“Apa kamu bilang?” “Pisah, Mas. Aku minta kita pisah,” ulang Leandra dengan wajah datar. Tidak tampak ekspresi ragu di sana, melainkan keyakinan pasti melalui sorot matanya yang akhir-akhir ini tidak lagi bercahaya. “Lea, kamu nggak serius kan?” ucap Rendra sambil menatap istrinya lekat-lekat. “Aku tahu kamu marah karena aku nggak jujur, aku akan jelaskan semuanya sama kamu ....” “Nggak usah, Mas. Sudah nggak penting lagi,” kata Leandra sambil menggeleng. “Alasan kamu paling cuma itu-itu saja, yang disuruh ibu kamu, dipaksa, demi itulah, inilah ... Aku sudah kenyang, Mas.” Rendra terpaku ketika Leandra berjalan mendekati lemari pakaian mereka dan mulai mengeluarkan satu per satu baju miliknya. “Lea, kamu mau ngapain?” tanya Rendra saat baju-baju itu ditaruh begitu saja di koper yang ternyata sudah Leandra siapkan sebelumnya. “Mau pisah,” jawab Leandra singkat. “Aku nggak mau!” tepis Rendra sambil menghentikan gerakan tangan istrinya. “Aku masih mencintai kamu, Lea ....” “Begitu
Dengan hati-hati Leandra membelokkan langkahnya, dari sudut matanya dia melihat kalau mobil Rendra sudah tidak ada lagi di depan kantor Tian.Secepat kilat Leandra berbalik arah dan pergi meninggalkan kantor, dia cepat-cepat memesan ojek sambil terus berjalan menjauh. “Tante? Tante Ivana?”“Eh, Lea? Lama tidak mampir, kamu sendiri?”Beruntung, Leandra cepat mendapatkan driver yang langsung mengantarnya ke rumah sang tante.“Iya, Tante ... Tolong aku!” rintih Leandra dengan wajah gusar dan panik bercampur menjadi satu.“Masuk dulu! Apa yang terjadi sama kamu?” tanya Ivana sambil menarik keponakannya untuk masuk ke dalam rumah. “Kenapa kamu panik?”Leandra berbalik untuk menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.“Kenapa ditutup?” tanya Ivana tidak mengerti.“Takut ... Mas Rendra ... kejar aku ...!” jawab Leandra terbata-bata.Merasa ada yang tidak beres dalam diri keponakannya, Ivana menyuruh Leandra duduk dan buru-buru ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih.“Apa
“Bu, Lea kok nggak bisa dihubungi ya?” tanya Rendra gelisah seraya membanting ponselnya dia atas meja dengan keras.“Lembur mungkin,” jawab Widi sambil meletakkan cangkir tehnya. “Biar saja Ren, pengeluaran rumah ini kan memang banyak.”“Bukan itu masalahnya, Bu! Lea sudah tahu kalau aku beli rumah buat Silvi, makanya kami jadi ribut semalam!”Widi melirik ke arah Rendra.“Ya baguslah,” katanya ringan. “Sama seperti pernikahan kamu dengan Silvi, cepat atau lambat Lea pasti juga akan tahu soal rumah itu.”Rendra menghela napas, tanggapan ibunya sama sekali tidak membuat hatinya tenang. Ditambah lagi hari sudah beranjak malam dan Leandra belum juga pulang ke rumah.“Lea, kamu di mana sih?” Rendra berkali-kali menelepon ponsel istrinya sambil mondar-mandir di kamar. “Jangan bikin aku khawatir ... kenapa kamu sengaja nggak bisa dihubungi?”Karena kesal, lama-lama Rendra lempar juga ponsel itu ke tempat tidur. Begitu ponselnya berbunyi, dia buru-buru meraih gawainya dan langsung kec
“Sudahlah, Ren. Biarkan saja kalau Lea mau cerai dari kamu,” ujar Widi ketika Rendra berkeluh kesah dengannya soal rencana perpisahan yang Leandra ungkapkan. Semalaman itu Rendra tidak bisa tidur karena sibuk memikirkan istrinya. Dia takut seandainya Leandra benar-benar mewujudkan perpisahan mereka. “Kamu sudah punya Silvi yang sedang hamil anak kamu,” sambung Widi. “Sebentar lagi kalian berdua akan menjalani kehidupan yang lengkap, biasanya rejeki akan mengalir deras kalau keluarga kita sudah lengkap.” Rendra menarik napas berat, ucapan Widi justru membuat ketakutan di hatinya semakin merajalela. “Aku nggak mau kehilangan Lea, Bu. Bagaimana pun juga, dia adalah perempuan pertama yang aku nikahi.” “Bukan kamu yang memilih bercerai kok, jadi ngapain kamu pusing-pusing?” “Tapi, Bu ....” “Dengar, Ren. Kamu tidak akan rugi apa-apa kalau cerai sama Lea!” ucap Widi tegas. “Justru Lea yang akan rugi karena dia memilih pisah, memangnya dia bisa apa tanpa kamu, Ren? Gajinya sebagai tukan
Rendra termangu selama beberapa detik. “Kamu tetap minta pisah di saat perekonomian aku sedang terpuruk!” tuduhnya naik pitam. “Istri macam apa kamu, Lea? Di saat aku sedang tumbang, kamu pergi ... Kamu nggak setia sedikit pun sama aku!” “Jangan mempertanyakan kesetiaan yang kamu sendiri nggak punya, Mas!” balas Leandra sambil bersiap menyusul Ivana yang sudah masuk ke dalam taksi. “Kurang apa aku sama kamu selama ini? Kamu tiba-tiba nikah lagi, aku diam! Kamu lebih memilih Silvi untuk menemani kamu di acara kantor, aku diam! Kamu beli rumah untuk Silvi, aku juga diam! Kamu minta uang untuk membantu pengeluaran ibu, aku kasih! Kurang apa lagi aku?” Rendra sontak terdiam. “Lea, ayo!” ajak Ivana tegas. “Tidak usah kamu ladeni!” Leandra berbalik dan Rendra langsung mencekal lengannya. “Aku kasih kamu kesempatan terakhir,” ucap Rendra tegas. “Kamu tetap mau bercerai sama aku?” “Ya,” angguk Leandra tanpa ragu. “Kalau begitu lepaskan itu,” suruh Rendra sambil menunjuk cincin emas yan
“Kamu ini kenapa sih, Mas?” tukas Silvi seraya menekuk wajahnya. “Jelas-jelas Mbak Lea pilih berpisah sama kamu, kenapa kamu masih saja mengharapakan dia kembali?” Rendra mengembuskan napasnya kasar. “Gimana sih kamu, tadi kamu dukung aku?” “Memang iya sih, tapi ...” Silvi mengangguk. Dukung perceraian kamu maksudnya, dia menyambung dalam hati. “Sebelum semua ini terlambat, Vi!” keluh Rendra frustrasi. “Lea itu segalanya buat aku ....” “Kalau begitu kamu anggap aku apa, Mas?” potong Silvi jengkel. “Aku kan juga istri kamu!” Rendra menghela napas, dia pikir Silvi bisa diandalkan untuk membantunya mendapatkan hati Leandra kembali. Namun, ternyata Silvi justru marah besar dan lebih sensitif sejak kehamilannya membesar. “Sial!” Kaki Rendra menendang ban mobil saking putus asanya. “Apa yang Anda lakukan di sini?” Suara seorang pria menegur Rendra, membuat dia menoleh dan langsung bertatapan mata dengan Tian. Ternyata sudah sejak tadi Rendra memarkirkan mobilnya di depan kantor Tia
Tin! Tin!“Lea!” Terdengar suara Rendra yang menggelegar memanggilnya.Bagaimana ini?“Leandra, cepat masuk!” suruh Tian dengan suaranya yang tidak kalah keras.Leandra terperanjat dan segera memanjat masuk ke mobil sang bos.“Pak, maaf! Bapak jadi terlibat urusan ini!” “Tidak masalah, saya cuma tidak mau kamu terlambat kerja—itu sangat merugikan!”Leandra menyandarkan punggungnya ketika mobil Tian melaju kencang dan kini berkejar-kejaran dengan mobil Rendra.“Kamu tidak sekalian lapor polisi?” tanya Tian sambil terus mengemudi. “Kelihatannya dia terus berusaha ....”“Malu, Pak!”“Kenapa malu? Sekalian saja yang kekerasan itu kamu laporkan disertai bukti-buktinya!”Leandra terdiam.“Saya ... saya cuma ingin secepatnya bercerai dari suami saya, Pak. Jadi saya tidak mungkin menambahkan perkara kekerasan itu, yang pastinya akan membutuhkan proses penyelidikan lebih lama lagi.”“Terserah kamu, tapi ada baiknya bukti-bukti kekerasan itu kamu simpan. Siapa tahu akan berguna su
Leandra mondar-mandir di teras rumah tantenya, dia sudah mendapat kabar dari rekan Tian kalau kemungkinan surat dari pengadilan sudah diterima pihak Rendra.“Semoga Mas Rendra nggak mempersulit proses perceraian kami,” ucap Leandra penuh harap. “Alah, kamu seperti tidak tahu siapa itu Rendra!” tukas Ivana ketika Leandra membahas kemungkinan itu. “Dia pasti menurut apa kata ibunya, tante lihat sendiri bagaimana reaksi mertua kamu saat kita ke rumahnya waktu itu!”Ivana menyoroti tentang sikap Widi yang tampak biasa-biasa saja saat Leandra datang untuk mengambil barang-barangnya.“Dan mungkin mertuaku lebih condong ke istri kedua Mas Rendra,” timpal Leandra sambil mengangguk.“Itu kamu tahu!” sahut Ivana gemas sendiri. “Tante berani jamin, Rendra pasti setuju cerai pada akhirnya. Kalau dia mempersulit, kamu sodorkan sekalian bukti kekerasan yang kamu alami.”Leandra mengangguk lagi. Beruntung dia sempat mengirim foto-foto itu kepada Dini sekadar untuk jaga-jaga.“Mas! Jangan mel
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa