Tin! Tin!“Lea!” Terdengar suara Rendra yang menggelegar memanggilnya.Bagaimana ini?“Leandra, cepat masuk!” suruh Tian dengan suaranya yang tidak kalah keras.Leandra terperanjat dan segera memanjat masuk ke mobil sang bos.“Pak, maaf! Bapak jadi terlibat urusan ini!” “Tidak masalah, saya cuma tidak mau kamu terlambat kerja—itu sangat merugikan!”Leandra menyandarkan punggungnya ketika mobil Tian melaju kencang dan kini berkejar-kejaran dengan mobil Rendra.“Kamu tidak sekalian lapor polisi?” tanya Tian sambil terus mengemudi. “Kelihatannya dia terus berusaha ....”“Malu, Pak!”“Kenapa malu? Sekalian saja yang kekerasan itu kamu laporkan disertai bukti-buktinya!”Leandra terdiam.“Saya ... saya cuma ingin secepatnya bercerai dari suami saya, Pak. Jadi saya tidak mungkin menambahkan perkara kekerasan itu, yang pastinya akan membutuhkan proses penyelidikan lebih lama lagi.”“Terserah kamu, tapi ada baiknya bukti-bukti kekerasan itu kamu simpan. Siapa tahu akan berguna su
Leandra mondar-mandir di teras rumah tantenya, dia sudah mendapat kabar dari rekan Tian kalau kemungkinan surat dari pengadilan sudah diterima pihak Rendra.“Semoga Mas Rendra nggak mempersulit proses perceraian kami,” ucap Leandra penuh harap. “Alah, kamu seperti tidak tahu siapa itu Rendra!” tukas Ivana ketika Leandra membahas kemungkinan itu. “Dia pasti menurut apa kata ibunya, tante lihat sendiri bagaimana reaksi mertua kamu saat kita ke rumahnya waktu itu!”Ivana menyoroti tentang sikap Widi yang tampak biasa-biasa saja saat Leandra datang untuk mengambil barang-barangnya.“Dan mungkin mertuaku lebih condong ke istri kedua Mas Rendra,” timpal Leandra sambil mengangguk.“Itu kamu tahu!” sahut Ivana gemas sendiri. “Tante berani jamin, Rendra pasti setuju cerai pada akhirnya. Kalau dia mempersulit, kamu sodorkan sekalian bukti kekerasan yang kamu alami.”Leandra mengangguk lagi. Beruntung dia sempat mengirim foto-foto itu kepada Dini sekadar untuk jaga-jaga.“Mas! Jangan mel
“Bersulang!”“Sukses terus untuk klinik perawatan kita!”“Maju bersama Pak Bram!”“Pak Tian juga!”Beberapa gelas beradu, menimbulkan denting keras di tengah-tengah pesta syukuran atas keberhasilan klinik meningkatkan penjualan produk mereka hingga tujuh puluh persen.“Kalian bebas makan apa pun yang kalian suka!” suruh Bram. “Ada bos kita yang akan membayar semuanya!”Dia lantas meletakkan lengannya di atas bahu Tian.“Potong gaji satu-satu,” sahut Tian tanpa ekspresi di wajahnya.“Yaahhhh ... dikira gratis!”“Semangat langsung hilang!”Seluruh karyawan serentak mengeluarkan sorakan setelah Tian meminta mereka untuk membayar dengan gaji masing-masing.“Tenang, tenang!” lerai Nezia sambil tersenyum tipis. “Kalian tahu Pak Tian itu tidak suka bercanda, sekalinya bercanda pasti kelihatan serius—sudah sana, kalian makan lagi yang banyak!”“Yang bayar siapa pastinya, Bu?”“Saya mendadak kenyang kalau disuruh bayar sendiri, Bu!”Nezia tertawa lagi.“Perusahaan yang akan baya
Di dalam resto, kepala Nezia celingukan begitu dia tidak mendapati Tian yang sempat mengobrol bersama Bram.“Kok sendirian?” tanya Nezia heran. “Tian mana?”“Pulang,” jawab Bram singkat.Nezia mengerutkan keningnya, dia heran kenapa Tian pulang secepat itu dari resto.“Leandra? Kamu kenapa?”Sementara itu Tian masih berusaha membangunkan Leandra yang tidak sadarkan diri di lengannya.“Leandra? Bangun! Leandra?” panggil Tian berulang-ulang. Dia bingung harus melarikan Leandra ke mana, rumahnya saja tidak tahu.Karena tidak punya pilihan yang pas, Tian akhirnya memutuskan untuk membawa Leandra ke dalam mobil.“Leandra?” panggil Tian sambil berdiri, berusaha membangunkan pegawainya yang duduk terpejam di jok mobil. “Leandra?”Karena tidak ada respons, dia sengaja menaruh jarinya di dekat hidung Leandra dan merasakan masih ada embusan napas lembut yang menyapu kulitnya.Dengan cepat Tian menutup pintu mobil dan segera berputar untuk masuk ke sisi yang satunya. “Istri Anda hany
Leandra menggeliat perlahan, lalu tidak lama setelah itu kedua matanya terbuka. “Di mana ini?” gumam Leandra, mendadak dia bangun dan memandang ke sekelilingnya. “Ini bukannya ruang staf?” Leandra menoleh ke sandaran sofa yang terdapat paperbag besar bertuliskan: Ini peralatan mandi dan juga baju kamu. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa, berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi hingga dia bisa terdampar di ruang staf seperti ini. “Masa iya aku hilang ingatan?” gumam Leandra seraya beringsut turun dari sofa dan menyeret kedua kakinya sembari menenteng paperbag itu. Selama mandi, Leandra terus berpikir keras karena yang dia ingat hanyalah ketika dia berpisah dengan Devi di jalan depan resto, setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Beruntung, paperbag yang diberikan kepadanya isinya lengkap dari mulai handuk, dalaman, dan baju semi formal. Leandra sangat berterima kasih kepada siapa pun yang telah menyesuaikan keperluan itu untuknya. Begitu keluar dari kamar mandi, Lea
Tian duduk di ruang staf, membuka laptopnya dan mencari akses untuk mendapatkan data-data pegawai yang bekerja di klinik.Satu per satu data pegawai diperiksa dengan teliti oleh Tian tanpa kecuali.“Jadi kami menemukan bahwa istri Anda mengonsumsi obat tidur yang begitu kuat sehingga membuatnya tidur lelap dalam jangka waktu lumayan lama.”Penyelesaian dokter di klinik itu membuat Tian jadi ingin mengetahui seluruh latar belakang para pegawai yang selama ini bekerja. Sebagai salah satu penanam modal, dia merasa berhak untuk tahu dari mana saja pegawai-pegawai itu direkrut.“Tian, kamu sedang apa?” Nezia menyapa ketika dia melihat keberadaan Tian yang tidak biasa. “Kamu tidak ada sidang?”“Besok,” jawab Tian singkat.“Oh ya, kamu sedang apa?” Nezia mengulang pertanyaannya. “Kelihatannya sibuk sekali, ada yang bisa aku bantu?”Tian menggeleng, “Tidak perlu, bukankah kamu seharusnya di depan untuk melayani konsumen yang mau konsultasi?”“Iya, aku ke sini juga setelah selesai sama
Tian mengamati tiga pegawai pria yang tampak melalui kaca mobilnya. Mereka tengah mengerjakan tugas menyiapkan paket dan juga mengepaknya hingga rapi.“Apa mungkin salah satu dari mereka?” pikir Tian sambil turun dari mobil.“Wah, wah, bos kita datang!” sambut Bram ketika Tian masuk ruang staf. “Kita belum dapat dokter kulit cowok, ya?” tanya Tian tanpa menanggapi basa-basi Bram.“Belum, itu karena konsumen pria masih bisa diatasi Nezia.” Bram memberi tahu. “Kecuali kalau terjadi peningkatan konsumen, kemungkinan dia akan mempertimbangkan untuk merekrut dokter pria.”Tian mendengarkan penjelasan Bram dalam diam.“Semua pegawai di sini apakah pernah ada yang bikin masalah?” tanya Tian setelah terdiam cukup lama.“Setahuku tidak ada,” jawab Bram tanpa banyak berpikir. “Memangnya kenapa sih?”Tian menarik napas.“Tidak apa-apa, aku cuma mewanti-wanti jangan sampai ada pegawai yang bikin ulah.” “Tenang saja, Nezia sudah menempatkan satu pegawai yang tugasnya mengawasi stok pr
“Terus kalau stabil kenapa?” tukas Rendra seraya mengemudi menuju rumahnya. “Kalau kamu boros seperti ini terus, lama-lama keuangan aku akan runtuh lagi.”Silvi mengerutkan bibirnya.“Kok jahat begitu sih? Wajar kan kalau aku jaga penampilan meskipun lagi hamil? Nanti kalau aku kelihatan kucel dan nggak cantik lagi, kamu berpaling ke wanita lain?”“Nggak usah bicara aneh-aneh deh, Vi!”“Buktinya dulu kamu berpaling dari Mbak Lea ke aku?” “Nggak usah bawa-bawa nama Lea!”“Nah, belum bisa move on kan kamu?”Rendra lebih memilih untuk tidak meladeni istrinya dan menambah kecepatan untuk bisa segera tiba di rumah.“Capeknya!” Silvi melenggang turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumah pemberian Rendra yang kini mereka tempati berdua. Dengan kondisi capek, Rendra duduk di sofa untuk melepas lelah sembari menunggu apakah Silvi akan berinisiatif membuatkannya secangkir minuman.“Mas, Senin besok aku mulai kerja. Jangan lupa antar jemput aku, mulai berat ini perutku!” kat
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa