**
“Aku? Sudah kubilang, aku Giovanni Estes.” Pria rupawan itu tersenyum. Senyumnya sungguh mempesona, sampai membuat Bella rasanya hampir mengiyakan apapun yang pria itu katakan.
“Tap-tapi, jika hanya menikah, apakah itu akan menguntungkanmu? Maksudku, apakah sebanding dengan apa yang kau terima? Jika tidak, bukankah kau akan menderita kerugian?”’ tanya Bella penasaran.
“Jika aku menawarkan demikian, tentunya aku sudah mempertimbangkan untung ruginya, Nona. Jadi sekarang bagaimana, kau menerima tawaran ini atau tidak? Aku membantumu mendapatkan kembali hakmu, dan kau menjadi istriku sampai orang tuaku meninggal.”
“Ap– hei! Tidak boleh berkata begitu! Kau menyumpahi orang tuamu sendiri untuk meninggal?”
“Jangan cerewet, Isabella! Kau bersedia atau tidak?”
“Aku– sebentar, dari mana kau tahu namaku? Seingatku aku belum memperkenalkan diri?”
“Mudah saja untukku mengetahui hal seperti itu. Tidak perlu kau pikirkan.”
Benar juga. Itu bisa Bella tanyakan lagi nanti. Sekarang yang harus ia pikirkan adalah, apakah ia harus menerima tawaran ini?
Jika Bella bisa menikah sebelum hari esok, lebih dulu dari pernikahan Tracy dan Andrew, maka ia menang. Paradise Hotel tidak jadi jatuh ke tangan ibu dan kakak tirinya.
“Giovanni?”
“Bagaimana?”
“Mungkinkah kita bisa melangsungkan pernikahan secara mendadak? Maksudku, jika aku bisa menikah lebih dulu dari Tracy, maka hak waris itu tetap aku yang pegang.”
“Kapan saudari tirimu menikah?”
“Besok pagi, sekitar pukul sepuluh.”
“Ayo kita permalukan mereka besok.”
Suara yang mendominasi dan penuh keyakinan itu membuat Bella tersentak.
Mengapa kedengaran menarik? Sekali lagi, apakah ini hanya lelucon?
Tapi, Giovanni ternyata menepati janji!
Sembari memandangi selembar akta pernikahan di tangannya, Bella kini dibuat kebingungan. Bagaimana ia dan Giovanni bisa mendaftarkan pernikahan di catatan sipil semudah itu?
Entahlah. Bella tidak tahu. Sepertinya, segalanya tampak mudah di tangan Giovanni Estes ….
“Ayo kita pulang.”
Bella terhenyak dari lamunan. Ia mengangkat wajah dan mendapati pria yang kini sudah menjadi suaminya, tersenyum di hadapannya.
“Pu-pulang ke mana?”
“Jangan pikir karena kau menganggapku gigolo semalam, aku benar-benar gigolo yang tidak punya tempat tinggal, Bella.”
“Astaga, maafkan aku tentang itu. Aku sama sekali tidak menganggapmu begitu, Giovanni.”
Pria itu terkekeh pelan. “Bercanda, Sayang. Ayo kita pulang sekarang.”
Ia menggenggam tangan Bella dan membawanya masuk ke dalam mobil. Kemudian melajukannya menyusuri sepanjang jalan utama San Diego yang padat. Pantulan matahari sore yang nyaris tenggelam membias pada permukaan air laut di tepi pantai yang menghampar sepanjang jalan.
“Bukankah ini hari yang sempurna untuk menikah?” Giovanni berkata sementara masih berkonsentrasi mengemudi mobilnya.
“Ap-apa?”
“Dan langitnya cerah. Seharusnya ini juga malam yang sempurna untuk melakukan malam pertama. Tapi sayang sekali, kita sudah mencuri waktunya semalam. ”
Bella tersedak napasnya sendiri, dan karenanya Giovanni melayangkan seringai lebar.
Mobil hitam itu memasuki sebuah rumah megah seperti kastil yang berada di pinggir kota San Diego. Agak menepi ke bukit di tepi pantai, sehingga membuatnya benar-benar terlihat bagaikan istana kerajaan.
Bella menelan saliva. Teringat kembali, semalam ia meninggalkan hanya beberapa ratus dollar untuk lelaki pemilik istana ini? Benar-benar memalukan.
Ketika mobil sudah berhenti di basement, hal tak terduga terjadi. Giovanni mendekat dan mencium bibir Bella dengan tiba-tiba. Gadis itu terkejut, namun tidak bisa menghindar.
“Ap-apa yang kau lakukan?”
“Mencium istriku.”
“Gio–”
Kata-kata Bella terputus karena suara ponsel Giovanni berdering nyaring. Pria itu mendesis kesal. Ia menjauh dari Bella dan meraih benda pipih yang tergeletak di atas dashboard.
Ia kemudian terlibat percakapan yang serius. Bella hanya bisa memandangi suaminya dengan tatapan penuh tanya sampai pria itu selesai berbicara.
“Aku akan mengantarkanmu ke kamar, Bella.”
“Apa yang terjadi?”
“Ada pekerjaan yang harus aku lakukan.”
“Malam ini juga? Haruskah?”
Giovanni diam. Ia memandang Bella dalam-dalam dengan sepasang netra hitamnya yang seperti mata serigala itu. “Kau sudah mengucap janji akan menikah denganku dan menjadi istri yang baik sampai orang tuaku mati.”
“Su-sudah kita lakukan, kan?”
“Kau tidak bisa mundur apapun yang terjadi, Bella.”
“Kenapa aku harus mundur?”
Giovanni mengambil jarak sedikit. Kali ini ia tampak lebih rileks. Ia memandang sang istri dengan seringai yang kembali tersemat di bibirnya.
“Kau akan tahu nanti. Maafkan aku, tapi malam ini kau harus tidur sendiri dulu, okay?”
Bella menelan saliva. Entah mengapa pertanyaan pria itu sarat makna?
***
**Hanya saja, semua terlupa saat kasur king size di ruangan itu membuatnya terlelap. Gadis itu jatuh tertidur lebih cepat sebab semua yang terjadi pada hari ini membuatnya sangat lelah.Terlebih, Bella panik kala mengingat rencana keduanya keesokan paginya. Apakah semuanya akan berjalan seperti yang ia harapkan?“Apakah kau gugup?” tanya Giovanni yang baru turun dari mobil. Pria itu menyadari gerak-gerik wanitanya.Wanita itu sontak mengangguk menatap lobby Paradise Hotel.“Kau bisa melakukan ini.” Tanpa basa-basi, ia meraih jemari Bella dan menarik tangan sang istri untuk memasuki hall Paradise Hotel yang saat itu didekorasi dengan mewah.Tamu-tamu berbusana indah dan mahal bertebaran di penjuru ruangan.Mereka semua seperti ikut merayakan luka hati Isabella yang berdarah-darah. Dan oleh sebab itu, rasa gugup gadis itu mendadak lenyap. Digantikan dengan api yang membara di dalam dadanya.“Mereka bersenang-senang di atas penderitaanku,” desis Bella. “Sama sekali tidak bisa dibiarkan.
**Peringatan itu membuat Andrew kembali mundur.Sekali gertak saja ia tahu bahwa Giovanni bukanlah tandingannya. Maka pria itu memilih mencari aman dan hanya bisa menggertakkan gigi dengan kesal tanpa bisa menjawab ancaman Giovanni. Setengahnya Andrew tak habis pikir, bagaimana Bella bisa mendapatkan pria ini dalam waktu satu hari saja?Perhatian khalayak kembali kepada Bella, ketika gadis itu kembali berucap dengan tenang kepada Marita.“Siapapun yang berada di sini akan bersedia menjelaskan kepadamu, Mama. Kebetulan mereka semua mendengar percakapan hangat aku dengan Tracy dan Andrew tadi. Kalau begitu aku permisi, sekali lagi selamat untuk pernikahannya.”Kemudian diapitnya lengan Giovanni seraya melangkah pergi dari sana dalam langkah anggun.Kendati demikian, lewat sudut mata, Bella masih dapat melihat Andrew menarik Tracy yang menangis ke dalam pelukannya, dan itu sangat menyakitkan.Hati Bella kembali remuk redam karenanya.Di luar hall hotel, barulah gadis itu menarik napas d
**“Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.” Giovanni menjatuhkan pandangan tajamnya kepada sang istri. “Kau bisa mengandalkan aku, Bella.”“Ya, ya.” Perempuan itu tersenyum gugup. Bohong sekali jika ia tidak takut. Sekalipun Giovanni bersikap baik, tapi aura gelap pada paras tampannya tetap tidak bisa disembunyikan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga jati diri pria itu terungkap.Kembali kepada jalanan siang hari Kota San Diego yang tidak cukup ramai. Awalnya Giovanni mengemudi dengan santai menuju ujung kota, di mana rumahnya yang seperti kastil berada. Namun sesuatu kemudian mengganggu fokusnya. Pandangan mata tajam lelaki itu sekali-sekali mengarah kepada spion. Ada sebuah mobil hitam yang berjalan dengan jarak cukup dekat di belakang.“Mobil itu mengikuti kita,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.“Mobil? Yang mana?” Bella menoleh ke belakang. Ia menyipitkan mata dan menemukan mobil mana yang dimaksud suaminya. “Tidak, Gio. Mungkin saja itu hanya mobil orang lain yang
**Giovanni Estes sudah berusia 30 tahun saat ini, namun ini adalah pertama kalinya ia bisa merasa menjadi laki-laki yang normal. Selama ini ia hanya bisa tersiksa saat melihat perempuan dalam bentuk apapun.Pria itu mengangkat tubuh ramping Bella dan membawanya ke atas ranjang. Ia memagut bibirnya dengan lembut, merasakan gejolak hasrat yang seperti akan meledak.“Aku senang bisa menjadi pria pertamamu,” bisiknya di telinga sang istri.“Ba-bagaimana kau tahu kau adalah pria pertamaku?”Tidak menjawab, Giovanni membaringkan Bella pelan-pelan di atas ranjang dan memandang gadis itu dengan intens.Ia melepas kemejanya yang bernoda darah tadi, dan melemparkannya ke bawah ranjang. Memamerkan tubuh bagian atasnya yang terpahat sempurna. Kekar namun tidak berlebihan, dengan kulit bersih yang dihiasi goresan tatto pada seluruh lengan kiri hingga menyentuh dada.Urat-urat halus berkejaran di sepanjang v-shape dengan navel tersemat di antaranya.“Suka pemandangannya?” sindirnya, sehingga Bell
**Giovanni menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe yang ditunjuk Bella. Pria itu lantas menoleh kepada sang istri yang bukannya segera turun, malah diam termangu di tempat.“Kau mau aku saja yang menemui ayahmu?” tawar Giovanni, yang segera dijawab oleh pelototan dari yang lebih muda.“Aku tidak mengantarmu ke sini hanya untuk duduk diam di parkiran, Bella.”Perempuan itu mendesah lelah. “Kau benar. Ayo turun dan bicara dengan Dad.”Giovanni mengangkat alis sebelum mengikuti Bella meninggalkan mobil.Keduanya berjalan ke arah sudut kafe, di mana seorang pria dengan perawakan agak tambun duduk sembari memegang iPad.“Aku datang, Dad,” sapa Bella sebelum menempatkan diri, duduk di hadapan pria itu, Matthew Clark. “Dan ini adalah Giovani Estes. Emm … suamiku.”Seperti respon yang diharapkan Bella, Matthew seketika menampakkan wajah tidak suka kepada menantu barunya. Pria itu tidak memandang Giovanni dengan terkejut, sebab mungkin saja sudah mendapatkan spoiler dari istrinya.Marita d
**“Kau … mengizinkan aku pergi ke hotel?”Bella masih menatap sepasang manik hitam itu. Mungkin saja Andrew akan berada di hotel juga, dan mengingat apa yang bisa Giovanni lakukan, Bella khawatir pria itu akan menembak kepala Andrew jika keduanya bertemu dalam suasana tidak kondusif seperti ini.“Sudah kukatakan, aku akan mengizinkanmu pergi ke manapun selama masih berada di bawah pengawasanku.”“Baiklah, ayo antar aku ke sana sekarang. Aku akan sekalian mengajakmu makan siang di sana. Chef hotelku adalah yang terbaik, kau tahu.”Giovanni tersenyum kecil –sesuatu yang jarang ia lakukan– saat melihat Bella berkata penuh semangat. Sepertinya Bella sudah bisa mengatasi rasa galau karena percekcokan dengan ayahnya barusan. Maka Giovanni mendekat dan mengecup pipi wanitanya...Tepat seperti apa yang Bella perkirakan, ia bertemu dengan mantan tunangannya di kantor hotel.“Bella!” sebut Andrew segera, “kau datang?”“Kau di sini untuk membereskan barang-barangmu, kurasa,” timpal Bella dat
**Beberapa hari berlalu setelah pertemuan dengan Andrew di hotel, dan Bella masih seringkali tenggelam dalam lamunan tentang itu, terutama saat-saat tidak ada Giovanni di sampingnya. Benar, perempuan itu tidak mau ambil resiko membuat masalah dengan suaminya yang menakutkan dengan melamun di hadapannya.Hari ini, sudah agak siang saat Bella bersiap-siap berangkat ke hotel. Ia sedang menyapukan perona pipi tipis ke wajahnya kala Giovanni membuka pintu kamar.“Untuk siapa kau berdandan seperti itu?” tegur pria rupawan itu. Kedengarannya ia tidak senang.“Berdandan apa?” Bella menoleh dengan heran. “Aku hanya sedang memakai bedak, Giovanni.”“Kau tidak boleh sengaja tampil menarik di depan orang banyak, Bella. Ataukah kau justru senang menjadi pusat perhatian?”“Astaga, aku hanya memakai bedak agar wajahku tidak terlihat seperti zombie, Gio!”“Aku tidak menerima alasan apapun. Asal kau tahu, meskipun hanya bedak murahan, itu sudah cukup membuatmu terlihat cantik.”Bella antara tersanjun
**Satu-satunya orang yang dikenal Bella di kediaman prestisius tempatnya tinggal sekarang selain Giovanni, adalah Felix. Orang kepercayaan yang ditunjuk Giovanni sendiri untuk mengantar sang nyonya pergi ke manapun.Seperti pagi ini, Bella pergi bekerja diantar oleh pria berusia 35 tahun itu. “Felix,” panggil Bella setelah sekian lama tenggelam dalam lamunannya sendiri. “Siapa itu Damian?”Felix melirik sejenak melalui kaca spion. “Tuan Damian, Nyonya?”“Aku sedang sarapan saat seseorang datang mengganggu. Dia mengaku bernama Damian dan menyebut dirinya sepupu Giovanni. He’s so damn annoying.”“Ah, ya.” Felix mengangguk kecil. “Memang demikian. Jadi anda sudah bertemu dengan Tuan Damian. Dia memang sepupu Tuan Giovanni dari pihak ayah.”“Benarkah? Aku tidak suka dia.”“Sebaiknya anda memang jangan menyukainya, Nyonya.” Felix mengulum senyum yang sarat makna, sementara melayangkan pandangan sekali lagi kepada istri bosnya itu melalui kaca spion.Bella ingin bertanya mengapa demikian,
**Bella terkesima. Ia tidak pernah berpikir Giovanni akan mengatainya seperti itu. Bella tahu, suaminya itu bukanlah pria lemah lembut. Namun ia juga tahu, Giovanni tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya seperti ini.“Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?” tuntut Bella, “Kau mengataiku jalang?”“Lalu apa namanya perempuan yang bergaul dengan banyak laki-laki, sementara dia sudah memiliki ikatan?”“Gio, aku hanya berbincang dengan Damian! Semua yang memiliki mata bisa melihat itu! Dan Luigi? Aku bahkan baru melihat bagaimana rupanya sesaat sebelum kau datang. Sejak tiba di rumahnya, aku terkunci di dalam kamar!”“Tapi kau bersamanya. Kau berada sedekat itu dengannya. Apa namanya itu jika bukan jalang murahan?”“For a God shake, Giovanni!” Bella menghentakkan kaki dengan frustasi. Ia memandang pria di hadapannya itu dengan wajah yang sudah merah padam karena frustasi. Sementara satu yang lain masih tetap pada posisi semula, dengan batangan nikotin di sela-sela
**Bella mengernyit sementara tangan Giovanni terus menjelajahi tubuhnya yang polos. Setelah sekian lama keduanya bersama, dan sekian banyak malam yang Bella habiskan bersama pria ini, baru kali ini ia memiliki perasaan tidak nyaman seperti sekarang ini.Giovanni tidak memiliki rasa apapun kepadanya, kan?Ia melakukan ini hanya sebatas memenuhi hasrat.Bagaimana Bella bisa menikmati adegan percintaan ini jika ia dan Giovanni tidak memiliki rasa apapun?Oh, ayolah. Mengapa baru terpikirkan hal seperti itu sekarang?“Ada apa denganmu?” Giovanni menghentikan aktivitasnya kala ia pikir Bella sangat pasif hari ini. Pria itu terlihat tidak senang.“Ap— apa maksudmu ada apa denganku?”“Kau tidak menginginkannya?”“Giovanni—”“Kau tidak menyukainya?”Bella menggeleng dengan panik. “Tidak! Tidak, bukan seperti itu—”“Ya, kau seperti itu. Kau tidak seperti biasanya.” Giovanni menarik tubuhnya menjauh. Ia memandangi Bella dengan kedua alis terpaut.“Giovanni, sungguh. Kau salah.”“Apa saja yang
**Pemandangan apa itu?Bella ternganga di tempat. Sepasang bola matanya terbeliak lebar. Tidak ingin melihat apa yang terjadi, namun ia tidak bisa berkedip.Genangan berwarna merah pekat itu segera saja melebar di bawah kepala anak buah Luigi yang terkapar tanpa nyawa di atas lantai pualam.“Kau membunuhnya,” komentar sang tuan besar ringan. “Dia salah satu bawahan favoritku. Sayang sekali.”“Aku tidak segan melakukan hal yang sama kepadamu jika kau berani menyentuh milikku,” balas Giovanni tajam. Pria itu mengulurkan tangan kepada Bella, yang segera diterima dengan hati sangat lega.“Aku tahu kau akan datang,” desah Bella lirih. “Walau mustahil, aku percaya kau akan datang, Giovanni.”“Mengapa mustahil? Aku memang harus datang, kan?”Senyum gugup terbit pada bibir Bella. Perempuan itu menggamit lengan suaminya, bertumpu di sana sebab ia rasa lututnya lemas sekali.“Giovanni, ayo kita pulang. Aku rasanya mau pingsan.”Segera saja kerutan menghiasi kening halus sang tuan muda. Ia tam
**Pria rupawan itu terkesiap. Tubuhnya menegang waspada setelah suara tembakan lenyap. Ia memindai seluruh penjuru ruangan dengan mata serigalanya yang berkilat tajam.“Jika sesuatu terjadi dengan Bella, aku bersumpah akan menjadikan kepalamu pajangan meja!” ancamnya dingin kepada Luigi, yang hanya dibalas dengan kekehan mengejek dari yang bersangkutan.Giovanni tidak punya waktu untuk meladeni kegilaan ayahnya. Ia kembali mengayun langkah melintasi koridor hening, kali ini menuju tangga yang mengarah ke lantai tiga.“Bella!” panggilnya lagi. “Bella, kau dengar aku? Di mana kau, Bella?”Seperti halnya lantai satu dan dua, lantai tiga mansion mewah itu juga hening. Ada beberapa pintu kamar yang mengitari ruangan lebar dengan seperangkat sofa di tengah-tengahnya. Giovanni yakin, istrinya ada di balik salah satu pintu-pintu kamar itu.“Sial! Kenapa rumah ini besar sekali?” Diiringi umpatan keras, Giovanni mulai melangkah menuju pintu-pintu tertutup itu.Tanpa sama sekali rasa segan, ia
**Mata gelap Giovanni berkilat penuh kemarahan saat Luigi Estes bangkit dari sofa dan mengayun langkah ke arahnya. Pria separuh baya itu tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tangan.“Aa … My Son!”“Katakan di mana istriku?”“Tidak mau memeluk ayahmu dulu, Nak? Sudah berbulan-bulan kita tidak berjumpa walau berada di kota yang sama. Kau menghindariku, eh?”“Aku tidak butuh basa-basimu! Katakan di mana istriku!” Giovanni mengepalkan kedua tangan. Kemarahan berkobar tampak jelas pada kedua manik hitamnya, meskipun kata-kata yang ia ucapkan tidak cukup keras dan lebih kepada geraman dingin.“Ah, baiklah, baiklah.” Luigi bertingkah seakan mengalah. Pria itu mengangkat bahu, tidak jadi memeluk putranya yang sedang murka.“Aku hanya ingin melihatnya. Dia aman-aman saja sekarang. Siapa namanya? Annabella?”Giovanni mendesis. Kesabarannya nyaris lindap menghadapi pria yang sama sekali tidak sudi ia menyebutnya ayah itu.Benar. Bagi Giovanni, ayahnya sudah lama mati. Bersamaan dengan saat
**“Di mana ini?”Ketika Bella membuka mata, ia berada dalam keadaan separuh kebingungan.Perempuan itu bangun dengan agak panik dari atas ranjang yang asing. Ia diam sejenak dan mencoba memutar kembali ingatannya.“Felix!” serunya segera. “Ya Tuhan, Felix pasti bingung mencari keberadaanku. Aku meninggalkannya di restoran. Astaga, sebenarnya ada di mana aku sekarang?”Bella bangun dan mondar-mandir di dalam kamar yang luas dan bagus itu. Ia beberapa kali mencoba membuka pintu, namun sialnya terkunci dari luar. Tidak ia temukan pula ponsel di saku bajunya. “Apa ini? Siapa yang melakukan ini?” desahnya cemas. Bella layangkan pandang ke sekeliling ruangan guna mencari jalan keluar. Selain pintu di hadapannya, di sisi lain ruangan ada dua buah jendela besar yang terbuka. Langit senja bersepuh jingga tampak jelas menghampar di baliknya. Hanya saja, dua buah jendela itu ditutup oleh teralis besi yang kokoh. Tidak ada celah untuk melarikan diri lewat jendela tersebut.“Seseorang menculikku
**Felix membungkuk untuk melihat lebih jelas benda berkilau di atas keset toilet itu. Ia memungutnya, dan seketika hatinya terasa mencelos keluar.Itu adalah salah satu anting berlian yang tadinya dipakai oleh sang nyonya.Pria Amerika itu menegakkan tubuh. Pandangan tajamnya kosong mengarah kepada pintu kamar mandi yang terbuka, sementara ia menggenggam anting milik Bella.“Sial!” makinya, seraya berbalik dan mengayun langkah secepat mungkin menuju meja resepsionis di bagian depan restoran.“Tunjukkan padaku rekaman kamera pengawas lorong toiletmu sepuluh menit yang lalu,” bisiknya tajam kepada resepsionis yang berjaga.Gadis muda di sana mengerutkan alis. “Maaf, Sir. Tapi anda memerlukan izin khusus untuk itu. Saya perlu tahu anda siapa.”Bukannya menjawab, Felix justru mempersempit jarak dengan si gadis. Lalu dengan gerakan yang sama sekali tidak kentara dan hanya bisa dilihat oleh gadis itu saja, ia membuka jasnya. Menunjukkan sebuah senjata api jenis Desert Eagle yang mengkilap
**Felix mengerutkan alis sementara memandang si tuan muda membawa pergi Porsche-nya. Ia juga tidak menyukai Damian, sesungguhnya. Sepupu muda Giovanni itu seringkali bersikap arogan dan merasa dirinya tuan besar.“Tapi aku tidak bisa mengabaikan kata-katanya tentang Nyonya. Jika terjadi sesuatu dengan Nyonya, Tuan Giovanni bisa menggantungku di pintu gerbang mansion.” Seraya mengayun langkah menuju kantor hotel yang sudah dikenalnya dengan baik, pria itu bergumam sendirian.“Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya Felix sesampainya. Kebetulan sekali pintu ruangan Bella terbuka saat itu, sehingga Felix tidak perlu mengetuk.“Hm?” yang lebih muda mengangkat wajah dari balik layar laptop. “Ada apa? Kenapa memangnya?”“Saudari anda? Dia ada di sini?”“Kalau maksudmu Tracy, para pegawai hotel mengatakan bahwa dia sudah pulang setelah mengawal Damian tadi. Mengapa kau menanyakan Tracy?”“Tidak, Nyonya. Saya hanya khawatir kepada anda.”“Astaga, Felix. Kupikir kenapa.” Bella mengangkat
**“Jangan ganggu aku, Damian! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!”Bella habis sabar. Ia menunjuk pria di hadapannya dengan terang-terangan. Sama sekali tidak peduli dengan status pria tersebut, yang seharusnya masih patut dihormati karena ia adalah saudara Giovanni.“Kau tidak mau memperkenalkan aku dengan keluargamu, Bella? Wah, padahal aku sudah menganggapmu keluarga sendiri. Bukankah itu agak kejam?”“Pergi dari sini, sial!”“Kenapa denganmu ini? Dia bahkan tak melakukan apapun! Apakah kau tidak bisa sopan sedikit kepada orang lain?”Bella terkesima mendengar kata-kata dengan nada jelas sekali dibuat-buat itu. Ia ternganga ketika menyaksikan Tracy merangsek maju dan mengulurkan tangan dengan malu-malu kepada Damian Estes.“Hai, aku Tracy. Aku kakak Bella,” katanya.“Kakak tiri,” ralat Bella malas. “Dan sudah aku anggap tidak ada hubungan apa-apa lagi sejak dia mengkhianatiku.”Damian mengerutkan alis mendengar kata-kata terakhir Bella. Ia hampir menanyakan apa maksudnya, sebelum