"Sudah satu minggu kamu pergi, A."
Aku menghembuskan napas kasar seraya memandang lurus ke arah restoran.
Pagi ini, tepat satu minggu Yusuf pergi. Jangankan jasadnya, bayangannya pun tidak pernah datang menghampiri.
Satu rekan Yusuf sudah bisa ditemukan, meski hanya jasad tanpa nyawa. Namun, untuk Yusuf, sama sekali tidak ada kabar.
Aku pun sudah pasrah dengan nasib suamiku. Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk hidup sendiri.
"Teh, bumbu sudah habis, hanya ada untuk hari ini saja. Apa besok, kita libur?"
Salah satu karyawan menemuiku.
"Habis? Emm ... biar hari ini saya belanja. Besok, kalian tetap masuk seperti biasa."
Neneng mengangguk. Ia pun kembali ke dalam restoran.
Sudah saatnya aku bangkit. Ja
"Ih, gak sopan banget datang-datang langsung berteriak," ucap salah satu adik Yusuf. Entahlah namanya siapa, aku tidak terlalu bisa membedakan yang mana Marwah, dan yang mana Safa."Dina, bisakah kalau kamu tidak membahas harta saat ini?" ucap Mama Salma pada adik madunya itu."Mbak, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Yusuf sudah satu minggu tenggelam. Dan itu artinya, dia sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup. Untuk apa kita harus tetap menunggunya?"Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan Bunda Medina. Sungguh, perkataannya menyakiti hatiku."Bunda, saya istrinya. Jika pun Yusuf memang meninggal, saya yang akan mengurus semua harta peninggalan Yusuf," kataku seraya duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan wanita itu.
Aku bisa bernapas lega, setelah wanita itu pergi. Aku harus membuat rencana untuk mengusir mereka dari rumah ini. Kedatangan Bunda Medina, bukan untuk mengatakan bela sungkawa, melainkan untuk mengejar harta dunia.Pukul lima sore, aku keluar dari kamar dan pergi ke restoran. Menemui karyawan yang baru saja selesai bekerja."Hari ini, kalian lembur. Tolong jangan pergi dulu, bantuin saya sebentar."Kelima karyawan saling pandang, namun mereka pun akhirnya menganggukkan kepala."Apa akan ada tamu penting, Teh?" tanya Derry.Aku menggelengkan kepala.Aku pun menceritakan apa yang aku inginkan, dan apa yang harus mereka lakukan. Ini konyol, tapi aku tidak punya jalan lain. Ini demi kelangsungan restoran ini juga."Baiklah, kita akan membantu Teteh, sebisa kita," ucap Neneng
Aku melihat dengan lekat pria yang saat ini tengah berdiri di sampingku.Dia seperti pria yang kutemui di pasar waktu itu?"Kamu tidak mengenaliku?" tanya pria itu seraya membuka topi dan maskernya."Daffa?" kataku."Ya, ini aku. Daffa."Aku tersenyum hambar pada pria itu. Dia adalah sahabat Yusuf, juga orang yang telah membeli tanahku dulu."Maaf, mungkin kedatanganku tidak tepat. Aku ingin bicara denganmu, Rin.""Em ... di sini saja, ya? Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa," kataku menunjuk kursi kayu jati yang berada di teras rumah."Silahkan duduk," lanjutku lagi.Daffa duduk dengan menyilangkan kaki, juga jari yang saling bertautan."Apa ada yang penting?" tanya
Tanganku terulur mengambil kertas itu, membuka dan membacanya."Kamu akan menikah?"Ternyata sebuah kertas undangan yang diberikan Mas Andri untukku."Iya. Aku akan kembali menjalin hubungan serius dengan seorang gadis. Dia adalah Rani, anaknya Almarhum Kang Asep."Aku mengangguk, tahu gadis yang dimaksud Mas Andri. Dia adalah wanita yang dulu pernah meminta Abah, untuk menikahinya sebagai tanggung jawab atas kematian ayahnya."Selamat, ya Mas. Semoga ... kali ini menjadi pernikahan yang terakhir untukmu.""Terima kasih, Rin. Em ...."Mas Andri tidak meneruskan ucapannya. Ia memilih mengalihkan pandangan pada bunga hias di sudut meja."Maaf untuk yang dulu. Sungguh, aku adalah pria bodoh yang telah menyia-nyiakan wanita sebaik kamu. Aku terbujuk rayuan setan waktu
"Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini nyata? Ini beneran kamu, A?"Kedua tanganku memindai wajah pria yang menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.Detik berikutnya, tangan itu menarik tubuhku hingga menempel pada dadanya. Kedua tangannya melingkar di pinggang serta punggungku dengan begitu erat.Tidak ada kata yang keluar dari bibir kami. Hanya isak tangisku yang terdengar seperti irama di pagi hari.Bukan tangisan pilu, melainkan air mata rindu yang sudah tertahan sejak lima minggu yang lalu.'Tuhan, apakah aku tengah bermimpi? Jika iya, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini. Aku rela tidur selamanya, agar bisa menikmati pelukan hangat suamiku.'Yusuf, sosok itu yang saat ini berada dalam de
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m