"Arini!"
"Abah. Yusuf, Bah. Dia belum pulang," kataku seraya berderai air mata.
"Tenanglah, kita akan usahakan untuk mencari keberadaan Yusuf. Sekarang, kita pulang, ya?"
"Tidak. Arini ingin tetap di sini, sampai Yusuf kembali. Arini akan pulang bersama Yusuf."
Hanya helaan napas yang kudengar dari pria paruh baya itu. Ia tak lagi membujukku, tapi tetap berada di sampingku. Menenangkanku yang tengah merasa gundah ini.
Orang-orang sekitar pelabuhan mulai sibuk. Ada pula yang memaksa turun lagi ke laut untuk mencari keberadaan Yusuf dan dua orang lainnya.
"Bah, Arin ingin ikut bersama mereka." Aku menunjuk tiga orang yang yang sudah siap dengan rompi pelampungnya.
"Jangan, Rin. Gelombang sedang tinggi. Bahaya!" tutur Abah.
"Bah, Arini haru
Kubuka pintu lebar-lebar. Kusibak gorden hingga cahaya matahari pun ikut masuk ke dalam rumah. Pintu belakang, pintu samping yang mengarah ke pantai pun aku buka. Sengaja, agar jika Yusuf datang, aku bisa melihat dia langsung. Dan dia, bisa masuk lewat mana saja yang dia inginkan."Arin, kenapa dibuka semua?" tanya Abah."Sengaja, Bah. Ini untuk memudahkan Yusuf, masuk.""Ya Allah, Rin." Abah mengusap wajah, kemudian duduk di sofa ruang tengah.Sedangkan aku, aku ke dapur untuk membuat kue bolu yang menjadi kesukaan suamiku. Dia pasti akan senang jika aku membuatkan dia makanan favoritnya."Rin, buat apa?" Abah menghampiri dan mengusap pundakku."Buat cemilan untuk Yusuf, Bah. Dia pasti senang, jika ak
"Sudah satu minggu kamu pergi, A."Aku menghembuskan napas kasar seraya memandang lurus ke arah restoran.Pagi ini, tepat satu minggu Yusuf pergi. Jangankan jasadnya, bayangannya pun tidak pernah datang menghampiri.Satu rekan Yusuf sudah bisa ditemukan, meski hanya jasad tanpa nyawa. Namun, untuk Yusuf, sama sekali tidak ada kabar.Aku pun sudah pasrah dengan nasib suamiku. Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk hidup sendiri."Teh, bumbu sudah habis, hanya ada untuk hari ini saja. Apa besok, kita libur?"Salah satu karyawan menemuiku."Habis? Emm ... biar hari ini saya belanja. Besok, kalian tetap masuk seperti biasa."Neneng mengangguk. Ia pun kembali ke dalam restoran.Sudah saatnya aku bangkit. Ja
"Ih, gak sopan banget datang-datang langsung berteriak," ucap salah satu adik Yusuf. Entahlah namanya siapa, aku tidak terlalu bisa membedakan yang mana Marwah, dan yang mana Safa."Dina, bisakah kalau kamu tidak membahas harta saat ini?" ucap Mama Salma pada adik madunya itu."Mbak, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Yusuf sudah satu minggu tenggelam. Dan itu artinya, dia sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup. Untuk apa kita harus tetap menunggunya?"Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan Bunda Medina. Sungguh, perkataannya menyakiti hatiku."Bunda, saya istrinya. Jika pun Yusuf memang meninggal, saya yang akan mengurus semua harta peninggalan Yusuf," kataku seraya duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan wanita itu.
Aku bisa bernapas lega, setelah wanita itu pergi. Aku harus membuat rencana untuk mengusir mereka dari rumah ini. Kedatangan Bunda Medina, bukan untuk mengatakan bela sungkawa, melainkan untuk mengejar harta dunia.Pukul lima sore, aku keluar dari kamar dan pergi ke restoran. Menemui karyawan yang baru saja selesai bekerja."Hari ini, kalian lembur. Tolong jangan pergi dulu, bantuin saya sebentar."Kelima karyawan saling pandang, namun mereka pun akhirnya menganggukkan kepala."Apa akan ada tamu penting, Teh?" tanya Derry.Aku menggelengkan kepala.Aku pun menceritakan apa yang aku inginkan, dan apa yang harus mereka lakukan. Ini konyol, tapi aku tidak punya jalan lain. Ini demi kelangsungan restoran ini juga."Baiklah, kita akan membantu Teteh, sebisa kita," ucap Neneng
Aku melihat dengan lekat pria yang saat ini tengah berdiri di sampingku.Dia seperti pria yang kutemui di pasar waktu itu?"Kamu tidak mengenaliku?" tanya pria itu seraya membuka topi dan maskernya."Daffa?" kataku."Ya, ini aku. Daffa."Aku tersenyum hambar pada pria itu. Dia adalah sahabat Yusuf, juga orang yang telah membeli tanahku dulu."Maaf, mungkin kedatanganku tidak tepat. Aku ingin bicara denganmu, Rin.""Em ... di sini saja, ya? Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa," kataku menunjuk kursi kayu jati yang berada di teras rumah."Silahkan duduk," lanjutku lagi.Daffa duduk dengan menyilangkan kaki, juga jari yang saling bertautan."Apa ada yang penting?" tanya
Tanganku terulur mengambil kertas itu, membuka dan membacanya."Kamu akan menikah?"Ternyata sebuah kertas undangan yang diberikan Mas Andri untukku."Iya. Aku akan kembali menjalin hubungan serius dengan seorang gadis. Dia adalah Rani, anaknya Almarhum Kang Asep."Aku mengangguk, tahu gadis yang dimaksud Mas Andri. Dia adalah wanita yang dulu pernah meminta Abah, untuk menikahinya sebagai tanggung jawab atas kematian ayahnya."Selamat, ya Mas. Semoga ... kali ini menjadi pernikahan yang terakhir untukmu.""Terima kasih, Rin. Em ...."Mas Andri tidak meneruskan ucapannya. Ia memilih mengalihkan pandangan pada bunga hias di sudut meja."Maaf untuk yang dulu. Sungguh, aku adalah pria bodoh yang telah menyia-nyiakan wanita sebaik kamu. Aku terbujuk rayuan setan waktu
"Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini nyata? Ini beneran kamu, A?"Kedua tanganku memindai wajah pria yang menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.Detik berikutnya, tangan itu menarik tubuhku hingga menempel pada dadanya. Kedua tangannya melingkar di pinggang serta punggungku dengan begitu erat.Tidak ada kata yang keluar dari bibir kami. Hanya isak tangisku yang terdengar seperti irama di pagi hari.Bukan tangisan pilu, melainkan air mata rindu yang sudah tertahan sejak lima minggu yang lalu.'Tuhan, apakah aku tengah bermimpi? Jika iya, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini. Aku rela tidur selamanya, agar bisa menikmati pelukan hangat suamiku.'Yusuf, sosok itu yang saat ini berada dalam de
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep