Sandi terdiam kaku sejak tadi, sejak mereka keluar dari kediaman Lahendra dan tiba di vila ini. Vila yang cukup besar untuk ditinggali oleh mereka berdua.
"Kupikir Saga Atlanta akan mengasingkan kita di tempat yang sangat terpencil atau mungkin membuang kita ke jalanan."
Tapi, mereka malah dibawa ke vila yang lebih dari kata layak untuk ditinggali, bahkan tidak terpencil sama sekali.
"Jangan sebut namanya lagi, Fras." Sandi terlihat sangat murka dari urat-urat lehernya yang menegang dan gertakan giginya.
Ini bahkan sudah hampir pagi dan mereka masih duduk tegang di sofa. Fras menarik napas, mencoba menerima keadaan yang sulit ini, tapi hatinya tetap gelisah memikirkan keadaan ibu dan kedua saudaranya.
Apakah Saga akan mencari dan membunuh mereka?
Sebelum ditinggalkan berdua bersama sang ayah di tempat ini, ia menahan salah seorang pengawal yang memimpin kelompok yang ditugaskan untuk membawa mereka.
"Apa yang akan dilakukan Saga kepad
Maria keluar dari ruang bawah tanah, sama sekali tak terpengaruh pada luka di kakinya. Dengan dingin diambilnya sapu tangan dari dalam tas mahalnya lalu mengusap darah yang menetes ke sepatunya.Ia mengikat sapu tangan tersebut di betisnya untuk menutupi luka itu, lalu berjalan anggun melewati lorong-lorong kediaman Atlanta. Tak ada rasa puas di hatinya, pun rasa senang. Segalanya hampa. Malah rasa sesak yang muncul ketika kilas balik masa lalu tahu-tahu memberondong memorinya.Apa ini balas dendam yang ia perjuangkan?Ia menghela napas. Yahh ... setidaknya mereka sudah punah. Pendosa memang harus diadili.Maria tak ingin waktunya terbuang untuk bernostalgia. Langkahnya ia percepat hingga tiba di ruang tengah. Ia ingin buru-buru keluar dari rumah ini, karena hawanya lumayan panas."Ibu?"Maria berhenti, menoleh untuk mendapati Juni yang berdiri di tengah tangga. Ia mengernyit ketika Juni menuruni tangga sedikit lebih cepat.
Leticia mengais udara dengan rakus, dengan harapan dadanya yang kesakitan dan seluruh organ tubuhnya yang terbakar bisa sedikit mereka. Rasanya seperti di neraka.Dia bahkan tidak sekali pun diberi makan dan minum. Tenggorokannya sangat sakit dan suaranya sudah serak bahkan hampir hilang.Dia tidak tahu ini sudah hari keberapa sejak dia berada di tempat busuk ini. Setiap saat dia hanya melihat puluhan pengawal yang mengerumuninya seperti semut dan Samuel yang sekarat.Tak ada siksaan yang lebih menyakitkan daripada ini. Diinjak-injak dan diludahi oleh 'pelanggannya' dulu bahkan tidak semenyakitkan ini.Dirinya hanya diberi jeda sekian menit sebelum pengawal-pengawal itu kembali menggagahinya dengan brutal. Leticia kewalahan dan hampir mati.Sekarang ruangan itu kosong. Pengawal-pengawal sialan itu pasti pergi untuk melaksanakan tugas atau membersihkan diri sebelum kembali menggagahinya.SIALAN!!ATLANTA BERENGSEK!!
"Samuel Lahendra sudah mati," lapor Edward kepada Saga yang sedang memangku kepala Juni di sofa ruang tengah."Bagus," komentarnya dingin sambil mengusap rambut Juni.Saga tak mengucapkan apa pun lagi, kebungkamannya sudah jelas memberikan perintah kepada Edward untuk mengurus mayat Samuel, seperti yang biasa Edward lakukan.Pun lirikan mata Saga sangat jelas menyuruh Edward menyingkir karena dia butuh waktu berdua dengan Juni. Edward melakukannya tanpa harus mendengar langsung dari mulut Saga. Puluhan tahun Edward melayani pria itu dan dia sudah sangat hafal dengan arti-arti dari ekspresi, tatapan mata dan gestur tubuh Saga.Setelah Edward menghilang dari pandangannya, Saga menunduk untuk melihat Juni yang tengah tertidur di atas pahanya. Beberapa jam yang lalu, mereka menonton film dan tak lama kemudian Juni tertidur.Semenjak hamil, Juni sangat mudah mengantuk. Dia bahkan berjuang menahan kantuk saat makan malam. Saga tersenyum mengingat kepala
Semua orang melemparkan tatap penasaran sekaligus kaget ketika mereka menginjakkan kaki di lobi perusahaan Saga. Banyak bisikan yang terdengar samar di telinga Juni. Mungkin mereka kaget karena Saga datang terlambat dan bersama wanita dalam dekapannya. Juni merasa tidak enak mendapat tatapan menilai yang ditujukan untuknya. "Kenapa gemetar, Sayang? Aku ada di sini," bisik Saga, dan malah mempererat dekapannya pada pinggang Juni. Sejak tadi Saga tak membiarkan Juni lepas dari dekapannya. Pinggang Juni diamitnya bahkan sejak mereka keluar dari kediaman Atlanta. Puluhan pengawal berjalan di belakang mereka. Sudah pasti kedatangan mereka terlalu mencolok untuk diabaikan. "Abaikan mereka. Fokus saja padaku," kata Saga menenangkan Juni, tapi dengan nada yang angkuh. Mereka menaiki lift tanpa satu pun pengawal. Beberapa pengawal berjaga di depan lift dan pengawal lain naik ke lift sebelah untuk menyusul mereka. Sampa
Maria mengambil semua barangnya dari rumah Lahendra. Dikemasnya seluruh benda-benda yang dia beli dengan uangnya sendiri. Mengabaikan semua pelayan yang berkerumun penasaran. Menanyakan apa yang terjadi kepada keluarga yang mereka layani."Tunggu saja, Sirana. Keluarga Lahendra bukan lagi majikan kalian. Akan ada keputusan dari atasan baru apakah kalian akan tetap berada di sini atau diberhentikan," ucapnya kepada kepala pelayan yang menanyakan nasib mereka."Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya Besar? Mengapa keluarga Lahendra yang terhormat sampai seperti ini?"Maria menatap Sirana datar. "Banyak hal yang terjadi. Kalian hanya perlu berkerja seperti biasa sebelum keputusan datang.""Tapi ... Nyonya." Kepala Sirana tertunduk ragu. "Apa keluarga Lahendra benar-benar sudah berakhir?"Maria terdiam cukup lama, aura dinginnya membuat para pelayan yang berdiri di belakang Sirana menunduk takut."Maafkan atas pertanyaan lancang saya, N
"Saya akan menemani Anda memeriksakan kandungan."Juni terkesiap dan hampir memekik ketika Lenna tiba-tiba berbicara di belakangnya. "Kau mengagetkanku." Napas Juni terengah-engah. Ia menyentuh dadanya yang kembang kempis. Ia sedang menyiapkan keperluannya di depan lemari dan tahu-tahu Lenna sudah ada di belakangnya. Ia bahkan tak mendengar langkah kaki Lenna memasuki kamar."Maafkan saya." Lenna menunduk sopan."Tidak apa, lain kali tolong jangan berbicara tiba-tiba begitu. Aku mudah kaget.""Baik. Saya akan membantu Anda menyiapkan keperluan."Juni menggeleng pasti sambil memasukkan selendang tipis ke dalam tasnya. Barangkali nanti dia membutuhkannya. "Tidak perlu. Keperluanku tidak banyak.""Kalau begitu saya akan menunggu Anda di luar."Juni menarik napas, membuat Lenna menghentikan gerakannya yang ingin memutar tubuh."Tidak usah menemaniku, Lenna. Aku akan pergi sendiri. Sudah tiga kali aku pergi sendiri, tidak masa
Satu tetes air jatuh dari sudut mata Juni di tengah kebekuan tubuhnya. Seluruh pakaiannya raib tak bersisa.Dengan kasar Saga mendaratkan tangannya di sekujur tubuh Juni, tak mengacuhkan rintihan kesakitan Juni saat ia meremas buah dada wanita itu dengan keras."Kubilang buka kakimu."Juni merapatkan kakinya alih-alih menuruti perintah mutlak Saga. Ia gigit bibirnya untuk menahan lebih banyak air mata yang menderas keluar."Buka. BUKA!!"Juni tersentak. Menahan gelombang ketakutan yang menyerangnya."Bukankah kau berpikir aku hanya menganggapmu sebagai perempuan yang enak untuk ditiduri? Jika kau mengeraskan tubuh seperti ini, maka kau tidak akan terasa enak lagi."Tubuh Juni gemetar. Rasa terhina itu menghantam dadanya telak.Saga tak menghiraukan, ia melancarkan serangan pada buah dada Juni, melumat dengan bibirnya lalu sebelah tangannya meremas lebih keras."Ah ...." Juni merintih kesakitan. Perutnya
Sial!Juni pingsan.Saga segera mengangkat tubuh Juni dan membaringkannya ke atas ranjang, lalu memandang wajah yang teramat pucat itu.Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Sekali lagi, dia bertindak gegabah. Sekali lagi, dia hanya melampiaskan amarah dan tak memikirkan apa-apa.Diliriknya perut Juni. Apakah baik-baik saja?Dengan cepat Saga keluar kamar untuk memanggil Lenna, lalu kembali dan memindahkan Juni ke kamar mereka. Lenna datang sesaat setelah Saga membaringkan tubuh Juni di atas tempat tidur mereka."Dia pingsan. Periksa apakah dirinya dan kandungannya baik-baik saja.""Baik, Tuan. Perlukah saya memanggil dokter Elliot?"Saga menghela napas. "Tidak perlu."Saga mengamati Lenna yang memeriksa perut Juni dan denyut nadinya."Saya rasa Nyonya sedang kelelahan dan tertekan."Lenna tidak punya pengalaman di bidang kedokteran, tapi dia tahu kondisi saat kehamilan se
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari