Entah jam berapa aku terbangun. Merasakan perut yang mulai terasa keroncongan usai pergulatan sengit hingga lebih dari tiga babak. Aku menoleh ke samping. Mas Vino pun masih bertelanjang dada di balik selimut yang kami pakai bersama.Aku bangkit lebih dulu dengan kembali melilitkan handuk pada tubuh dan segera menuju kamar mandi. Ternyata masih jam sebelas malam. Segera aku memutar air hangat untuk mandi janabah. Belum salat Isya juga.“Eh!” Aku berjingkat kaget saat dua buah real squisy-ku diraup dari arah belakang.Ah, elah, si biang keladi ikutan bangun pula.“Udah, Mas. Aku lapar. Mau mandi dulu, salat Isya, terus makan. Skip dulu, deh. Lanjut besok lagi.”Lelakiku terkekeh. “Dih, siapa juga yang mau nambah? Aku cuma mau bantuin istri cantikku ini buat gosokin sabun.”“Enggak! Aku gosok-gosok sendiri aja,” sahutku dan sedikit menjauh untuk meraih sabun cair.Mas Vino semakin terkikik. Dia menengadah dan mulai membasahi wajah tampannya dengan guyuran air shower. Kini, malah aku yan
Aku terenyak mendapati Aldrin sudah duduk di hadapanku. Dengan santainya dia memanggil waiter dan memesan makanan dan minuman. Luna hanya bergeming. Raut bingung dan kaget serasa berkolaborasi menjadi lagu sumbang.“Hei! Malah bengong. Apa kabar?”Aku mengerjapkan mata.“Eh, hai. Aku baik,” jawabku.“Lun, masih lapar, enggak? Pesan yang banyak, aku yang bayar.” Kini Aldrin beralih bicara pada Luna.“Oh, enggak. Aku udah mau pulang, kok,” sahut Luna enteng.“Oh, udah mau pulang, ya? Kalo gitu aku pinjam Kalila bentar, ya. Boleh, kan, Lun?”Wanita dengan jepit rambut di samping kepalanya itu hanya mengedikkan bahu. “Tanya aja sama Kalila, dianya mau enggak? Kalau dia nggak mau jangan maksa.”Kini Aldrin menatapku, menunggu jawaban tanpa mengulang pertanyaannya. Sebenarnya aku malas berhadapan lagi dengannya. Namun, aku penasaran kenapa dia kembali ke sini?“Apa ada hal penting yang mau kamu omongin?” tanyaku. “Kalau cuma mau basa-basi, maaf aku enggak bisa.”“Kenapa? Belum izin suami?”
Aku menoleh ke arah sumber suara yang seolah-olah menjadi penolongku saat ini. Namun, lagi-lagi aku merasa tengah dikepung bahaya saat ternyata Mas Alan yang datang dan mendekat. “Lepasin tangan Kalila!” Lagi, Mas Alan berucap dengan mata menatap tajam pada Aldrin. Dengan terpaksa Aldrin melepas pergelanganku dan mengangkat kedua tangannya ke udara seperti tanda menyerah. Namun, senyum miring tetap ia tampilkan. “Hai, Pak Komisaris hotel and resort Grand Adiwilaga. Apa kabar? Makin keren saja, Pak," candanya. "Eh, masih betah melajang?” “Kabar baik. Alhamdulillah masih," jawab Mas Alan datar dan jelas. “Wah, wah, wah ... tampaknya Anda bangga sekali, ya, jadi jomlo sejati. Atau jangan-jangan ... Anda lemah syahwat sampai tak berniat mendekati seorang wanita?” Aku menggeleng lemah. Tampaknya Aldrin yang dulu kukenal memang sudah mati. Kini, yang ada di depan mata hanyalah manusia culas yang suka memancing di air keruh. Aku menatap Mas Alan yang terlihat masih santai walau Aldrin m
Ya, sebelum pulang ke Jogja, aku dan Mas Vino memang kembali mengonsumsi daging kambing karena gairah kami dalam bercinta memang terasa berbeda. Lebih berani dan bisa tahan hingga beberapa ronde. Kami seperti ketagihan mengonsumsinya agar ranjang kian panas.Aku menggeser ikon terima dan Mama berlalu setelahnya.“Assalamu’alaikum, Mas ...”“Wa’alaikumsalam, Sayang.” Keningnya berkerut. “Kamu udah mau tidur?”Aku tersenyum. “Belum, tadi habis ketemuan sama Luna di kafe. Pulang-pulang langsung mual.”Aku berusaha menahan gejolak melihat suamiku di sana hanya bertelanjang dada dan handuk yang melilit bagian bawahnya.“Mual?”Aku mengangguk.“Pusing? Atau kecapekan?”Aku menghela napas. “Mungkin ....”Setelah beberapa kali tes mandiri menggunakan tespek tapi tak kunjung mendapatkan dua garis merah, aku dan Mas Vino memang tak mau menduga-duga. Pusing dan mual kadang datang kalau tubuh ini sudah protes karena terlalu diforswir.“Overdosis daging embek,” lanjutku random.Mas Vino terbahak h
Tubuhku luruh dengan punggung menyandar pada dinding. Aku menangis sesengukan mendapati kenyataan. Belum ditakdirkan menjadi wanita seutuhnya benar-benar menyesakkan. Lagi-lagi penyesalan kembali datang, kenapa aku harus melakukan tes kehamilan ... lagi?“Yang ....” Mas Vino mendorong pintu kamar mandi yang memang tak tertutup rapat. Seketika dia kaget melihatku terduduk dengan menyandar di dinding keramik. “Sayang, kamu kenapa?” Gegas ia menghampiri.Diraihnya tespek dari tangan. Lelakiku mengembuskan napas dan menarik perlahan kepala ini, lalu ditempelkan ke dadanya yang bidang. “Its oke, Sayang. Jangan berkecil hati. Kan, aku udah sering bilang kalau kita ini masih pengantin baru, Insya Allah masih banyak waktu.”Ya, memang baru lima bulan, tapi aku sudah mulai dibayangi rasa takut jika seorang penerus itu tak juga dinyatakan datang. Mas Vino membantuku berdiri dan berjalan ke ranjang.“Masih pusing?”Aku menggeleng.“Mual?”Kembali aku menggeleng.“Mandi, yuk. Terus salat Subuh be
Hamparan pasir putih sangat memanjakan mata. Jilatan ombak begitu mesra menyapu bibir pantai. Angin pun bersiul, menyanyikan lagu kebebasan penuh ketenangan. Kuhirup dalam-dalam udara yang bebas polusi, mengembuskannya perlahan dengan merentangkan kedua tangan.Tangan Mas Vino melingkar di perut dari arah belakang. Membisikkan kata cinta bak pujangga. Aku tersenyum dan mengelus pipinya yang halus. Teringat aku akan perkataan dari seorang novelis dan penulis skenario asal Amerika Serikat–Nicholas Spark–katanya ... cinta itu seperti angin, kita tak bisa melihatnya, tetapi bisa merasakannya.“Kamu suka pantai?”“Hm,” jawabku.“Kenapa?”“Pantai itu menenangkan. Membuat kita banyak mengingat kekuasaan Allah betapa kecilnya kita saat berada di hadapan hamparan air laut.”“Biasanya ke pantai sama siapa?”“Mas Alan,” jawabku jujur.Tak ada sahutan dari lelakiku.“Mas?”“Hm?”“Kamu udah enggak cemburu sama dia, kan?” tanyaku ingin memastikan.“Cemburu itu wajar, asal enggak buta. Sejauh ini, k
Tak jauh dari tempat lelaki misterius itu berdiri, banyak orang mondar-mandir menurunkan berbagai macam alat dari sebuah mobil. Salah satu yang aku tahu mereka tengah membawa tripod, kamera, dan payung reflektor. Mungkin akan dilakukan pemotretan prewedd atau sejenisnya.Aku berlari dan menuju suamiku berdiri. “Mau makan di mana?”“Tuh! Yang dekat sama pantai saja.” Kami bergandengan tangan menuju rumah makan dengan spanduk gambar aneka penghuni laut.Setelah menunggu beberapa saat usai memesan menu-menu seafood, akhirnya kudapan tersaji di depan mata. Kami makan dengan lahap. Seperti janjinya, Mas Vino tampak menikmati dengan gigitan-gigitannya pada cangkang kepiting besar yang sudah diolah dengan bumbu saus asam manis.Disesapnya bumbu warna kemerahan itu dengan raut wajah puas. Terlebih saat daging putih nan lembut itu menyentuh lidahnya, mata Mas Vino berbinar penuh kepuasan.“Enak, Mas?”Suamiku hanya mengangguk-angguk dan langsung menyuapiku dengan tangan. Perpaduan bumbu dan e
Pandanganku menyapu sekeliling. Tak kudapati sosok Aldrin dan juga lelaki misterius yang postur tubuhnya memang seperti pria cassanova itu. Aku yakin sekali pasti dia Aldrin. Langsung kubuka pintu mobil, dan diikuti oleh Mas Vino di samping.“Kayaknya aku enggak asing sama nama cowok yang disebut gadis remaja tadi.” Mas Vino berujar dengan memakai sabuk pengamannya.Aku pun melakukan hal yang sama. Mobil mulai melaju dan perlahan meninggalkan pemandangan pantai.“Yang?”“Dia anak angkat Om Heru, Mas. Adik ipar papa.” Kusandarkan punggung dan menormalkan detak jantung.“Yang pernah mau tunangan sama kamu?”"Dia yang mau. Aku, sih, enggak," jawabku datar. "Mas Vino masih ingat, kan, ceritaku malam itu? Pas kepotong gara-gara gedoran si kembar?”“Iya, aku inget. Itu Aldrin yang ngasih bunga mawar ini?” Dagunya menunjuk bunga yang kutaruh asal di atas dasbor mobil.“Siapa lagi? Aku cuma kenal satu cowok bernama Aldrin. Dan dialah sepupuku, si pria cassanova, anak angkat bulik Ajeng."Bebe
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.