**
“Astaga!”
Perlu beberapa waktu bagi Isabella Clark menyadari di mana dirinya berada saat ini. Semalam ia mabuk berat, kemudian pergi bersama seseorang, dan … mengira dirinya bermimpi.
Tapi siapa sangka, kini ada pria tampan tak dikenal di atas ranjang yang sama dengannya. Dalam keadaan tanpa busana pula! Berarti apa yang terjadi semalam itu sama sekali bukan mimpi.
“Sial, apa yang aku lakukan? Kenapa aku begitu bodoh?”
Tanpa banyak berpikir, Perempuan itu menyingkirkan lengan si pria yang masih memeluknya dan beringsut bangkit diam-diam.
Ia meringis kesakitan ketika melangkah, sebab bagian bawahnya terasa nyeri. Tak bisa dipungkiri, sebab ini adalah pertama kalinya ia melakukan hal ini.
Sembari terus merutuki diri, Bella memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai kamar.
Tak lupa, ia meninggalkan beberapa lembar uang tunai di atas meja rias sebagai ‘kompensasi’ atas tindakannya semalam. Ia merasa bersalah karena sudah sembarangan mengajak tidur seorang pria tak dikenal.
“Mari lupakan semua ini dan anggap saja tidak pernah terjadi, Tuan. Maafkan aku,” lirih Bella sebelum terseok-seok berjalan keluar kamar. Ia bertekad pergi sebelum si pria melihatnya.
Hanya saja, Bella tidak tahu bahwa pria tampan itu sudah terbangun dan mengawasi gerak-geriknya sejak tadi!
Giovanni Estes bangun dari ranjang dengan perasaan kesal.
Terlebih saat ia memandang tumpukan uang yang baru saja Bella tinggalkan.
“Apa dia pikir aku ini gigolo atau semacam itu? Seharusnya aku yang membayarnya!”
Namun belum sempat melampiaskan emosinya, pria rupawan itu tak sengaja melihat
noda merah yang sudah mulai mengering–mengotori bagian tengah seprai.
“Gadis itu pasti sudah gila,” gerutu Giovanni sembari menggelengkan kepala.
Tanpa basa-basi, ia lalu meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bawahannya,
“Cari tahu siapa wanita yang menghabiskan malam bersamaku dan kirimkan data secepatnya!"
Tut!
Pria 30 tahun itu segera memutus sambungan telepon. Netra hitamnya menggelap memandang hamparan lanskap kota San Diego yang terlihat dari dinding kaca kamar. Ini pertama kalinya dalam hidup Giovanni: alerginya tidak kambuh saat menyentuh perempuan.
Sementara itu di tempat lain, Bella melamun dalam taksi sepanjang jalan pulang.
Setelah ia sadar dari mabuk, kenyataan itu semakin terasa menyakitkan.
Tunangannya telah berkhianat dengan kakak tirinya.
Padahal dengan tulus Bella menemaninya dan mencintainya. Sejak Andrew menjadi pegawai magang hotel milik ibunya, hingga sekarang pria itu menjadi manager di sana.
Belum lagi, ia telah melepas keperawanannya dengan pria asing!
Semua fakta yang campur aduk ini membuat kepala Bella semakin pening.
“Sial! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian.” Dua tetes air mata meluncur turun, membasahi pipi gadis bersurai cokelat itu.
Ketika menyadari taksi yang ditumpangi telah berhenti di depan rumah, Bella mengusapnya dengan cepat dan segera turun dari mobil. Ia lalu melangkah menuju bangunan mewah itu meski hatinya sungguh tidak nyaman.
“Pulang juga kau, jalang kecil!”
Bella tersentak saat suara keras terdengar menghardiknya. Ia mengangkat wajah dan mendapati Marita –ibu tirinya– berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang. Tak hanya itu, ada sebuah koper besar berdiri di dekat kakinya.
“Apa maksudnya, Ma?”
“Ck! Mulai sekarang, rumah ini bukan lagi rumahmu. Terserah kau mau tinggal di mana. Jadi, pergi segera!”
“Tunggu! Ini rumah ibuku! Kau tidak bisa mengusirku begitu saja!”
Marita menuruni tangga teras, melangkah angkuh menuju Bella yang masih terpaku. Wanita itu mendorong gagang koper ke arah si gadis dengan kasar.
“Kau tidak lagi berhak atas apapun yang ditinggalkan ibumu sekarang. Termasuk rumah ini.”
“Apa yang kau katakan? Jangan sembarangan!”
“Putriku akan menikah besok, jadi hak waris semua harta Alice akan jatuh kepadanya. Sesuai kesepakatan, kau gagal menjadi ahli waris jika tidak menikah sampai usiamu 25 tahun.”
“Apa-apaan kalian ini?” Bella menghentak kaki. “Kau dan Tracy bahkan tak ada hubungannya dengan ibuku?!”
“Tapi, ayahmu telah setuju dengan kesepakatan itu. Tracy menikah lebih dulu, dan dia mendapatkan semuanya!” Wanita separuh baya dengan wajah penuh make up itu menyeringai penuh kemenangan. “Sekarang kau harus meninggalkan rumah ini.”
“Aku harus bicara dengan Dad!”
“Silakan. Ayahmu berada di Florida saat ini. Kau bisa menyusulnya ke sana kalau mau.” Marita berbalik menaiki undakan teras, membawa langkah kakinya dengan jumawa. Sebelum mencapai pintu, wanita itu berbalik lagi.
“Ah, dan satu lagi. Aku akan melaporkanmu ke polisi atas tuduhan pencurian jika kau nekat memasuki rumah ini. Selamat pagi, Isabella Sayang. Jangan lupa hadir ke pernikahan Tracy dan Andrew besok, ya.”
Bella berdiri di tengah halaman rumah megahnya dengan hati yang tidak hanya remuk redam, tapi sudah terasa nyaris kosong. Air mata kembali berderai membasahi pipi.
Gadis itu tidak memiliki apapun untuk dikatakan. Ia meraih pegangan kopernya dan melangkah menjauh dari rumahnya sendiri.
“Mom ….” bisiknya serak, “Aku harus bagaimana? Hidup ini sulit sekali tanpa kau ada di sini. Aku harus pergi ke mana sekarang?”
Bella berjalan dengan linglung tak tentu arah. Kendaraan lalu lalang di dekatnya, namun tak ada satu pun yang mempedulikannya.
Ditambah matahari yang bersinar terik di atas kepala, gadis itu merasa tubuhnya hampir limbung.
Sampai kemudian suara klakson panjang membuat Bella tersadar.
Ia menoleh, dan sepertinya terlambat.
BRAK!
Tubuhnya tersambar hingga jatuh tersungkur di tepi jalan–membuat seorang pria tampan yang kebetulan berada tak jauh dari sana menjadi terperanjat, terkejut.
***
**“Hentikan mobilnya!”Giovanni mendadak berseru ketika tampak olehnya di kejauhan, seorang perempuan terlempar ke trotoar jalan setelah terserempet mobil. Dan mobil yang menyerempet terus melaju kencang alih-alih berhenti.“Tuan, apakah harus? Sebaiknya kita tidak ikut campur.”Meski tidak ada jawaban dari atasannya itu, sang sopir tahu tidak ada yang bisa menghalangi keinginan sang tuan. Maka, ia bergegas menepikan mobil.“Maaf Tuan,” ucapnya lalu menuruti perintah.Setelahnya, Giovanni pun keluar dari mobil untuk memeriksa perempuan yang tidak sadarkan diri itu. Keningnya berkerut kala ia menyadari siapa yang sedang ia hadapi. Segera ia angkat tubuh lemah itu tanpa berkata apapun.“Isabella Clark.” Pria itu bergumam lirih sementara mobilnya melaju kencang menuju rumah sakit.Tentu saja Giovanni masih menyimpan data yang dikirim para bawahannya tadi pagi. Isabella Clark, 24 tahun, dan putri seorang pengusaha akomodasi. Ibunya sudah meninggal, dan ayahnya menikah lagi.Ia memiliki s
**“Aku? Sudah kubilang, aku Giovanni Estes.” Pria rupawan itu tersenyum. Senyumnya sungguh mempesona, sampai membuat Bella rasanya hampir mengiyakan apapun yang pria itu katakan.“Tap-tapi, jika hanya menikah, apakah itu akan menguntungkanmu? Maksudku, apakah sebanding dengan apa yang kau terima? Jika tidak, bukankah kau akan menderita kerugian?”’ tanya Bella penasaran.“Jika aku menawarkan demikian, tentunya aku sudah mempertimbangkan untung ruginya, Nona. Jadi sekarang bagaimana, kau menerima tawaran ini atau tidak? Aku membantumu mendapatkan kembali hakmu, dan kau menjadi istriku sampai orang tuaku meninggal.”“Ap– hei! Tidak boleh berkata begitu! Kau menyumpahi orang tuamu sendiri untuk meninggal?”“Jangan cerewet, Isabella! Kau bersedia atau tidak?”“Aku– sebentar, dari mana kau tahu namaku? Seingatku aku belum memperkenalkan diri?”“Mudah saja untukku mengetahui hal seperti itu. Tidak perlu kau pikirkan.”Benar juga. Itu bisa Bella tanyakan lagi nanti. Sekarang yang harus ia pi
**Hanya saja, semua terlupa saat kasur king size di ruangan itu membuatnya terlelap. Gadis itu jatuh tertidur lebih cepat sebab semua yang terjadi pada hari ini membuatnya sangat lelah.Terlebih, Bella panik kala mengingat rencana keduanya keesokan paginya. Apakah semuanya akan berjalan seperti yang ia harapkan?“Apakah kau gugup?” tanya Giovanni yang baru turun dari mobil. Pria itu menyadari gerak-gerik wanitanya.Wanita itu sontak mengangguk menatap lobby Paradise Hotel.“Kau bisa melakukan ini.” Tanpa basa-basi, ia meraih jemari Bella dan menarik tangan sang istri untuk memasuki hall Paradise Hotel yang saat itu didekorasi dengan mewah.Tamu-tamu berbusana indah dan mahal bertebaran di penjuru ruangan.Mereka semua seperti ikut merayakan luka hati Isabella yang berdarah-darah. Dan oleh sebab itu, rasa gugup gadis itu mendadak lenyap. Digantikan dengan api yang membara di dalam dadanya.“Mereka bersenang-senang di atas penderitaanku,” desis Bella. “Sama sekali tidak bisa dibiarkan.
**Peringatan itu membuat Andrew kembali mundur.Sekali gertak saja ia tahu bahwa Giovanni bukanlah tandingannya. Maka pria itu memilih mencari aman dan hanya bisa menggertakkan gigi dengan kesal tanpa bisa menjawab ancaman Giovanni. Setengahnya Andrew tak habis pikir, bagaimana Bella bisa mendapatkan pria ini dalam waktu satu hari saja?Perhatian khalayak kembali kepada Bella, ketika gadis itu kembali berucap dengan tenang kepada Marita.“Siapapun yang berada di sini akan bersedia menjelaskan kepadamu, Mama. Kebetulan mereka semua mendengar percakapan hangat aku dengan Tracy dan Andrew tadi. Kalau begitu aku permisi, sekali lagi selamat untuk pernikahannya.”Kemudian diapitnya lengan Giovanni seraya melangkah pergi dari sana dalam langkah anggun.Kendati demikian, lewat sudut mata, Bella masih dapat melihat Andrew menarik Tracy yang menangis ke dalam pelukannya, dan itu sangat menyakitkan.Hati Bella kembali remuk redam karenanya.Di luar hall hotel, barulah gadis itu menarik napas d
**“Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.” Giovanni menjatuhkan pandangan tajamnya kepada sang istri. “Kau bisa mengandalkan aku, Bella.”“Ya, ya.” Perempuan itu tersenyum gugup. Bohong sekali jika ia tidak takut. Sekalipun Giovanni bersikap baik, tapi aura gelap pada paras tampannya tetap tidak bisa disembunyikan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga jati diri pria itu terungkap.Kembali kepada jalanan siang hari Kota San Diego yang tidak cukup ramai. Awalnya Giovanni mengemudi dengan santai menuju ujung kota, di mana rumahnya yang seperti kastil berada. Namun sesuatu kemudian mengganggu fokusnya. Pandangan mata tajam lelaki itu sekali-sekali mengarah kepada spion. Ada sebuah mobil hitam yang berjalan dengan jarak cukup dekat di belakang.“Mobil itu mengikuti kita,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.“Mobil? Yang mana?” Bella menoleh ke belakang. Ia menyipitkan mata dan menemukan mobil mana yang dimaksud suaminya. “Tidak, Gio. Mungkin saja itu hanya mobil orang lain yang
**Giovanni Estes sudah berusia 30 tahun saat ini, namun ini adalah pertama kalinya ia bisa merasa menjadi laki-laki yang normal. Selama ini ia hanya bisa tersiksa saat melihat perempuan dalam bentuk apapun.Pria itu mengangkat tubuh ramping Bella dan membawanya ke atas ranjang. Ia memagut bibirnya dengan lembut, merasakan gejolak hasrat yang seperti akan meledak.“Aku senang bisa menjadi pria pertamamu,” bisiknya di telinga sang istri.“Ba-bagaimana kau tahu kau adalah pria pertamaku?”Tidak menjawab, Giovanni membaringkan Bella pelan-pelan di atas ranjang dan memandang gadis itu dengan intens.Ia melepas kemejanya yang bernoda darah tadi, dan melemparkannya ke bawah ranjang. Memamerkan tubuh bagian atasnya yang terpahat sempurna. Kekar namun tidak berlebihan, dengan kulit bersih yang dihiasi goresan tatto pada seluruh lengan kiri hingga menyentuh dada.Urat-urat halus berkejaran di sepanjang v-shape dengan navel tersemat di antaranya.“Suka pemandangannya?” sindirnya, sehingga Bell
**Giovanni menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe yang ditunjuk Bella. Pria itu lantas menoleh kepada sang istri yang bukannya segera turun, malah diam termangu di tempat.“Kau mau aku saja yang menemui ayahmu?” tawar Giovanni, yang segera dijawab oleh pelototan dari yang lebih muda.“Aku tidak mengantarmu ke sini hanya untuk duduk diam di parkiran, Bella.”Perempuan itu mendesah lelah. “Kau benar. Ayo turun dan bicara dengan Dad.”Giovanni mengangkat alis sebelum mengikuti Bella meninggalkan mobil.Keduanya berjalan ke arah sudut kafe, di mana seorang pria dengan perawakan agak tambun duduk sembari memegang iPad.“Aku datang, Dad,” sapa Bella sebelum menempatkan diri, duduk di hadapan pria itu, Matthew Clark. “Dan ini adalah Giovani Estes. Emm … suamiku.”Seperti respon yang diharapkan Bella, Matthew seketika menampakkan wajah tidak suka kepada menantu barunya. Pria itu tidak memandang Giovanni dengan terkejut, sebab mungkin saja sudah mendapatkan spoiler dari istrinya.Marita d
**“Kau … mengizinkan aku pergi ke hotel?”Bella masih menatap sepasang manik hitam itu. Mungkin saja Andrew akan berada di hotel juga, dan mengingat apa yang bisa Giovanni lakukan, Bella khawatir pria itu akan menembak kepala Andrew jika keduanya bertemu dalam suasana tidak kondusif seperti ini.“Sudah kukatakan, aku akan mengizinkanmu pergi ke manapun selama masih berada di bawah pengawasanku.”“Baiklah, ayo antar aku ke sana sekarang. Aku akan sekalian mengajakmu makan siang di sana. Chef hotelku adalah yang terbaik, kau tahu.”Giovanni tersenyum kecil –sesuatu yang jarang ia lakukan– saat melihat Bella berkata penuh semangat. Sepertinya Bella sudah bisa mengatasi rasa galau karena percekcokan dengan ayahnya barusan. Maka Giovanni mendekat dan mengecup pipi wanitanya...Tepat seperti apa yang Bella perkirakan, ia bertemu dengan mantan tunangannya di kantor hotel.“Bella!” sebut Andrew segera, “kau datang?”“Kau di sini untuk membereskan barang-barangmu, kurasa,” timpal Bella dat
**“Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat! Bagaimana mungkin Bella bisa mendapatkan pria seperti itu dalam waktu yang sangat singkat? Andrew, aku berani bertaruh perempuan itu pasti sudah mengkhianatimu sebelum ini. Dia pasti sudah bermain belakang dengan pria itu lebih dulu!”Andrew hanya diam dengan wajah pucat mendengar rentetan pernyataan dari Tracy. Tidak ada yang bisa pria itu ucapkan sebagai tanggapan atas informasi yang baru saja didapatnya.“Andrew, kau bisa menuntut Bella! Dia sudah menipumu! Bella sudah mengkhianatimu!”“Lalu apa bedanya dengan kita?” potong Andrew kesal. “Kita juga sudah menipu dan mengkhianatinya, Tracy! Bahkan jika dipikir-pikir, kita yang lebih jahat.”Tracy menyipitkan mata tidak setuju, meski tak lagi mengatakan apapun.Perempuan itu baru saja pulang ke rumah setelah nekat menguntit mobil yang ditumpangi adik tiri dan suaminya tadi. Tracy hanya sampai di gerbang masuk mansion di tepi pantai, sementara mobil Bella memasuki daerah yang sepertinya b
**“Tidak bijaksana jika saya yang menceritakan, Nyonya. Anda bisa bertanya langsung kepada Tuan Giovanni nanti. Saya yakin dia tidak akan keberatan memberitahu anda.”Bella hanya mendengus kecewa mendengar pernyataan itu. Ia lupa bahwa para bawahan suaminya adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi dan sangat setia. Tidak menunggu waktu lama, sebuah Audi hitam merapat ke tepi jalan dan mendekati mobil yang ditumpangi Bella dan Felix. Perempuan itu memandang dengan seksama pria yang baru saja turun dari sana. Giovanni terlihat begitu mempesona dalam balutan kemeja hitam casual dan kacamata hitam yang menutupi mata serigalanya.“Felix, kau bisa pergi sekarang,” titahnya, yang segera diangguki oleh sang supir. Felix kemudian berlalu, meninggalkan Bella yang kini berdiri canggung di hadapan Giovanni. Surai panjangnya berkibar-kibar ditiup angin laut. Rasanya semakin tidak nyaman sebab pria itu memandangi Bella hampir tanpa berkedip.“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanyanya kepada sang s
**“Aku harus mencari tahu informasi tentang Bella. Sepertinya aku salah sudah meremehkannya dan mengira dia tidak akan bisa hidup layak setelah Mama mengusirnya dari rumah. Justru dia terlihat lebih baik sekarang, setelah berpisah dengan Andrew.” Tracy bergumam sendirian sementara menyipitkan mata, memandang adik tirinya yang hampir menghilang di belokan koridor. Sempat Tracy melihat tas Gucci terbaru yang tersandang berayun-ayun di bahu Bella.“Dari mana jalang kecil itu mendapat uang untuk bertahan hidup dan membeli barang-barang mewah? Semua akses finansialnya masih terblokir sampai saat ini.”Tracy mengerutkan alis penuh prasangka. Akal liciknya mulai lagi berputar di kepala.Jika ada hal yang membuat Tracy kesal setengah mati, itu adalah kalah dari adik tirinya yang sangat ia benci.Sementara itu, Bella sendiri sudah hampir sampai di ruangannya.“Tuan Giovanni benar. Saya memang tidak boleh meninggalkan anda walau hanya sebentar. Ternyata ancaman memang datang dari mana saja.” F
**Satu-satunya orang yang dikenal Bella di kediaman prestisius tempatnya tinggal sekarang selain Giovanni, adalah Felix. Orang kepercayaan yang ditunjuk Giovanni sendiri untuk mengantar sang nyonya pergi ke manapun.Seperti pagi ini, Bella pergi bekerja diantar oleh pria berusia 35 tahun itu. “Felix,” panggil Bella setelah sekian lama tenggelam dalam lamunannya sendiri. “Siapa itu Damian?”Felix melirik sejenak melalui kaca spion. “Tuan Damian, Nyonya?”“Aku sedang sarapan saat seseorang datang mengganggu. Dia mengaku bernama Damian dan menyebut dirinya sepupu Giovanni. He’s so damn annoying.”“Ah, ya.” Felix mengangguk kecil. “Memang demikian. Jadi anda sudah bertemu dengan Tuan Damian. Dia memang sepupu Tuan Giovanni dari pihak ayah.”“Benarkah? Aku tidak suka dia.”“Sebaiknya anda memang jangan menyukainya, Nyonya.” Felix mengulum senyum yang sarat makna, sementara melayangkan pandangan sekali lagi kepada istri bosnya itu melalui kaca spion.Bella ingin bertanya mengapa demikian,
**Beberapa hari berlalu setelah pertemuan dengan Andrew di hotel, dan Bella masih seringkali tenggelam dalam lamunan tentang itu, terutama saat-saat tidak ada Giovanni di sampingnya. Benar, perempuan itu tidak mau ambil resiko membuat masalah dengan suaminya yang menakutkan dengan melamun di hadapannya.Hari ini, sudah agak siang saat Bella bersiap-siap berangkat ke hotel. Ia sedang menyapukan perona pipi tipis ke wajahnya kala Giovanni membuka pintu kamar.“Untuk siapa kau berdandan seperti itu?” tegur pria rupawan itu. Kedengarannya ia tidak senang.“Berdandan apa?” Bella menoleh dengan heran. “Aku hanya sedang memakai bedak, Giovanni.”“Kau tidak boleh sengaja tampil menarik di depan orang banyak, Bella. Ataukah kau justru senang menjadi pusat perhatian?”“Astaga, aku hanya memakai bedak agar wajahku tidak terlihat seperti zombie, Gio!”“Aku tidak menerima alasan apapun. Asal kau tahu, meskipun hanya bedak murahan, itu sudah cukup membuatmu terlihat cantik.”Bella antara tersanjun
**“Kau … mengizinkan aku pergi ke hotel?”Bella masih menatap sepasang manik hitam itu. Mungkin saja Andrew akan berada di hotel juga, dan mengingat apa yang bisa Giovanni lakukan, Bella khawatir pria itu akan menembak kepala Andrew jika keduanya bertemu dalam suasana tidak kondusif seperti ini.“Sudah kukatakan, aku akan mengizinkanmu pergi ke manapun selama masih berada di bawah pengawasanku.”“Baiklah, ayo antar aku ke sana sekarang. Aku akan sekalian mengajakmu makan siang di sana. Chef hotelku adalah yang terbaik, kau tahu.”Giovanni tersenyum kecil –sesuatu yang jarang ia lakukan– saat melihat Bella berkata penuh semangat. Sepertinya Bella sudah bisa mengatasi rasa galau karena percekcokan dengan ayahnya barusan. Maka Giovanni mendekat dan mengecup pipi wanitanya...Tepat seperti apa yang Bella perkirakan, ia bertemu dengan mantan tunangannya di kantor hotel.“Bella!” sebut Andrew segera, “kau datang?”“Kau di sini untuk membereskan barang-barangmu, kurasa,” timpal Bella dat
**Giovanni menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe yang ditunjuk Bella. Pria itu lantas menoleh kepada sang istri yang bukannya segera turun, malah diam termangu di tempat.“Kau mau aku saja yang menemui ayahmu?” tawar Giovanni, yang segera dijawab oleh pelototan dari yang lebih muda.“Aku tidak mengantarmu ke sini hanya untuk duduk diam di parkiran, Bella.”Perempuan itu mendesah lelah. “Kau benar. Ayo turun dan bicara dengan Dad.”Giovanni mengangkat alis sebelum mengikuti Bella meninggalkan mobil.Keduanya berjalan ke arah sudut kafe, di mana seorang pria dengan perawakan agak tambun duduk sembari memegang iPad.“Aku datang, Dad,” sapa Bella sebelum menempatkan diri, duduk di hadapan pria itu, Matthew Clark. “Dan ini adalah Giovani Estes. Emm … suamiku.”Seperti respon yang diharapkan Bella, Matthew seketika menampakkan wajah tidak suka kepada menantu barunya. Pria itu tidak memandang Giovanni dengan terkejut, sebab mungkin saja sudah mendapatkan spoiler dari istrinya.Marita d
**Giovanni Estes sudah berusia 30 tahun saat ini, namun ini adalah pertama kalinya ia bisa merasa menjadi laki-laki yang normal. Selama ini ia hanya bisa tersiksa saat melihat perempuan dalam bentuk apapun.Pria itu mengangkat tubuh ramping Bella dan membawanya ke atas ranjang. Ia memagut bibirnya dengan lembut, merasakan gejolak hasrat yang seperti akan meledak.“Aku senang bisa menjadi pria pertamamu,” bisiknya di telinga sang istri.“Ba-bagaimana kau tahu kau adalah pria pertamaku?”Tidak menjawab, Giovanni membaringkan Bella pelan-pelan di atas ranjang dan memandang gadis itu dengan intens.Ia melepas kemejanya yang bernoda darah tadi, dan melemparkannya ke bawah ranjang. Memamerkan tubuh bagian atasnya yang terpahat sempurna. Kekar namun tidak berlebihan, dengan kulit bersih yang dihiasi goresan tatto pada seluruh lengan kiri hingga menyentuh dada.Urat-urat halus berkejaran di sepanjang v-shape dengan navel tersemat di antaranya.“Suka pemandangannya?” sindirnya, sehingga Bell
**“Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.” Giovanni menjatuhkan pandangan tajamnya kepada sang istri. “Kau bisa mengandalkan aku, Bella.”“Ya, ya.” Perempuan itu tersenyum gugup. Bohong sekali jika ia tidak takut. Sekalipun Giovanni bersikap baik, tapi aura gelap pada paras tampannya tetap tidak bisa disembunyikan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga jati diri pria itu terungkap.Kembali kepada jalanan siang hari Kota San Diego yang tidak cukup ramai. Awalnya Giovanni mengemudi dengan santai menuju ujung kota, di mana rumahnya yang seperti kastil berada. Namun sesuatu kemudian mengganggu fokusnya. Pandangan mata tajam lelaki itu sekali-sekali mengarah kepada spion. Ada sebuah mobil hitam yang berjalan dengan jarak cukup dekat di belakang.“Mobil itu mengikuti kita,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.“Mobil? Yang mana?” Bella menoleh ke belakang. Ia menyipitkan mata dan menemukan mobil mana yang dimaksud suaminya. “Tidak, Gio. Mungkin saja itu hanya mobil orang lain yang