“Terus kalau stabil kenapa?” tukas Rendra seraya mengemudi menuju rumahnya. “Kalau kamu boros seperti ini terus, lama-lama keuangan aku akan runtuh lagi.”Silvi mengerutkan bibirnya.“Kok jahat begitu sih? Wajar kan kalau aku jaga penampilan meskipun lagi hamil? Nanti kalau aku kelihatan kucel dan nggak cantik lagi, kamu berpaling ke wanita lain?”“Nggak usah bicara aneh-aneh deh, Vi!”“Buktinya dulu kamu berpaling dari Mbak Lea ke aku?” “Nggak usah bawa-bawa nama Lea!”“Nah, belum bisa move on kan kamu?”Rendra lebih memilih untuk tidak meladeni istrinya dan menambah kecepatan untuk bisa segera tiba di rumah.“Capeknya!” Silvi melenggang turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumah pemberian Rendra yang kini mereka tempati berdua. Dengan kondisi capek, Rendra duduk di sofa untuk melepas lelah sembari menunggu apakah Silvi akan berinisiatif membuatkannya secangkir minuman.“Mas, Senin besok aku mulai kerja. Jangan lupa antar jemput aku, mulai berat ini perutku!” kat
“Tian kelihatan akrab sekali sama Lea,” komentar Nezia sambil memandang ke arah pintu kaca yang bisa tembus ke luar.“Kalau tidak salah, Lea itu adalah pegawai Tian di kantornya yang dia bawa ke klinik ini.” Bram menjelaskan. “Tidak biasanya Tian bisa akrab sama perempuan, biarpun itu pegawai kita.”Nezia masih memandang ke arah yang sama.“Kamu betah kerja di sini?” tanya Tian tanpa basa-basi.“Betah, Pak.”“Tidak ada musuh?”“Maksud Bapak?” “Apa kamu punya musuh, atau ada yang iri sama kamu?” “Saya rasa ... tidak ada, Pak. Mungkin Bapak bisa kasih tahu saya apa yang sebenarnya terjadi malam itu, kenapa saya bisa ketiduran di ruang staf klinik.”Tian menarik napas dalam-dalam dan bercerita.“Saya langsung bawa kamu ke dokter karena kamu tidak sadar-sadar, dan katanya kamu mengonsumsi obat tidur yang bikin kamu tidak sadarkan diri sampai selama itu.”Leandra membelalakkan matanya.“Serius, Pak? Tapi ....”“Tentu saja itu serius, kamu tidak berpikir kalau dokter bercanda
Leandra baru saja menyeberang jalan menuju klinik ketika ada motor yang menepi tepat di depannya.Nyaris saja dia ditabrak!Rendra turun dari mobil lebih dulu, kemudian dia berputar untuk membantu Silvi keluar dari mobil.Merasa tidak memiliki urusan apa-apa lagi dengan dua manusia itu, Leandra memilih untuk meneruskan langkahnya.“Mbak Lea, tunggu!” panggil Silvi dengan suara dibuat-buat. “Jangan cepat-cepat jalannya, aku kan sedang mengandung!”Tidak ingin menimbulkan kesan buruk di depan rekan-rekan lain atau bahkan Nezia sendiri jika kebetulan mereka melihat, Leandra terpaksa berhenti jalan dan menoleh ke arah Silvi.“Ada urusan apa? Mau perawatan?”Silvi tiba di depan Leandra sambil menggenggam tangan Rendra.“Aku sama Mas Rendra datang ke sini untuk mengantarkan undangan,” jawabnya dengan wajah ceria. “Ini, lihat!”Leandra memandang undangan dan juga wajah Silvi yang terlihat bahagia. Apakah mantan adik madunya itu berpikir bahwa Leandra akan cemburu karena dia bahkan
Seminggu kemudian ....Setelah seharian bekerja, Leandra menantikan relaksasi dan memanjakan diri. Dia sudah jarang pergi ke salon sejak menikah dengan Rendra dulu, tetapi sekarang dia bersemangat untuk mencoba kesempatan layanan baru yang ditawarkan. Leandra tidak yakin apa yang dia inginkan, jadi dia menyerahkan rambut dan riasan wajahnya kepada pegawai salon untuk memutuskan. Setelah satu jam menunggu, Leandra menerima pesan dari Tian, menanyakan apakah mereka jadi pergi ke acara tersebut. Dengan perut menggelitik, Leandra membalas pesan Tian.[Jadi, Pak. Saya sedang di salon, nanti saya kabari kalau sudah selesai]Demi apa pun, Leandra sangat malu karena harus berterus terang seperti ini. Namun, dia harus tetap memberi kabar kepada Tian supaya bosnya itu tidak menunggu terlalu lama.“Riasannya yang seperti apa, Bu?” tanya pegawai salon.“Natural saja, jangan terlalu mencolok dan tolong disesuaikan dengan wajah saya.”“Baik, saya akan mulai merias sekarang.”Saat tanga
“Ini semua ide Ibu sama Silvi, ngapain coba pakai ngundang Lea?” Rendra melontarkan protes kepada ibunya ketika mendapat kesempatan di tengah-tengah acara yang masih berlangsung.“Apa maksud kamu? Kenapa kamu jadi menyalahkan ibu?”“Ide siapa untuk bikin acara ini? Terus ide siapa untuk undang Lea segala?” semprot Rendra kepada Silvi yang baru saja muncul setelah berbincang dengan rekan kantornya.“Kamu kenapa?” tanya Silvi dengan kening berkerut.Rendra tidak menjawab, melainkan hanya terdengar suara dengusan.“Ini, suami kamu marah-marah sama ibu!” desis Widi dengan wajah keruh. “Gara-gara Lea datang ke sini, seharusnya kalian bisa kan menunjukkan keharmonisan kalian di depan dia?”Silvi memandang ke arah Leandra yang masih menikmati hidangan yang mereka suguhkan.“Aku rasa Ibu benar, Mas. Tujuan kita mengundang Mbak Lea kan untuk menunjukkan kalau dia rugi besar sudah meninggalkan kamu ....”Biarpun sebenarnya aku senang dia pergi, sambung Silvi dalam hatinya.“Kamu ngga
“Saat makan-makan itu, kemungkinan saya salah ambil cangkir yang seharusnya untuk Bapak ...” Leandra melanjutkan. “Jadi dari awal sebenarnya bukan saya yang diincar ....”Tian menatap Leandra tidak percaya, tapi dia tahu kalau pegawainya ini tidak mungkin berbohong.Nezia mencari-cari konsumen yang dimaksud Leandra, tapi tidak menemukan seorang pun kecuali para pegawai yang belum pulang.“Devi, apa tadi ada konsumen yang datang?” tanya Nezia kepada salah satu pegawai yang berada dalam jangkauan matanya.“Tidak tahu, Bu. Saya baru saja kembali dari toilet,” jawab Devi sambil menggeleng.Nezia menarik napas, dia teringat dengan keberadaan Tian bersama Leandra di dalam ruang staf.Cepat-cepat dia kembali ke sana dan ....“Kelihatannya Leandra sakit perut,” kata Tian memberi tahu sambil memapah pegawainya keluar. “Oh ya? Terus dia mau kamu bawa ke mana, Tian?”“Biar aku yang urus.”“Tapi ...” Nezia sempat mematung. “Tidak harus kamu juga yang urus, Tian. Kita bisa minta tolong
Leandra terbangun ketika dia merasakan tangan seseorang mengusap-usap kepalanya.“Aku kenapa lagi ... ya ampun ...” keluh Leandra lirih. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan perutnya melilit.“Lea, akhirnya kamu bangun juga!”Leandra mengerjabkan matanya.“Tante ...?”Dia memegang kepalanya dengan begitu banyaknya memori yang tercecer, seakan nyawa di raganya belum terkumpul sepenuhnya.“Mandi-mandi dulu sana,” suruh Ivana. “Kamu sudah disiapkan perlengkapan mandi sama yang punya rumah, kamu harus bersyukur masih ada orang baik di dunia ini ....”“Tante?”“Ya?”“Kenapa Tante bisa ada di sini?”“Nanti saja ceritanya, Lea! Itu kamu sudah seperti zombie!”Leandra menurut, dia bangun dan dengan langkah terseok-seok menuju kamar mandi.Segarnya air yang mengalir dari shower membuat kedua mata Leandra terbuka lebar-lebar. Dia terus bersih-bersih hingga Ivana harus mengetuk pintu kamar mandi karena dinilai terlalu lama.“Takutnya kamu ketiduran di dalam,” kilah Ivana membela diri k
Nezia sudah sangat khawatir ketika Tian menatapnya selama beberapa detik tanpa berkedip.“Leandra belum masuk kerja juga?”Bram langsung menurunkan ponselnya.“Eh, Tian! Baru juga aku mau telepon kamu ...” katanya. “Kok tumben kamu tidak kelihatan akhir-akhir ini? Sibuk sidang?”Tian mengangguk saja.“Lea belum masuk tanpa ada kabar,” sahut Nezia. “Kenapa bisa begitu? Bukankah seharusnya dia kasih kabar ke kita kalau memang tidak bisa masuk kerja?”“Bukannya Leandra sakit?” tukas Tian datar. “Nanti juga dia masuk kerja kalau sudah sembuh.”Nezia dan Bram saling lirik dengan keheranan.“Astaga, dia tidak seperti Tian yang aku kenal!” bisik Bram ketika Tian berlalu pergi menuju ruang staf. “Ya, dia biasa tegas dengan pegawai lain soal kedisiplinan.” Nezia menimpali sambil geleng-geleng kepala. “Entahlah, sepertinya Lea ini punya kemampuan khusus untuk mengendalikan Tian ....”“Aku tidak sependapat, Lea bukan tipe pegawai yang suka menjilat.” “Dari mana kamu tahu, Bram?”“S