“Ini semua ide Ibu sama Silvi, ngapain coba pakai ngundang Lea?” Rendra melontarkan protes kepada ibunya ketika mendapat kesempatan di tengah-tengah acara yang masih berlangsung.“Apa maksud kamu? Kenapa kamu jadi menyalahkan ibu?”“Ide siapa untuk bikin acara ini? Terus ide siapa untuk undang Lea segala?” semprot Rendra kepada Silvi yang baru saja muncul setelah berbincang dengan rekan kantornya.“Kamu kenapa?” tanya Silvi dengan kening berkerut.Rendra tidak menjawab, melainkan hanya terdengar suara dengusan.“Ini, suami kamu marah-marah sama ibu!” desis Widi dengan wajah keruh. “Gara-gara Lea datang ke sini, seharusnya kalian bisa kan menunjukkan keharmonisan kalian di depan dia?”Silvi memandang ke arah Leandra yang masih menikmati hidangan yang mereka suguhkan.“Aku rasa Ibu benar, Mas. Tujuan kita mengundang Mbak Lea kan untuk menunjukkan kalau dia rugi besar sudah meninggalkan kamu ....”Biarpun sebenarnya aku senang dia pergi, sambung Silvi dalam hatinya.“Kamu ngga
“Saat makan-makan itu, kemungkinan saya salah ambil cangkir yang seharusnya untuk Bapak ...” Leandra melanjutkan. “Jadi dari awal sebenarnya bukan saya yang diincar ....”Tian menatap Leandra tidak percaya, tapi dia tahu kalau pegawainya ini tidak mungkin berbohong.Nezia mencari-cari konsumen yang dimaksud Leandra, tapi tidak menemukan seorang pun kecuali para pegawai yang belum pulang.“Devi, apa tadi ada konsumen yang datang?” tanya Nezia kepada salah satu pegawai yang berada dalam jangkauan matanya.“Tidak tahu, Bu. Saya baru saja kembali dari toilet,” jawab Devi sambil menggeleng.Nezia menarik napas, dia teringat dengan keberadaan Tian bersama Leandra di dalam ruang staf.Cepat-cepat dia kembali ke sana dan ....“Kelihatannya Leandra sakit perut,” kata Tian memberi tahu sambil memapah pegawainya keluar. “Oh ya? Terus dia mau kamu bawa ke mana, Tian?”“Biar aku yang urus.”“Tapi ...” Nezia sempat mematung. “Tidak harus kamu juga yang urus, Tian. Kita bisa minta tolong
Leandra terbangun ketika dia merasakan tangan seseorang mengusap-usap kepalanya.“Aku kenapa lagi ... ya ampun ...” keluh Leandra lirih. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan perutnya melilit.“Lea, akhirnya kamu bangun juga!”Leandra mengerjabkan matanya.“Tante ...?”Dia memegang kepalanya dengan begitu banyaknya memori yang tercecer, seakan nyawa di raganya belum terkumpul sepenuhnya.“Mandi-mandi dulu sana,” suruh Ivana. “Kamu sudah disiapkan perlengkapan mandi sama yang punya rumah, kamu harus bersyukur masih ada orang baik di dunia ini ....”“Tante?”“Ya?”“Kenapa Tante bisa ada di sini?”“Nanti saja ceritanya, Lea! Itu kamu sudah seperti zombie!”Leandra menurut, dia bangun dan dengan langkah terseok-seok menuju kamar mandi.Segarnya air yang mengalir dari shower membuat kedua mata Leandra terbuka lebar-lebar. Dia terus bersih-bersih hingga Ivana harus mengetuk pintu kamar mandi karena dinilai terlalu lama.“Takutnya kamu ketiduran di dalam,” kilah Ivana membela diri k
Nezia sudah sangat khawatir ketika Tian menatapnya selama beberapa detik tanpa berkedip.“Leandra belum masuk kerja juga?”Bram langsung menurunkan ponselnya.“Eh, Tian! Baru juga aku mau telepon kamu ...” katanya. “Kok tumben kamu tidak kelihatan akhir-akhir ini? Sibuk sidang?”Tian mengangguk saja.“Lea belum masuk tanpa ada kabar,” sahut Nezia. “Kenapa bisa begitu? Bukankah seharusnya dia kasih kabar ke kita kalau memang tidak bisa masuk kerja?”“Bukannya Leandra sakit?” tukas Tian datar. “Nanti juga dia masuk kerja kalau sudah sembuh.”Nezia dan Bram saling lirik dengan keheranan.“Astaga, dia tidak seperti Tian yang aku kenal!” bisik Bram ketika Tian berlalu pergi menuju ruang staf. “Ya, dia biasa tegas dengan pegawai lain soal kedisiplinan.” Nezia menimpali sambil geleng-geleng kepala. “Entahlah, sepertinya Lea ini punya kemampuan khusus untuk mengendalikan Tian ....”“Aku tidak sependapat, Lea bukan tipe pegawai yang suka menjilat.” “Dari mana kamu tahu, Bram?”“S
“Tian, ayah sama ibu mau bicara sebentar.”“Soal apa, Bu? Aku mau berangkat ke pengadilan sebentar lagi.”“Ayah dan Ibu juga cuma sebentar,” bujuk ibu Tian. “Sini, ayahmu ingin memastikan sesuatu.”Mau tak mau Tian duduk lagi di meja makan, sesekali dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa, Yah?” tanya Tian sambil memandang ibu dan ayahnya bergantian.“Apa kamu belum juga menemukan tambatan hati yang baru?” Ayah Tian langsung melontarkan pertanyaan yang sukses membuat siapa saja ketar-ketir.“Ibu kira yang kemarin kamu bawa ke rumah itu adakah calon kamu,” timpal ibu Tian.“Dia pegawaiku,” kata Tian sembari terenyak di kursinya. “Aku tidak akan membawanya ke rumah kalau tidak terpaksa, juga biar tidak ada yang salah paham dengan kami.”Ayah dan ibu Tian saling pandang.“Kalau begitu kamu mau ayah jodohkan?”“Enggak, Yah. Aku akan mencari jodohku sendiri ....”“Kamu mencari jodoh atau mencari kesibukan kerja?”“Aku Cuma belum sempat saja, Bu. Nan
Mata orang-orang kini tertuju kepada Leandra yang tidak tahu kenapa paket-paket itu bisa berada di dalam tas kerjanya. “Lea, kenapa kamu diam saja?” tanya Nezia lagi. “Saya juga tidak tahu, Bu!” jawab Leandra dengan wajah tegang. “Saya baru ambil tas dan tahu-tahu ada paket di dalamnya ....” “Kamu mencuri?” tanya Nezia lagi. “Tidak, Bu!” bantah Leandra. “Saya tidak mencuri apa-apa ....” “Ini buktinya!” tunjuk Nezia menggunakan jarinya. “Kenapa paket ini bisa ada di dalam tas kamu?” “Saya juga tidak tahu, Bu ....” “Kamu bikin saya kecewa, Lea. Susah payah rekan kamu mengemas paket, menghitung jumlahnya satu per satu ... tapi kamu malah sengaja menyembunyikan sebagian paketnya di tas kamu—buat apa?” Beberapa pegawai yang masih bertahan di klinik mau tidak mau jadi menyaksikan keributan itu. “Saya juga tidak tahu kenapa paket-paket itu ada di dalam tas saya, Bu!” ucap Leandra membela diri. “Saya tidak menyembunyikan paket ini dengan sengaja ....” Nezia beralih memandang Santy.
Tian mengangguk kalem. “Aku bukan tahu kalau Lea mencuri, tapi aku dengar kalau Lea diduga mencuri. Kenapa kalian berdua tidak memberi tahu aku?”Nezia dan Bram saling pandang. “Kami Cuma merasa tidak enak sama kamu saja,” ujar Bram. “Siapapun tahu kalau Lea bisa kerja di sini karena rekomendasi kamu, takutnya kamu berpikir kalau kamu sekadar menjelekkan Lea saja.”Nezia mengangguk, dia senang karena Bram bisa menjawab pertanyaan Tian tanpa harus menjatuhkan Leandra itu sendiri.“Aku juga awalnya tidak percaya, kamu kan tidak mungkin merekomendasikan orang yang suka celamitan itu di dalam bisnis kita.” Nezia menimpali. “Kamu tahu kan kalau klinik ini kita bangun bertiga, kita kelola bertiga, jadi aku rasa kalian berdua pun akan memilih orang yang tidak sembarangan untuk bisa bekerja di sini.”Tian diam saja, tetapi kedua rekannya tahu bahwa dia sedang berpikir keras.“Bisa tolong kamu panggilkan Leandra?” tanya Tian kepada Nezia. “Aku mau bicara langsung sama dia di ruangan ini
“Maaf, Bapak dan Ibu tidak salah orang?” tanya Leandra, antara shock dan bingung. “Sepertinya tidak enak kalau kita bicara di sini, bagaimana kalau kita ke rumah makan depan sana?” tanya pria di samping wanita itu. “Kamu tidak keberatan kan?”Leandra berpikir sejenak, terlebih karena dia tidak mengenal pasangan suami istri ini.“Baik, Bu. Saya sekalian mau beli makan,” jawab Leandra setelah berpikir cukup lama.Mereka bertiga pun berjalan kaki ke seberang jalan dan berhenti di rumah makan yang masih buka.Setelah memesan makanan dan minuman, pasangan suami istri itu memandang Leandra.“Kemunculan kami mungkin sangat mengejutkan kamu, Leandra. Tapi kami berniat baik untuk melamar kamu,” ujar si wanita. “Nama saya Felin dan ini suami saya Pak Marvin.”Leandra mengangguk sopan kepada Felin dan Marvin yang duduk di depannya.“Anak Ibu kenal saya?” tanya Leandra memastikan. “Tentu saja, dia yakin untuk memilih kamu sebagai pendamping hidupnya ... Apalagi setelah dia mengamati ka