Leandra menggeliat perlahan, lalu tidak lama setelah itu kedua matanya terbuka. “Di mana ini?” gumam Leandra, mendadak dia bangun dan memandang ke sekelilingnya. “Ini bukannya ruang staf?” Leandra menoleh ke sandaran sofa yang terdapat paperbag besar bertuliskan: Ini peralatan mandi dan juga baju kamu. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa, berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi hingga dia bisa terdampar di ruang staf seperti ini. “Masa iya aku hilang ingatan?” gumam Leandra seraya beringsut turun dari sofa dan menyeret kedua kakinya sembari menenteng paperbag itu. Selama mandi, Leandra terus berpikir keras karena yang dia ingat hanyalah ketika dia berpisah dengan Devi di jalan depan resto, setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Beruntung, paperbag yang diberikan kepadanya isinya lengkap dari mulai handuk, dalaman, dan baju semi formal. Leandra sangat berterima kasih kepada siapa pun yang telah menyesuaikan keperluan itu untuknya. Begitu keluar dari kamar mandi, Lea
Tian duduk di ruang staf, membuka laptopnya dan mencari akses untuk mendapatkan data-data pegawai yang bekerja di klinik.Satu per satu data pegawai diperiksa dengan teliti oleh Tian tanpa kecuali.“Jadi kami menemukan bahwa istri Anda mengonsumsi obat tidur yang begitu kuat sehingga membuatnya tidur lelap dalam jangka waktu lumayan lama.”Penyelesaian dokter di klinik itu membuat Tian jadi ingin mengetahui seluruh latar belakang para pegawai yang selama ini bekerja. Sebagai salah satu penanam modal, dia merasa berhak untuk tahu dari mana saja pegawai-pegawai itu direkrut.“Tian, kamu sedang apa?” Nezia menyapa ketika dia melihat keberadaan Tian yang tidak biasa. “Kamu tidak ada sidang?”“Besok,” jawab Tian singkat.“Oh ya, kamu sedang apa?” Nezia mengulang pertanyaannya. “Kelihatannya sibuk sekali, ada yang bisa aku bantu?”Tian menggeleng, “Tidak perlu, bukankah kamu seharusnya di depan untuk melayani konsumen yang mau konsultasi?”“Iya, aku ke sini juga setelah selesai sama
Tian mengamati tiga pegawai pria yang tampak melalui kaca mobilnya. Mereka tengah mengerjakan tugas menyiapkan paket dan juga mengepaknya hingga rapi.“Apa mungkin salah satu dari mereka?” pikir Tian sambil turun dari mobil.“Wah, wah, bos kita datang!” sambut Bram ketika Tian masuk ruang staf. “Kita belum dapat dokter kulit cowok, ya?” tanya Tian tanpa menanggapi basa-basi Bram.“Belum, itu karena konsumen pria masih bisa diatasi Nezia.” Bram memberi tahu. “Kecuali kalau terjadi peningkatan konsumen, kemungkinan dia akan mempertimbangkan untuk merekrut dokter pria.”Tian mendengarkan penjelasan Bram dalam diam.“Semua pegawai di sini apakah pernah ada yang bikin masalah?” tanya Tian setelah terdiam cukup lama.“Setahuku tidak ada,” jawab Bram tanpa banyak berpikir. “Memangnya kenapa sih?”Tian menarik napas.“Tidak apa-apa, aku cuma mewanti-wanti jangan sampai ada pegawai yang bikin ulah.” “Tenang saja, Nezia sudah menempatkan satu pegawai yang tugasnya mengawasi stok pr
“Terus kalau stabil kenapa?” tukas Rendra seraya mengemudi menuju rumahnya. “Kalau kamu boros seperti ini terus, lama-lama keuangan aku akan runtuh lagi.”Silvi mengerutkan bibirnya.“Kok jahat begitu sih? Wajar kan kalau aku jaga penampilan meskipun lagi hamil? Nanti kalau aku kelihatan kucel dan nggak cantik lagi, kamu berpaling ke wanita lain?”“Nggak usah bicara aneh-aneh deh, Vi!”“Buktinya dulu kamu berpaling dari Mbak Lea ke aku?” “Nggak usah bawa-bawa nama Lea!”“Nah, belum bisa move on kan kamu?”Rendra lebih memilih untuk tidak meladeni istrinya dan menambah kecepatan untuk bisa segera tiba di rumah.“Capeknya!” Silvi melenggang turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumah pemberian Rendra yang kini mereka tempati berdua. Dengan kondisi capek, Rendra duduk di sofa untuk melepas lelah sembari menunggu apakah Silvi akan berinisiatif membuatkannya secangkir minuman.“Mas, Senin besok aku mulai kerja. Jangan lupa antar jemput aku, mulai berat ini perutku!” kat
“Tian kelihatan akrab sekali sama Lea,” komentar Nezia sambil memandang ke arah pintu kaca yang bisa tembus ke luar.“Kalau tidak salah, Lea itu adalah pegawai Tian di kantornya yang dia bawa ke klinik ini.” Bram menjelaskan. “Tidak biasanya Tian bisa akrab sama perempuan, biarpun itu pegawai kita.”Nezia masih memandang ke arah yang sama.“Kamu betah kerja di sini?” tanya Tian tanpa basa-basi.“Betah, Pak.”“Tidak ada musuh?”“Maksud Bapak?” “Apa kamu punya musuh, atau ada yang iri sama kamu?” “Saya rasa ... tidak ada, Pak. Mungkin Bapak bisa kasih tahu saya apa yang sebenarnya terjadi malam itu, kenapa saya bisa ketiduran di ruang staf klinik.”Tian menarik napas dalam-dalam dan bercerita.“Saya langsung bawa kamu ke dokter karena kamu tidak sadar-sadar, dan katanya kamu mengonsumsi obat tidur yang bikin kamu tidak sadarkan diri sampai selama itu.”Leandra membelalakkan matanya.“Serius, Pak? Tapi ....”“Tentu saja itu serius, kamu tidak berpikir kalau dokter bercanda
Leandra baru saja menyeberang jalan menuju klinik ketika ada motor yang menepi tepat di depannya.Nyaris saja dia ditabrak!Rendra turun dari mobil lebih dulu, kemudian dia berputar untuk membantu Silvi keluar dari mobil.Merasa tidak memiliki urusan apa-apa lagi dengan dua manusia itu, Leandra memilih untuk meneruskan langkahnya.“Mbak Lea, tunggu!” panggil Silvi dengan suara dibuat-buat. “Jangan cepat-cepat jalannya, aku kan sedang mengandung!”Tidak ingin menimbulkan kesan buruk di depan rekan-rekan lain atau bahkan Nezia sendiri jika kebetulan mereka melihat, Leandra terpaksa berhenti jalan dan menoleh ke arah Silvi.“Ada urusan apa? Mau perawatan?”Silvi tiba di depan Leandra sambil menggenggam tangan Rendra.“Aku sama Mas Rendra datang ke sini untuk mengantarkan undangan,” jawabnya dengan wajah ceria. “Ini, lihat!”Leandra memandang undangan dan juga wajah Silvi yang terlihat bahagia. Apakah mantan adik madunya itu berpikir bahwa Leandra akan cemburu karena dia bahkan
Seminggu kemudian ....Setelah seharian bekerja, Leandra menantikan relaksasi dan memanjakan diri. Dia sudah jarang pergi ke salon sejak menikah dengan Rendra dulu, tetapi sekarang dia bersemangat untuk mencoba kesempatan layanan baru yang ditawarkan. Leandra tidak yakin apa yang dia inginkan, jadi dia menyerahkan rambut dan riasan wajahnya kepada pegawai salon untuk memutuskan. Setelah satu jam menunggu, Leandra menerima pesan dari Tian, menanyakan apakah mereka jadi pergi ke acara tersebut. Dengan perut menggelitik, Leandra membalas pesan Tian.[Jadi, Pak. Saya sedang di salon, nanti saya kabari kalau sudah selesai]Demi apa pun, Leandra sangat malu karena harus berterus terang seperti ini. Namun, dia harus tetap memberi kabar kepada Tian supaya bosnya itu tidak menunggu terlalu lama.“Riasannya yang seperti apa, Bu?” tanya pegawai salon.“Natural saja, jangan terlalu mencolok dan tolong disesuaikan dengan wajah saya.”“Baik, saya akan mulai merias sekarang.”Saat tanga
“Ini semua ide Ibu sama Silvi, ngapain coba pakai ngundang Lea?” Rendra melontarkan protes kepada ibunya ketika mendapat kesempatan di tengah-tengah acara yang masih berlangsung.“Apa maksud kamu? Kenapa kamu jadi menyalahkan ibu?”“Ide siapa untuk bikin acara ini? Terus ide siapa untuk undang Lea segala?” semprot Rendra kepada Silvi yang baru saja muncul setelah berbincang dengan rekan kantornya.“Kamu kenapa?” tanya Silvi dengan kening berkerut.Rendra tidak menjawab, melainkan hanya terdengar suara dengusan.“Ini, suami kamu marah-marah sama ibu!” desis Widi dengan wajah keruh. “Gara-gara Lea datang ke sini, seharusnya kalian bisa kan menunjukkan keharmonisan kalian di depan dia?”Silvi memandang ke arah Leandra yang masih menikmati hidangan yang mereka suguhkan.“Aku rasa Ibu benar, Mas. Tujuan kita mengundang Mbak Lea kan untuk menunjukkan kalau dia rugi besar sudah meninggalkan kamu ....”Biarpun sebenarnya aku senang dia pergi, sambung Silvi dalam hatinya.“Kamu ngga