Satu tetes air jatuh dari sudut mata Juni di tengah kebekuan tubuhnya. Seluruh pakaiannya raib tak bersisa.
Dengan kasar Saga mendaratkan tangannya di sekujur tubuh Juni, tak mengacuhkan rintihan kesakitan Juni saat ia meremas buah dada wanita itu dengan keras.
"Kubilang buka kakimu."
Juni merapatkan kakinya alih-alih menuruti perintah mutlak Saga. Ia gigit bibirnya untuk menahan lebih banyak air mata yang menderas keluar.
"Buka. BUKA!!"
Juni tersentak. Menahan gelombang ketakutan yang menyerangnya.
"Bukankah kau berpikir aku hanya menganggapmu sebagai perempuan yang enak untuk ditiduri? Jika kau mengeraskan tubuh seperti ini, maka kau tidak akan terasa enak lagi."
Tubuh Juni gemetar. Rasa terhina itu menghantam dadanya telak.
Saga tak menghiraukan, ia melancarkan serangan pada buah dada Juni, melumat dengan bibirnya lalu sebelah tangannya meremas lebih keras.
"Ah ...." Juni merintih kesakitan. Perutnya
Sial!Juni pingsan.Saga segera mengangkat tubuh Juni dan membaringkannya ke atas ranjang, lalu memandang wajah yang teramat pucat itu.Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Sekali lagi, dia bertindak gegabah. Sekali lagi, dia hanya melampiaskan amarah dan tak memikirkan apa-apa.Diliriknya perut Juni. Apakah baik-baik saja?Dengan cepat Saga keluar kamar untuk memanggil Lenna, lalu kembali dan memindahkan Juni ke kamar mereka. Lenna datang sesaat setelah Saga membaringkan tubuh Juni di atas tempat tidur mereka."Dia pingsan. Periksa apakah dirinya dan kandungannya baik-baik saja.""Baik, Tuan. Perlukah saya memanggil dokter Elliot?"Saga menghela napas. "Tidak perlu."Saga mengamati Lenna yang memeriksa perut Juni dan denyut nadinya."Saya rasa Nyonya sedang kelelahan dan tertekan."Lenna tidak punya pengalaman di bidang kedokteran, tapi dia tahu kondisi saat kehamilan se
Tanaka Benjiro menunduk gelisah di meja kerjanya. Berbagai laporan masuk ke telinganya. Data perusahaan yang bocor, investor yang berlarian dan perusahaan lain yang menolak kerja sama, bahkan para koleganya yang menarik kontrak kerja sama.Perusahaannya di ujung tanduk. Baru saja dia mendapatkan pesan peringatan dari Atlanta. Isinya singkat, padat, tapi mampu membuat Tanaka gemetar.'Lepaskan Estigo.' begitu katanya.Tanaka mengembuskan napas keras-keras. Tampaknya masalah ini belum selesai. Atlanta baru saja memulai perang dengannya, lebih tepatnya dengan Rafael. Sepertinya keputusannya mengizinkan Rafael pulang sangatlah salah.Padahal Rafael sudah tak lagi berurusan dengan mantan istrinya. Apalagi yang Atlanta inginkan?Sepertinya Tanaka harus menyelesaikan masalah ini dengn cara berhadapan langsung dengan Saga Atlanta.***Usia kandungan Juni sudah memasuki bulan ke-5. Selama itu pula, Saga berusaha memperhatikan wanita itu. Namun
Juni sedikit terperanjat saat mendengar suara benda terjatuh yang cukup keras. Itu bukan Saga 'kan?Sesaat kemudian sebuah tangan meraihnya. "Hey. Jangan bergerak dulu."Juni menghela napas lega. Ia sangat takut jika dirinya terpeleset dan terjatuh. Untunglah Saga sudah memeluknya erat."Kenapa lampunya bisa mati?" tanya Juni. Suaranya sedikit bergetar."Entahlah. Pengawal pasti akan memeriksanya. Kemari." Saga menarik tangan Juni dan membawanya entah ke mana, lalu tahu-tahu mengangkat tubuh Juni dengan enteng kemudian mendudukkannya di atas meja.Saga melakukannya dengan sangat mudah. Padahal Juni sedang hamil besar, apalagi dalam keadaan gelap gulita seperti ini. Seberapa besar kekuatan lelaki itu?"Diam di sini. Sebentar lagi pengawal akan memperbaikinya." Saga memeluk Juni yang sedang duduk di meja makan, berdiri memposisikan diri di antara paha Juni. Membungkus tubuh Juni dengan tubuhnya yang hangat."Saga?" panggil J
Rafael akhirnya tiba di bandara. Setelah diskusi panjang dengan Tuan Tanaka dan perdebatan yang cukup keras dengan Nazura, akhirnya dia sampai ke negara ini. Nazura pasti sedang merajuk saat ini. Meskipun Rafael tak mengatakan yang sebenarnya—bahwa dia akan meninggalkan gadis itu untuk waktu yang lama atau mungkin untuk selamanya."Kakak ingin ke luar negeri? Aku harus ikut!" rengek Nazura dalam bahasa Jepang saat Rafael bilang ingin melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. Dia tidak mengatakan jika dirinya akan pulang ke negaranya."Ini tentang pekerjaan, Nazu. Kau tak bisa ikut, aku akan pulang setelah menyelesaikannya." Rafael tahu dirinya adalah laki-laki yang sangat jahat, memberikan harapan dan janji yang tidak bisa dia tepati."Aku 'kan sudah bilang, Kakak tidak boleh pergi jauh dariku. Setelah—" Nazura menunduk secara tiba-tiba, tatapannya menerawang dan setitik luka besar di hatinya kembali menganga."Ada apa, Nazu?" tanya Raf
Juni termenung di dalam mobil bersama Lenna di sampingnya. Matanya menerawang pada pertemuan beberapa menit yang lalu dengan Rafael.Diliriknya Lenna. Apakah Lenna akan melaporkan perihal tadi kepada Saga? Ada banyak saksi mata. Juni tak bisa menghindarinya. Ia mengembuskan napas cukup keras sampai Lenna bertanya, "Ada yang sakit?""Tidak. Aku hanya memikirkan soal tadi.""Anda tidak perlu memikirkannya sejauh itu. Tak ada satu pun yang akan melaporkannya kepada Tuan Besar.Kening Juni mengerut. Ia menolehkan kepala sepenuhnya kepada Lenna. "Kenapa begitu? Kalau kalian tidak memberitahu Saga, kalian bisa dihukum olehnya. Hukuman Saga tidak seringan itu, Lenna."Raut wajah Lenna tetap datar. "Saya tahu. Tapi, rasanya tak pantas jika Tuan Besar melampiaskan amarahnya kepada Anda yang sedang hamil besar. Sangat berisiko."Ternyata Lenna juga memikirkan itu. Haruskah Juni merasa lega sekarang? Atau mungkin perkataan Rafael-lah
Saga benar-benar menepati perkataannya. Ia mengurung Juni di dalam kamar selama dua hari. Besok adalah hari di mana lelaki itu berjanji akan membunuh Rafael.Saga bahkan tidak masuk sama sekali ke kamar ini. Membiarkan Juni sendirian dan sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Hanya beberapa pelayan yang datang membawakan makanan lalu pergi begitu saja, tak menoleh meskipun Juni memanggil mereka.Juni harus apa? Dia tidak bisa membiarkan Rafael dibunuh, terlebih di tangan Saga.Lenna sama sekali tidak muncul selama dua hari ini. Saga memang berniat mengurungnya sampai dia berhasil membunuh Rafael.Dada Juni berdebar di luar batas. Dia harus mencari cara untuk keluar dari sini. Bahkan tak ada alat untuknya bisa menghubungi Rafael."Kumohon pergilah, jangan menungguku. Pergi dengan cepat," gumamnya sambil memandang taman dan kolam renang dari balik jendela besar yang sudah dipasangi terali. Sudah pasti untuk mencegah Juni ka
"Pelurunya meleset. Kita salah sasaran." Seseorang yang memegang senapan jarak jauh itu membeku. "Pelurunya mengenai Tuan Besar." "APA? APA MAKSUDMU?" "Sepertinya Tuan melindungi seorang perempuan yang sedang bersama target kita." Si penembak gelisah. Dalam matanya ada ketakutan dan kekhawatiran. Seorang pengawal yang tampaknya menjadi pemimpin meninju udara. "Sialan! Cepat bereskan semua ini! Jangan sampai ada yang mencium jejak-jejak kita. Bersiaplah. Kita akan ikut mengawal Tuan Besar ke rumah sakit." *** "Kumohon ... kumohon selamatkan dia, Tuhan ...." Juni menengadah menatap langit-langit rumah sakit, berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan sambil berurai air mata. Dia menunggu sebuah nyawa yang tengah diselamatkan di dalam sana. Kondisi Saga sangat kritis dan perlu dioperasi untuk mengangkat serpihan peluru yang dikhawatirkan masih tersisa dan akan merusak organ dan jaringan tubuhnya. Dia terkena tembakan di bagi
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari