“Sudahlah, Ren. Biarkan saja kalau Lea mau cerai dari kamu,” ujar Widi ketika Rendra berkeluh kesah dengannya soal rencana perpisahan yang Leandra ungkapkan. Semalaman itu Rendra tidak bisa tidur karena sibuk memikirkan istrinya. Dia takut seandainya Leandra benar-benar mewujudkan perpisahan mereka. “Kamu sudah punya Silvi yang sedang hamil anak kamu,” sambung Widi. “Sebentar lagi kalian berdua akan menjalani kehidupan yang lengkap, biasanya rejeki akan mengalir deras kalau keluarga kita sudah lengkap.” Rendra menarik napas berat, ucapan Widi justru membuat ketakutan di hatinya semakin merajalela. “Aku nggak mau kehilangan Lea, Bu. Bagaimana pun juga, dia adalah perempuan pertama yang aku nikahi.” “Bukan kamu yang memilih bercerai kok, jadi ngapain kamu pusing-pusing?” “Tapi, Bu ....” “Dengar, Ren. Kamu tidak akan rugi apa-apa kalau cerai sama Lea!” ucap Widi tegas. “Justru Lea yang akan rugi karena dia memilih pisah, memangnya dia bisa apa tanpa kamu, Ren? Gajinya sebagai tukan
Rendra termangu selama beberapa detik. “Kamu tetap minta pisah di saat perekonomian aku sedang terpuruk!” tuduhnya naik pitam. “Istri macam apa kamu, Lea? Di saat aku sedang tumbang, kamu pergi ... Kamu nggak setia sedikit pun sama aku!” “Jangan mempertanyakan kesetiaan yang kamu sendiri nggak punya, Mas!” balas Leandra sambil bersiap menyusul Ivana yang sudah masuk ke dalam taksi. “Kurang apa aku sama kamu selama ini? Kamu tiba-tiba nikah lagi, aku diam! Kamu lebih memilih Silvi untuk menemani kamu di acara kantor, aku diam! Kamu beli rumah untuk Silvi, aku juga diam! Kamu minta uang untuk membantu pengeluaran ibu, aku kasih! Kurang apa lagi aku?” Rendra sontak terdiam. “Lea, ayo!” ajak Ivana tegas. “Tidak usah kamu ladeni!” Leandra berbalik dan Rendra langsung mencekal lengannya. “Aku kasih kamu kesempatan terakhir,” ucap Rendra tegas. “Kamu tetap mau bercerai sama aku?” “Ya,” angguk Leandra tanpa ragu. “Kalau begitu lepaskan itu,” suruh Rendra sambil menunjuk cincin emas yan
“Kamu ini kenapa sih, Mas?” tukas Silvi seraya menekuk wajahnya. “Jelas-jelas Mbak Lea pilih berpisah sama kamu, kenapa kamu masih saja mengharapakan dia kembali?” Rendra mengembuskan napasnya kasar. “Gimana sih kamu, tadi kamu dukung aku?” “Memang iya sih, tapi ...” Silvi mengangguk. Dukung perceraian kamu maksudnya, dia menyambung dalam hati. “Sebelum semua ini terlambat, Vi!” keluh Rendra frustrasi. “Lea itu segalanya buat aku ....” “Kalau begitu kamu anggap aku apa, Mas?” potong Silvi jengkel. “Aku kan juga istri kamu!” Rendra menghela napas, dia pikir Silvi bisa diandalkan untuk membantunya mendapatkan hati Leandra kembali. Namun, ternyata Silvi justru marah besar dan lebih sensitif sejak kehamilannya membesar. “Sial!” Kaki Rendra menendang ban mobil saking putus asanya. “Apa yang Anda lakukan di sini?” Suara seorang pria menegur Rendra, membuat dia menoleh dan langsung bertatapan mata dengan Tian. Ternyata sudah sejak tadi Rendra memarkirkan mobilnya di depan kantor Tia
Tin! Tin!“Lea!” Terdengar suara Rendra yang menggelegar memanggilnya.Bagaimana ini?“Leandra, cepat masuk!” suruh Tian dengan suaranya yang tidak kalah keras.Leandra terperanjat dan segera memanjat masuk ke mobil sang bos.“Pak, maaf! Bapak jadi terlibat urusan ini!” “Tidak masalah, saya cuma tidak mau kamu terlambat kerja—itu sangat merugikan!”Leandra menyandarkan punggungnya ketika mobil Tian melaju kencang dan kini berkejar-kejaran dengan mobil Rendra.“Kamu tidak sekalian lapor polisi?” tanya Tian sambil terus mengemudi. “Kelihatannya dia terus berusaha ....”“Malu, Pak!”“Kenapa malu? Sekalian saja yang kekerasan itu kamu laporkan disertai bukti-buktinya!”Leandra terdiam.“Saya ... saya cuma ingin secepatnya bercerai dari suami saya, Pak. Jadi saya tidak mungkin menambahkan perkara kekerasan itu, yang pastinya akan membutuhkan proses penyelidikan lebih lama lagi.”“Terserah kamu, tapi ada baiknya bukti-bukti kekerasan itu kamu simpan. Siapa tahu akan berguna su
Leandra mondar-mandir di teras rumah tantenya, dia sudah mendapat kabar dari rekan Tian kalau kemungkinan surat dari pengadilan sudah diterima pihak Rendra.“Semoga Mas Rendra nggak mempersulit proses perceraian kami,” ucap Leandra penuh harap. “Alah, kamu seperti tidak tahu siapa itu Rendra!” tukas Ivana ketika Leandra membahas kemungkinan itu. “Dia pasti menurut apa kata ibunya, tante lihat sendiri bagaimana reaksi mertua kamu saat kita ke rumahnya waktu itu!”Ivana menyoroti tentang sikap Widi yang tampak biasa-biasa saja saat Leandra datang untuk mengambil barang-barangnya.“Dan mungkin mertuaku lebih condong ke istri kedua Mas Rendra,” timpal Leandra sambil mengangguk.“Itu kamu tahu!” sahut Ivana gemas sendiri. “Tante berani jamin, Rendra pasti setuju cerai pada akhirnya. Kalau dia mempersulit, kamu sodorkan sekalian bukti kekerasan yang kamu alami.”Leandra mengangguk lagi. Beruntung dia sempat mengirim foto-foto itu kepada Dini sekadar untuk jaga-jaga.“Mas! Jangan mel
“Bersulang!”“Sukses terus untuk klinik perawatan kita!”“Maju bersama Pak Bram!”“Pak Tian juga!”Beberapa gelas beradu, menimbulkan denting keras di tengah-tengah pesta syukuran atas keberhasilan klinik meningkatkan penjualan produk mereka hingga tujuh puluh persen.“Kalian bebas makan apa pun yang kalian suka!” suruh Bram. “Ada bos kita yang akan membayar semuanya!”Dia lantas meletakkan lengannya di atas bahu Tian.“Potong gaji satu-satu,” sahut Tian tanpa ekspresi di wajahnya.“Yaahhhh ... dikira gratis!”“Semangat langsung hilang!”Seluruh karyawan serentak mengeluarkan sorakan setelah Tian meminta mereka untuk membayar dengan gaji masing-masing.“Tenang, tenang!” lerai Nezia sambil tersenyum tipis. “Kalian tahu Pak Tian itu tidak suka bercanda, sekalinya bercanda pasti kelihatan serius—sudah sana, kalian makan lagi yang banyak!”“Yang bayar siapa pastinya, Bu?”“Saya mendadak kenyang kalau disuruh bayar sendiri, Bu!”Nezia tertawa lagi.“Perusahaan yang akan baya
Di dalam resto, kepala Nezia celingukan begitu dia tidak mendapati Tian yang sempat mengobrol bersama Bram.“Kok sendirian?” tanya Nezia heran. “Tian mana?”“Pulang,” jawab Bram singkat.Nezia mengerutkan keningnya, dia heran kenapa Tian pulang secepat itu dari resto.“Leandra? Kamu kenapa?”Sementara itu Tian masih berusaha membangunkan Leandra yang tidak sadarkan diri di lengannya.“Leandra? Bangun! Leandra?” panggil Tian berulang-ulang. Dia bingung harus melarikan Leandra ke mana, rumahnya saja tidak tahu.Karena tidak punya pilihan yang pas, Tian akhirnya memutuskan untuk membawa Leandra ke dalam mobil.“Leandra?” panggil Tian sambil berdiri, berusaha membangunkan pegawainya yang duduk terpejam di jok mobil. “Leandra?”Karena tidak ada respons, dia sengaja menaruh jarinya di dekat hidung Leandra dan merasakan masih ada embusan napas lembut yang menyapu kulitnya.Dengan cepat Tian menutup pintu mobil dan segera berputar untuk masuk ke sisi yang satunya. “Istri Anda hany
Leandra menggeliat perlahan, lalu tidak lama setelah itu kedua matanya terbuka. “Di mana ini?” gumam Leandra, mendadak dia bangun dan memandang ke sekelilingnya. “Ini bukannya ruang staf?” Leandra menoleh ke sandaran sofa yang terdapat paperbag besar bertuliskan: Ini peralatan mandi dan juga baju kamu. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa, berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi hingga dia bisa terdampar di ruang staf seperti ini. “Masa iya aku hilang ingatan?” gumam Leandra seraya beringsut turun dari sofa dan menyeret kedua kakinya sembari menenteng paperbag itu. Selama mandi, Leandra terus berpikir keras karena yang dia ingat hanyalah ketika dia berpisah dengan Devi di jalan depan resto, setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Beruntung, paperbag yang diberikan kepadanya isinya lengkap dari mulai handuk, dalaman, dan baju semi formal. Leandra sangat berterima kasih kepada siapa pun yang telah menyesuaikan keperluan itu untuknya. Begitu keluar dari kamar mandi, Lea