"Aku tidak butuh!"
"Rin, kamu kenapa?"
Menyadari perubahan sikapku, Yusuf langsung menyimpan nampan yang dia bawa, lalu mencekal pergelangan tanganku.
"Kamu pikir, kamu hebat dengan memberikan sup sisa untuk Abah?" kataku dengan dada naik turun.
Yusuf mengerutkan kening dengan menatapku lekat. "Sup sisa? Tidak mungkin, aku memberikan itu untuk Abah. Ayo, ikut aku."
Yusuf menarik tanganku sampai di depan meja tadi.
"Ini yang kau katakan sup sisa?" ujarnya membuka buku menu. Ternyata di bawahnya adalah mangkuk sup yang masih belum tersentuh.
Jadi, aku yang salah?
Aku melihat mangkuk sup itu bergantian dengan mangkuk di sebelahnya. Mangkuk berisikan sup sisa yang aku kira Yusuf siapkan untuk Abah.
"Kamu menuduhku memberikan s
Aku kesal dan memilih pergi masuk ke dalam kamar. Membawa sebagian baju yang telah dilipat untuk disimpan ke dalam lemari."Masa, dia lupa sama kejadian tadi. Kamu, tuh sudah bicara kasar padaku, A. Dan kamu tidak minta maaf." Aku berbicara sendiri seraya memasukkan pakaian."Dasar tidak peka!" kataku dengan memasukan pakaian Yusuf dengan kasar. Menutup pintu lemari dengan mengeluarkan tenaga dalam."Siapa yang tidak peka? Siapa yang lupa? Aku ingat, kok. Tapi, sengaja menunggu kamu bicara."Sepasang tangan menyusup melingkar di perutku. Dagu Yusuf disimpan di pundak, sehingga napasnya terasa begitu hangat di leherku. Pria itu, memelukku dari belakang."Sayang ...."Yusuf membalikan tubuhku hingga berhadapan dengannya."Ma
"Kenapa di luar rame sekali, Rin. Di mana Yusuf?" tanya Abah seraya mengusap punggungku."Yusuf, Yusuf pergi sebentar.""Ke mana?" tanya Abah."Ke kantor polisi.""Kenapa ke kantor polisi, Rin?"Aku mengajak Abah untuk duduk di sofa yang berada di ruang tengah."Tadi, ada polisi yang datang ke sini. Katanya, mereka dapat laporan, kalau Yusuf menjual miras, Bah. Sekarang Yusuf dibawa sama mereka." Aku menjelaskan apa yang tadi terjadi.Abah sangat terkejut dengan penuturan yang aku sampaikan. Ia menggeleng tidak percaya."Tidak mungkin Yusuf menjual miras, Rin.""Tapi, Yusuf tidak menyangkal tuduhan itu, Bah. Apa mungkin, jika Yusuf memang menjualnya secara sembunyi-sembunyi?" kataku mera
"Ada lah, kamu tidak usah tahu. Yang penting, aku sudah pulang dan sudah membuktikan, jika aku tidak bersalah. Aku ... memang bukan orang baik di masa lalu. Tapi, aku sedang berjuang untuk menjadi orang baik," ujar Yusuf menjiwil daguku.Lega rasanya kalau Yusuf terbukti tidak bersalah.Aku tidak hanya dengar dari Yusuf tentang orang yang katanya memfitnah kita. Aku juga melihat langsung, rekaman CCTV yang berada di ponsel Yusuf. Dari sana, aku bisa tahu orang itu memang berniat untuk menghancurkan usaha Yusuf.Pertama, dia datang di sore hari, seolah makan di restoran ini. Saat orang-orang sibuk, pria yang memakai hoodie berwarna gelap itu menyimpan sesuatu ke lemari pendingin. Yang kata Yusuf, ternyata dua botol miras yang kemarin Yusuf buang.Malam harinya, orang itu datang lagi dengan satu kardus botol kosong, yang
Malam ini, hujan begitu deras. Aku pun sulit untuk memejamkan mata karena teringat suamiku yang kini tengah berada di tengah laut. Doa kupanjatkan untuk keselamatan dan keberhasilannya.Ah, pria itu, kenapa juga harus ketagihan melaut. Dia merasa baik-baik saja, tapi aku selalu merasa khawatir.Ayam jago sudah berkokok, sebuah tanda untuk aku bangun dari tidurku.Aku bangkit dari pembaringan, keluar dari kamar menuju kamar mandi.Selesai menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba, aku memilih untuk memasak. Rencananya, pagi ini aku akan pergi ke pelabuhan untuk menyambut suamiku pulang."Rin, Nini sama Aki, pulang dulu, ya? Gak apa-apa, 'kan kalau kami tinggal?"Nini Asih menghampiriku yang tengah berkutat dengan peralatan masak."Oh, sud
"Arini!""Abah. Yusuf, Bah. Dia belum pulang," kataku seraya berderai air mata."Tenanglah, kita akan usahakan untuk mencari keberadaan Yusuf. Sekarang, kita pulang, ya?""Tidak. Arini ingin tetap di sini, sampai Yusuf kembali. Arini akan pulang bersama Yusuf."Hanya helaan napas yang kudengar dari pria paruh baya itu. Ia tak lagi membujukku, tapi tetap berada di sampingku. Menenangkanku yang tengah merasa gundah ini.Orang-orang sekitar pelabuhan mulai sibuk. Ada pula yang memaksa turun lagi ke laut untuk mencari keberadaan Yusuf dan dua orang lainnya."Bah, Arin ingin ikut bersama mereka." Aku menunjuk tiga orang yang yang sudah siap dengan rompi pelampungnya."Jangan, Rin. Gelombang sedang tinggi. Bahaya!" tutur Abah."Bah, Arini haru
Kubuka pintu lebar-lebar. Kusibak gorden hingga cahaya matahari pun ikut masuk ke dalam rumah. Pintu belakang, pintu samping yang mengarah ke pantai pun aku buka. Sengaja, agar jika Yusuf datang, aku bisa melihat dia langsung. Dan dia, bisa masuk lewat mana saja yang dia inginkan."Arin, kenapa dibuka semua?" tanya Abah."Sengaja, Bah. Ini untuk memudahkan Yusuf, masuk.""Ya Allah, Rin." Abah mengusap wajah, kemudian duduk di sofa ruang tengah.Sedangkan aku, aku ke dapur untuk membuat kue bolu yang menjadi kesukaan suamiku. Dia pasti akan senang jika aku membuatkan dia makanan favoritnya."Rin, buat apa?" Abah menghampiri dan mengusap pundakku."Buat cemilan untuk Yusuf, Bah. Dia pasti senang, jika ak
"Sudah satu minggu kamu pergi, A."Aku menghembuskan napas kasar seraya memandang lurus ke arah restoran.Pagi ini, tepat satu minggu Yusuf pergi. Jangankan jasadnya, bayangannya pun tidak pernah datang menghampiri.Satu rekan Yusuf sudah bisa ditemukan, meski hanya jasad tanpa nyawa. Namun, untuk Yusuf, sama sekali tidak ada kabar.Aku pun sudah pasrah dengan nasib suamiku. Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk hidup sendiri."Teh, bumbu sudah habis, hanya ada untuk hari ini saja. Apa besok, kita libur?"Salah satu karyawan menemuiku."Habis? Emm ... biar hari ini saya belanja. Besok, kalian tetap masuk seperti biasa."Neneng mengangguk. Ia pun kembali ke dalam restoran.Sudah saatnya aku bangkit. Ja
"Ih, gak sopan banget datang-datang langsung berteriak," ucap salah satu adik Yusuf. Entahlah namanya siapa, aku tidak terlalu bisa membedakan yang mana Marwah, dan yang mana Safa."Dina, bisakah kalau kamu tidak membahas harta saat ini?" ucap Mama Salma pada adik madunya itu."Mbak, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Yusuf sudah satu minggu tenggelam. Dan itu artinya, dia sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup. Untuk apa kita harus tetap menunggunya?"Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan Bunda Medina. Sungguh, perkataannya menyakiti hatiku."Bunda, saya istrinya. Jika pun Yusuf memang meninggal, saya yang akan mengurus semua harta peninggalan Yusuf," kataku seraya duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan wanita itu.