Ruang rapat sejenak hening. Deru mesin pendingin dan detak jarum jam meningkahi ketukan pulpen Bram di atas meja, mengisi sunyi yang menjeda. Semua mata tertuju pada Bram, menantinya memberi klarifikasi. Rumor tentang Bram dan Seruni memang sudah beredar luas di tengah karyawan La Luna. Jika dibiarkan, akan menjadi api yang bisa jadi akan membakar jerih payah membesarkan La Luna selama ini. “Saya setuju dengan Bos Kai.’ Suara Nina menghentikan ketukan pulpen Bram. Bola mata hitamnya bertemu pandang dengan paras cantik kepala HRD itu. Di depan staf lain, Nina berusaha profesional, sangat kontras dengan sikapnya jika hanya berdua dengan Bram. Dia akan berbicara dengan lembut dan kadang sedikit menggoda. “Tempo hari Pak Bram sudah melanggar SOP penerimaan pegawai dengan memasukkan Seruni tanpa melalui program rekruiitmen resmi.” Nina ikut menambahkan. Ia jadi punya kesempatan untuk meluapkan kekesalannya karena Bram terkesan melindungi dan memberi ruang lebih pada Seruni. Padahal selam
“Ada anak baru di dapur, Kai?” Aditya sengaja berdiri di tengah sehingga Seruni tidak bisa lewat. Meski wajahnya menghadap Kai, tetapi lirikan matanya tetap tertuju pada gadis itu.Dalam hati, Aditya sibuk mengumpat si tato kalajengking yang mungkin saat ini sudah mati. Gou dan anak buahnya benar-benar bodoh karena tidak mampu menangkap Seruni padahal gadis itu sudah ada di depan mata.Aditya sebenarnya bisa mengerahkan tukang pukul lainnya untuk menangkap Seruni, tetapi sekarang ia sedang tiarap karena jejaknya mulai terendus polisi. Sedikit saja operasinya bocor atau gagal, dia bisa diseret ke penjara dengan pasal berlapis karena memiliki bisnis judi dan prostitusi online. Si kepala botak yang selama ini meliindunginya mulai kewalahan karena jajaran reskrim saat ini jauh lebih berani.Satu-satunya cara menghindari dari radar polisi adalah menahan diri dan tidak terlalu agresif. Ia tidak ingin kehilangan sumber utama pundi-pundi kekayaannya. La Luna memang memberikan penghasilan cuku
Melihat Rain menangis, Bram mempercepat ayunan kakinya menuruni tangga. Tangis Rain seperti lonceng tanda bahaya di telinga Bram.“Kenapa bisa sampai nangis?” tegur Bram ketika sudah berada di depan Seruni. Diambilnya Rain dari gendongan Wulan kemudian diciumnya kepala dan kening anak itu.“Mommy.” Tangan Rain terulur hendak meraih Seruni.“Ka-kak mau kerja, Rain,” ujar Seruni dengan tampang memelas. Duh, kenapa juga pakai acara nangis? Ia tidak tega mendengar tangis gadis kecil itu, tetapi juga tidak ingin kehilangan kesempatan. Kai sudah mewanti-wanti agar datang tepat waktu kalau tidak ingin tereliminasi sebelum tes.“Non, Mommy biar kerja dulu, ya?” Wulan mengelus punggung Rain kemudian mengangkat kedua tangannya untuk meraih tubuh gadis itu. Alih-alih diam, tangis Rain justru makin keras.‘Ran mana, Mbak?”“Sudah nunggu di depan, Mas, ditemani Mbak Naya.”Bram melihat jam dinding. “Kalau gitu ajak Rain ke La Luna.” Pria itu memberikan Rain pada Seruni.Refleks kedua mata Seruni m
Sesaat, ucapan Aditya menghentikan gerakan tangan para calon asisten chef. Sementara penghuni dapur lainnya tampak tidak terganggu dengan keberadaan pria berkumis tipis itu. Mereka sudah terbiasa melihat perseteruan Aditya versus Bram dan Kai. Kadang, mereka malah sedikit menikmati lalu sesekali menjadi bahan ghibah di grup karyawan. Sampai saat ini skor tertinggi ada di pihak Bram dan Kai. Keduanya selalu berhasil mengalahkan adu mulut dengan Aditya.Kai mendekati ujung meja. “Lanjutkan pekerjaan kalian. Fokus! Waktu kalian tidak banyak,” seru Kai melihat kelima orang di hadapannya sempat berhenti bekerja. Kemudian, ia kembali memangkas jarak dengan Aditya. Saraf-saraf otak di kepala Kai sibuk mencari cara untuk menyingkirkan Aditya dari dapur. “Kita bicara di ruang kerja saya saja, Om,” lanjutnya kemudian. Walaupun ia belum tahu topik pembicaraan yang akan dipilih, tetapi setidaknya sang paman tidak ada di dapur.“Tidak perlu.”Kaki Kai yang hampir terayun kembali ke posisi semula.
“Saya anak baru, Mbak. Belum berani izin.”Seruni memasang tampang memelas. Permintaan Wulan membuat Seruni kesulitan menelan nasi goreng. Butuh bantuan dua teguk air agar makanan itu tertelan sempurna. Seruni bimbang. Sebenarnya ia kasihan pada Rain, tetapi di sisi lain, ia tidak punya cukup keberanian untuk absen.“Cuma sehari ini saja. Setelah demamnya reda, Non Rain nggak akan ganggu kamu lagi.”Mbok Asih yang baru saja kembali dari ruang makan setelah menata sarapan duduk di dekat Wulan. Tangan keriputnya meraih cangkir lorek dan meneguk isinya perlahan. Dipandanginya Wulan dan Seruni bergantian dengan prihatin. Ia ingin membela Seruni, tetapi juga kasihan pada Wulan. Mbok Asih sangat paham, kalau sakit, Rain selalu rewel dan sedikit merepotkan. Kadang Wulan harus rela bergadang, bergantian dengan Kanaya. Pekerjaannya lebih ringan jika Bram ada di rumah. Gadis kecil itu akan menggelendot ayahnya sepanjang malam. Seeruni menghela napas. “Saya nggak terganggu dengan Non Rain. Cum
“Jangan-jangan bener, nih, kata Mas Kai.”Suara Kanaya seperti magnet yang menarik Seruni dan Bram melepas tangan masing-masing. Seruni mundur dan Bram kembali duduk di ayunan. Di pangkuan Bram, Rain menggeliat. Angin senja bertiup cukup kencang, menggoyang batang-batang zinia dan cosmos aneka warna. Seekor kupu bersayap kuning hinggap di atas kelopak marigold.“Saya tadi hampir jatuh dan Pak Bram menarik tangan saya, Mbak. Tolong jangan berpikir macam-macam.” Seruni mencoba membela diri. Kepalanya tertunduk, menatap batu-batu kecil yang menutup jalan setapak di depan ayunan. Langit kemerahan. Matahari nyaris tenggelam di celah langit.“Memangnya Kai bilang apa?” Bram menatap tajam Kanaya yang kini sudah duduk di samping Bram dengan tangan menggenggam segelas jus jambu. Dielusnya punggung Rain yang menggeliat lalu perlahan membuka mata.“Kalau kata Mas Kai, kalian sebenarnya diam-diam sudah menikah.” Kanaya berujar santai lalu tersenyum kecil. Ia selalu suka menggoda Bram soal peremp
“Kamu nggak perlu repot-repot nyariin jodoh buatku, Mas. Aku bisa cari sendiri, kok.’ Kanaya berusaha agar tidak terprovokasi ucapan Bram.Diam-diam, Kanaya menaruh harap pada seseorang, tetapi tidak punya keberanian untuk mengutarakan lebih dulu. Ia memilih untuk menunggu, entah sampai kapan karena ia pun tidak tahu bagaimana perasaan orang itu. Kanaya akan berhenti berharap ketika takdr telah memutuskan ia tidak berjodoh dengan laki-laki yang selama ini mengisi doa-doanya.“Makanya aku kasih waktu sampai tahun ini. Kalau belum ketemu juga, berarti kamu butuh bantuan.”“Bram.”Panggilan sang mama menghentikan perdebatan kedua kakak beradik itu.“Iya, Ma.” Bram menyahut cepat. Ia segera berdiri dan mendekati ranjang diikuti Kanaya. ‘Masih pusing, Ma?” Bram menggenggam jemari kurus sang mama.‘Sedikit.”“Ya, udah, buat tidur lagi saja. Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”Perempuan berusia 60 tahun mengangguk. Dihelanya napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. “Nay, gimana
“Dia bolak-balik revisi menu. Dikira ganti-ganti menu gitu cuma pakai dengkul, nggak pakai otak?”Kai muntab. Jika sudah berurusan dengan Aditya, kesabaran Kai seperti uap kopi panas ditiup angin, cepat sekali hilang dan berganti amarah.‘Nanti aku baca dulu revisi terakhir dan rancangan sebelumnya. Aku butuh amunisi untuk menyerang Om Adit.”“Terserah kamu gimana caranya, yang penting draft yang kukirim barusan, buatku sudah final. Aku tidak sudi kalau harus revisi lagi.”“Oke.” Bram menarik napas.“Semoga besok anak-anak sudah sehat. Jadi, lusa kita meeting buat mastiin final draft persiapan menyambut dua event besar itu.’Mendengar kalimat Bram, otot wajah Kai sedikit mengendur. Diusapnya rambut lalu mengambil satu kantung makanan dari mobil. “Well, gimana keadaan Tante Saras?”“Dokter masih observasi. Semoga demam biasa.”“Semoga nggak ada yang serius.’’ Kai menatap prihatin Bram. ‘Anak-anak gimana?”“Sejauh ini nggak ada masalah. Mbak Wulan selalu bisa diandalkan.”‘Syukurlah kala
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge