“Kamu mau apa, Mas?” Leandra langsung tergeragap bangun dan beringsut menjauh dari Rendra. “Kenapa kamu kaget begitu, Lea?” tanya Renda heran. “Aku ini kan suami kamu sendiri.”Leandra tertegun, jantungnya berdegup kencang seperti ditabuh paksa. Bukan karena getaran cinta terhadap suaminya, tapi justru perasaan takut yang tidak wajar adanya.“Kamu mengagetkan aku, Mas!” ucap Leandra dengan napas terengah seakan habis berlari menempuh jarak yang teramat jauh. “Kamu kenapa sih harus dekat-dekat begitu?”Rendra yang tadinya ingin meninggalkan kecupan di kening Leandra, mendadak hilang rasa karena merasa dikesampingkan.“Memangnya kamu pikir aku mau ngapain?” tanya Rendra agak tersinggung. “Malam ini aku mau ke tempat Silvi, jadi aku pikir ... aku nggak mungkin pergi begitu saja tanpa kamu tahu.”Leandra terdiam. Dia menunggu hingga jantungnya berdetak lebih teratur, setelah itu memandang Rendra yang menegakkan dirinya tidak jauh dari tempat tidur.“Kenapa kamu berpikir begitu, Ma
Widi mengerutkan keningnya setelah mendengar penjelasan Rendra.“Masa tantenya sendiri sampai tidak tahu keponakannya kerja di mana,” komentar Widi. “Ya sudah, Ren. Tidak usah terlalu kamu urusi ....”“Lea istri aku, Bu. Dia masih tetap tanggung jawab aku,” bantah Rendra dengan napas memburu.“Tapi kalau dia tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi, kamu mau apa?” celetuk Widi.“Maksud Ibu apa?” tanya Widi tidak mengerti.Widi menghela napas, sengaja untuk menambah efek dramatis di hadapan putra kandungnya.“Ibu sebenarnya tidak mau mengatakan hal ini, tapi kalau lihat sikap Lea yang akhir-akhir ini sibuk sendiri sampai kamu tidak terurus begini—Ibu pikir mungkin dia sudah tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi.”Rendra terpaku.“Ibu jangan bicara sembarangan,” tukasnya. “Aku sama Lea bukan berarti saling mengabaikan seperti yang Ibu pikirkan.”“Terus ini apa?” tanya Widi sambil menatap Rendra. “Istri yang pergi duluan sebelum suaminya pulang ke rumah, itu sama saja k
Sebenarnya kerja apa sih dia? Batin Rendra terus bertanya-tanya sambil mengamati Leandra yang baru saja selesai membuang sampah dan berbalik pergi.Kerja apa yang pakai kemoceng? Rendra terus bertanya-tanya dalam hati, bahkan dirinya jadi enggan berangkat ke kantor karena ingin menyelidiki lebih jauh tentang pekerjaan Leandra yang sebenarnya.“Lea, Pak Tian bilang kalau kamu sudah bisa membersihkan ruangannya!” Dini memberi tahu ketika Leandra muncul dan sedang menaruh kembali kemoceng itu ke tempatnya semula.“Baik, Bu.” Leandra mengangguk dan segera berlalu menuju ruangan Tian.“Permisi, Pak. Saya mau bersih-bersih sekarang, semoga Bapak tidak terganggu ...” ucap Leandra sopan.“Oke, soal gaji kamu ...” Tian tampak berpikir sejenak. “Saya mungkin tidak bisa bayar terlalu tinggi untuk sementara waktu ini.”Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya bisa kerja,” sahut Leandra sambil menyisir pandangan ke sekitar ruangan untuk melihat bagian mana saja yang harus dia bersihkan lebih du
Rendra kaget setengah mati ketika Leandra muncul tiba-tiba di belakangnya, cepat-cepat dia menutup teleponnya yang masih tersambung dengan Silvi tanpa sempat berpamitan kepadanya.“Lea! Kamu ... kamu sudah selesai mandi?” tanya Rendra agak gugup. “Kamu kenapa nggak bilang kalau sudah selesai?”Leandra menatap ponsel dan wajah suaminya bergantian.“Aku sudah panggil-panggil kamu dari tadi, Mas. Tapi kamu yang nggak dengar,” jawab Leandra seolah tidak terjadi apa-apa. “Ternyata kamu sedang teleponan ... sama siapa?”Sontak saja wajah Rendra berubah memucat.“Bukan siapa-siapa kok, teman aku!” jawabnya asal. “Ya sudah, aku mandi dulu kalau begitu. Habis ini tolong buatkan aku kopi ya?”“Ya, Mas.” Leandra mengangguk.Ketika Rendra berbalik, dia langsung memanggilnya lagi. “Mas, itu ....”“Kenapa, Lea?” tanya Rendra bingung.“Itu kamu mau mandi, kan?” tanya Leandra balik. “Kenapa kamu bawa ponsel? Nanti kena air bisa rusak lho.”Rendra terperanjat dan menyadari bahwa dia masih me
Rendra tertegun ketika Leandra tidak berusaha menahan kepergiannya.“Kamu sudah merelakan aku?” tanya Rendra ketika Leandra setengah mengabaikannya.Leandra tidak segera menjawab, saat itu dia lebih mementingkan kesibukannya mencari lowongan pekerjaan baru dibanding mengurus Rendra yang akan bermalam di tempat istri keduanya.“Lea?” panggil Rendra lagi.“Memangnya apa yang kamu harapkan dari aku sih, Mas?” tanya Leandra dengan wajah letih yang selama ini telah dia tutup-tutupi. “Aku minta cerai, kamu nggak kasih. Aku suruh kamu pisah sama Silvi juga nggak mungkin karena kalian sudah mau jadi orang tua, terus aku harus gimana?”Rendra terdiam.“Ya aku pikir kamu ....”“Apa, Mas? Bertahan dari pernikahan ini?” tukas Leandra. “Mungkin untuk sekarang ini aku bertahan, itu juga karena kamu nggak mau menceraikan aku ... jadi aku akan bertahan sampai batas kesanggupan aku.”Rendra duduk di samping Leandra dan bertanya, “Kenapa kamu bicara seperti itu? Aku terpaksa saat itu, Lea ....”
Air mata Leandra luruh tak tertahankan lagi sejak beberapa saat yang lalu setelah Rendra pergi meninggalkan kamar mereka. Dia sekarang tahu kalau berbagi suami itu berat, tapi kenapa dia tetap mencoba untuk bertahan?Selama sepersekian detik lamanya Leandra merasa ragu-ragu, haruskah dia bercerita tentang bebannya kepada Ivana?Leandra menghilang nafas, dia merasa belum siap untuk menceritakan tentang pernikahan kedua Rendra kepada sang tante. Jujur saja Leandra belum siap seandainya Ivana mengusulkan perceraian di antara dia dan sang suami.Karena perpisahan sekilas terlihat mudah untuk dilakukan, tapi Leandra juga tidak ingin gegabah karena dia tidak memiliki kedua orang tua yang sanggup menjadi pegangan hidupnya jika dia benar-benar berpisah dari Rendra.Apa yang harus aku lakukan, batin Leandra dalam hatinya.Malam pun merayap turun, Leandra tidak sempat berlama-lama memikirkan Rendra karena dia harus menyusun rencana untuk masa depannya yang masih abu-abu.Sekilas dia ter
Sejak pertengkaran mereka yang terakhir itu, Leandra bersikap jauh lebih formal terhadap suaminya. Sulit untuk menjelaskan apa yang kini menjangkiti hati dan pikiran Rendra, karena tuntutan untuk membagi segalanya kepada dua istri yang sama-sama sah dia nikahi. Widi yang melihat sikap Leandra terhadap Rendra, jadi bisa menilai kalau hubungan keduanya mulai ad kerenggangan yang tercipta. “Kenapa istri kamu?” tanya Widi setelah Leandra berangkat kerja. “Apa yang terjadi?” Rendra menggeleng dan menjawab, “Nggak ada apa-apa.” Widi melirik Irawan yang baru saja selesai sarapan. “Ibu mau usul, Ren. Nanti kalau kandungan Silvi sudah tujuh bulan lebih, bagaimana kalau kamu boyong dia ke rumah ini?” tanya Widi, nadanya justru lebih mirip dengan keharusan yang tidak bisa dibantah. “Nggak perlu, Bu. Silvi kan sudah ada rumah,” jawab Rendra tidak setuju. “Aku nggak mau Lea sama Silvi tinggal seatap, bisa repot urusannya!” Widi menunjukkan ekspresi tidak setuju. “Justru kalau mereka tingga
Leandra terperanjat ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rendra.“Jangan ngawur!” tukas Widi dengan mata melotot ke arah sang putra. “Kamu tidak mungkin mau memisahkan Silvi dari bayinya kan?”“Tergantung,” kata Rendra. “Kalau ibu berencana memboyong Silvi ke rumah ini, aku nggak setuju.”“Terus kalau Silvi lahiran, bagaimana?” tanya Widi gelisah seakan cucunya akan lahir hari itu juga.“Biar aku yang datang ke sana,” jawab Rendra kalem. “Lahirannya Silvi kan masih lama, nggak perlu kita pikirkan sekarang.”Leandra cepat-cepat berjingkat pergi menuruni anak tangga sebelum Rendra keluar dari kamar Widi, bisa gawat kalau mereka tahu bahwa Leandra sempat mendengar pembicaraan mereka.Begitu tiba di dapur, Leandra segera menyeduh secangkir kopi sembari memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dari cara Widi bersikap akhir-akhir ini kepadanya, Leandra bisa merasakan betapa tidak sukanya sang mertua terhadap dirinya.Memangnya aku salah apa, batin Leandra dengan
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa