zifa menatapku sejak tadi.
"Terakhir saya bertemu dengan Zifa dua bulan yang lalu." Dia diam sejenak, mendongak. "Zifa kelihatan bahagia sekali. Jujur, saya pikir tidak ada apa-apa dengan anak saya."
Tanganku terangkat, mengusap bahu Mama Zifa. Mama dan Abangnya pasti punya penyesalan yang sama.
"Dia anak yang ceria. Gak pernah nangis. Selalu tertawa pas saya telepon dia."
"Kenapa Zifa ditinggal dengan papa tirinya, Bu? Kenapa tidak dengan Ibu?"
"Sekolah Zifa ada di sini. Lagi pula, katanya ada Bibi Nay, dia udah anggap sebagai ibunya sendiri. Saya juga di sana ada kerjaan dan lagi sakit, kontrol ke rumah sakit terus, Bi. Gak bisa ikut sama Zifa."
Aku menganggukkan kepala. Kemudian berdeham. "Apa saya boleh ke kamar Zifa, Bu?"
"Ah, iya. Boleh. Zifa percaya sama Bi Nay. Saya juga harus percaya."
Kami melangkah ke kamar Zifa. Tadinya, aku menyuruh Mama Zifa untuk tiduran saja di kamar, tapi tidak mungkin aku sendirian ke kamar Zifa.
"Bi Nay, kata Angga, Zifa sering teriak kalau malam, ya?"
"Iya, Bu. Saya juga gak tau apa-apa. Suara Zifa terdengar sampai rumah kami. Saya sering rekam suaranya, Bu. Terus buat laporan ke pihak berwajib."
Langkah kami terhenti. Mama Zifa tampak terkejut. "Lalu apa tanggapan pihak berwajib, Bi?"
"Gak ada sama sekali."
Wajah Mama Zifa kembali berubah. Tadi, ada harapan terselip di sana. Kami kembali melanjutkan langkah.
"Boleh saya dengar rekamannya, Bi?"
"Boleh, tapi ponsel saya di rumah, Bu. Nanti saja, ya."
"Bi Nay baik sekali mau membuat laporan untuk Zifa."
Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Padahal, tidak ada hasil sama sekali.
Kami sampai di kamar Zifa. Mama Zifa mengeluarkan kunci, tapi mengernyit, dia sepertinya tidak bisa membuka pintu kamar Zifa.
Pandanganku teralih ke saku celana. Apakah aku bisa membuka pintu kamar ini dengan kunci yang diberikan Zifa?
"Ibu mau ngapain?"
Kami menoleh, mendapati pembantu Zifa yang tampak panik melihat Mama Zifa berusaha membuka pintu kamar.
"Kunci kamar Zifa masih yang lama, kan, Bi? Kok saya gak bisa buka?"
"Masa sih, Bu?" tanyanya sambil mengambil kunci kamar di kantong plastik yang dibawanya di saku celana.
Jadi, pembantu Zifa juga menyimpan kunci?
Aku hanya menatap dari jauh. Memperhatikan gerakan pembantu Zifa yang mencurigakan.
"Gak bisa, Bu."
Bersamaan dengan itu, ada bayangan hitam lewat. Aku mundur selangkah, menelan ludah. Bayangan apa barusan?
"Aduh, gimana, ya? Apa kita jebol aja?"
"Sebaiknya jangan, Bu. Mungkin Zifa gak mau kamarnya dibuka siapa pun."
Entah kenapa, seperti ada yang mendorongku berbicara itu. Aku mengusap wajah, padahal itu bukan kemauanku.
"Betul juga. Yaudah, Bi. Kapan-kapan aja. Saya mau ke ruang tamu dulu. Makasih udah baik sama Zifa selama ini."
Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Menatap Mama Zifa yang melangkah menuruni anak tangga.
Sebelum pergi, aku melirik pembantu Zifa yang masih menatap pintu. Sepertinya, dia penasaran sekali dengan pintu itu.
"Saya duluan, Bi."
***
"Bi Nay, bisa minta tolong bawain ini ke dapur?" tanya Angga sambil membawa piring. Dia menatapku.
"Bisa. Kamu duduk aja."
Angga mengangguk, sambil berterima kasih. Dia kembali ke tempatjya semula.
Aku membawa piring berisi kue ke dapur. Rumah Zifa sudah tidak terlalu ramai.
Namun, sampai sekarang Papa Zifa belum sampai. Padahal, aku berharap dia datang hari ini. Ingin tahu apa yang akan dilakukannya.
Langkahku terhenti mendengar seseorang sedang mengobrol.
"Iya. Dia juga penghalang. Gak nyangka, padahal aku udah singkirin Zifa."
Jantungku berdetak cepat. Itu suara pembantu Zifa.
Apakah ini ada hubungannya dengan kematian Zifa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku menatap pintu yang terbuka sedikit. Berusaha mendengarkan pembantu Zifa yang sedang teleponan.
"Singkirkan dia juga? Oke. Aku gak mau ada penghalang."
***
Maaf kemarin gak update, ada kesibukan. Hari ini Insya Allah update lebih dari satu bab.
Jangan lupa like dan komen, yaa.
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Siapa di sana?"Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga."Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan."Untung sempat merekam tadi."***"Bibi pulang dulu, ya, Ngga.""Iya. Makasih
"Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P
"Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak
"Sudah selesai memeriksa kamar Zifa, Nak?"Eh? Kami berdua menoleh ke belakang. Nenek itu sudah menunggu di depan pintu. "U—udah, Nek.""Makan, yuk. Nenek udah masak.""Iya. Ayo, Nay. Beresin itu dulu."Aku mengangguk. Buru-buru membereskan kotak dan buku yang berserakan. Juga mengantongi foto dan kertas tadi. Kami sampai di dapur. Aku menelan ludah, melihat makanan yang tersaji. Seperti bubur yang diaduk-aduk saja. Entah apa rasanya. "Ayo, Nak. Dicicipi."Patah-patah aku mengangguk, mengambil sendok. Kemudian memakan bubur itu. Benar saja. Rasanya aneh, campur aduk. Baunya juga amis sekali. Aku langsung mengambil tisu, pura-pura membersihkan mulut. Putri menyenggolku. Wajahnya juga tampak aneh."Makan-makan aja, telan pakai air. Jangan dibuang, nanti Nenek itu gak suka sama kita," bisik Putri. Masalahnya, gimana cara menelan makanan ini. Entah rasanya asin, pedas, manis, campur aduk. Akhirnya, sdiaduk-aduk makan bubur ini setengah hati. Aku menghela napas pelan, rasanya peru
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid
"Sesuatu apa, Ngga?" Angga menoleh ke sekitar. Mungkin memastikan tidak ada orang di sekitar kami. "Lihat ini, Bi."Aku menatap kalung yang ditunjukkan Angga. Apanya yang berbeda? "Mana sesuatunya?" "Yang ini, Bi." Tertulis nama seseorang di sana. Aku mengernyit, nama siapa itu? Tulisannya juga berwarna merah, berbau amis. "Maksudnya apa, Ngga?""Ini nama pembantu di sini, Bi. Kalau Angga hubungin sama maaalah ini, dia pelaku utamanya."Astaga. Aku menatap Angga tidak percaya. Benarkah itu semua? "Serius, Ngga? Tapi bukannya Papa tiri kamu pelaku utamanya? Kenapa jadi—""Ini serius banget, Bi Nay. Aku pokoknya bakalan hukum seberat-beratnya."Entah kenapa, aku masih belum yakin dengan pembantu itu. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar lain. Bukti kami belum banyak. Seperti robot, pasti ada sesuatu besar yang menggerakkannya. Pasti masalah ini sama seperti itu. "Ada yang tahu selain kita gak?"Angga diam sejenak. Dia menatapku aneh. "Tahu apa, Bi?" "Gak mungkin
"Apaan, sih, Put? Biasa aja kali. Gak usah panik, cuma mau ke rumah anak itu.""Coba aku lihat alamatnya."Meskipun agak bingung, aku tetap memberikan ponsel itu ke Putri. Dia ingin melihat alamatnya. "Astaga!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Angga menghentikan mobil. Kami fokus ke Putri yang terlihat aneh. "Kenapa, Put?" Aku melirik Angga yang ikut menoleh ke belakang. "Pesannya gak sengaja ke hapus, Nay. Nomornya juga. Gimana jadinya?"Kami bertatapan sejenak. Angga mengangkat bahu, itu bukan masalah besar sebenarnya. Aku menoleh kembali ke Putri. Sebenarnya, pesan itu sulit dihapus. Tidak mungkin gak sengaja kehapusnya. Kecuali, Putri memang ada niatan untuk menghapus pesan itu. "Gak papa. Sini ponselnya."Brak!Bagus. Aku menatap ponsel yang sudah tergeletak di lantai mobil. Ada apa, sih, dengan Putri hari ini? Dia terlihat aneh sekali. Putri buru-buru mengambil ponsel milik Angga. "Gak bisa dinyalain lagi. Maaf, ya."Aku menoleh ke Angga. Wajahnya biasa saja. "Gak papa, Bi.
"Nenek tadi bilang—""Kita sudah sampai, Nak."Eh? Aku melongo mendengarnya. Belum juga Angga berbicara sesuatu. Rumah di sini seperti rumah panggung, tapi terlihat lebih tua, sepertinya rapuh juga. Aku menatap sekeliling, tidak ada yang menarik. "Kalian betul mau ke rumah Pia?"Aku mengangguk. Jelas saja. "Ayo."Nenek ini tahu di mana rumah Pia? Berarti itu berita bagus sekali. Kami tidak perlu mencari tahu sendiri. Kami kembali berjalan. Sejak tadi, Angga terus melirikku. Dia ingin mengatakan sesuatu. "Nah, ini, Nak.""Ini rumah Pia, Nek?" tanyaku sambil menatap rumah itu. Terlihat sudah rapuh sekali rumahnya. Aku menatap dari sisi samping juga. Seperti mau ambruk. "Bukan. Ini rumah Nenek, Nak. Mari, masuk."Eh? Kenapa kami malah ke rumah Nenek ini? Bukankah kami mau ke rumah Pia?Aku menoleh ke Angga. Dia menggelengkan kepala, tanda tidak membolehkanku untuk protes. "Kalian ingin menanyakan soal Zifa, bukan?"Astaga. Aku mengerjapkan mata mendengar pertanyaan nenek itu. Dia
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
"Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku
"Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan
"Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny