"Dugaan kuat kami, Nona Jeni dikurung berhari-hari tanpa makanan dan minuman. Dan juga Nona dipaksa untuk melakukan hubungan badan berkali-kali."
Sandi menggertakkan gigi ketika pengawal kepercayaannya mengakhiri laporan. Darahnya mendidih diikuti dengan kepalan tangan di kedua sisi tubuhnya.
"Cari tahu siapa pelakunya," tekannya. Hampir-hampir melumat dinding di belakangnya dengan kepalan tinjunya.
"Baik, Tuan."
"Aku ingin tahu secepatnya. Aku ingin orang itu dimusnahkan!"
Sang pengawal mengangguk paham sebelum memohon pamit. Membiarkan Sandi berkutat dengan emosinya.
***
Jeni tersadar empat hari kemudian. Tatapannya kosong seolah jiwanya telah melayang ke tempat lain. Ia hanya memandang lurus sekian lama tanpa bergerak sedikit pun.
Leticia yang telah membantunya bersandar pada kepala ranjang semakin gelisah. Napasnya yang gelisah belum jua surut bahkan ketika dokter sudah memeriksa Jeni.
"Jeni. Apa yang terjadi?
Saga ingin pulang setelah meninggalkan rumah sakit, tapi pekerjannya masih banyak. Padahal sudah hampir sore. Ada baiknya jika dia pulang lebih awal."Rafael Estigo sudah meninggalkan negara ini. Ia dan tunangannya sudah kembali ke Jepang." Edward yang duduk di kursi depan samping kemudi menyahut, memberikan laporan yang tak diminta oleh Saga, tapi ia tahu Saga pasti menginginkan segala kabar tentang Rafael Estigo.Sejak dulu Saga selalu memberikan tugas apa pun kepada Edward. Ia sangat mempercayai kepala pengawal yang sudah ia anggap sebagai asisten pribadinya. Ke mana pun Saga pergi, ia selalu menginginkan Edward di sampingnya. Mungkin ia tak terlalu percaya untuk merekrut asisten pribadi yang lain.Alih-alih senang, Saga malah menguarkan tatapan tak suka. "Kenapa ia kembali? Aku belum memberinya pelajaran.""Tanaka Benjiro memaksanya pergi.""Ah, Tanaka." Saga menyandarkan kepala ke kursi sambil menghela napas bosan. "Tempatkan mata-mata di peru
Tengah malam, di ruangan yang terang meskipun orang-orang sudah tertidur. Leticia duduk menunggu Jeni yang terus memandang lurus, kosong dan seperti zombie. Wajahnya kurus dan badannya tak bertenaga.Jeni akan menjerit jika lampu dipadamkan. Tapi, ia tetap tak tidur. Ia hanya duduk bersandar sambil menatap dinding."Jeni, bicaralah. Jangan begini terus. Kau tahu bagaimana takutnya aku jika Atlanta tahu tentangku juga? Keluarga kita akan dihancurkan. Dia 'kan yang membuatmu begini?"Jeni bergeming.Leticia menghela napas berulang kali. "Apa yang dia lakukan padamu? Apa maksudnya dengan kekerasan seksual? Dia memperkosamu?!"Jeni mendengarnya. Pertanyaan-pertanyaan bernada putus asa yang tak hentinya dilemparkan Leticia sejak tadi.Jeni kehilangan orientasi. Kehilangan arah dan juga kehilangan dirinya.Dia tak pernah berniat melukai ataupun membunuh Juni. Ia hanya ingin mewujudkan impian ibunya tanpa perlu menjad
Pagi Ini Juni muntah-muntah lagi, dan Saga selalu berada di belakangnya. Memeluk perutnya sembari mengelus punggungnya. Menunggu Juni yang sedang menunduk di atas wastafel."Sudah?" tanya Saga saat Juni sudah membersihkan wajah dan mengatur napasnya.Juni mengangguk dengan mimik yang teramat lemas."Kemari."Tanpa Juni duga-duga, Saga menggendongnya di depan tubuh seperti menggendong balita kemudian membawanya keluar kamar mandi."Ka-kau tidak perlu melakukan itu.""Kau pasti pusing."Juni melipat bibir, kedua pipinya mulai merona panas. Dia memang merasa sangat pusing ketika morning sickness itu datang, seolah bumi berguncang sangat hebat."Perutmu sakit?"Juni mengangguk pelan, lalu menjawab, "iya," ketika ia sadar Saga tak bisa melihat anggukannya.Saga menurunkan Juni di tepi ranjang lalu berlutut di bawah kaki wanita itu. Juni sampai tertegun dibuatnya."Mana yang sakit?"
"Tuan, Nyonya Maria Lahendra ingin bertemu dengan Anda.""Suruh dia masuk."Maria masuk ke ruangan Saga. Seperti biasa, angkuh, percaya diri dan tak terpengaruh dengan aura mendominasi Saga."Silakan duduk, Nyonya Lahendra."Alih-alih duduk di sofa dalam suasana yang santai, Maria malah bergerak ke kursi di seberang meja Saga. Wajahnya terlihat sangat serius dari biasanya.Saga tidak bertanya, ia hanya menunggu sampai Maria mengutarakan maksud kedatangannya."Saya ingin Anda menghancurkan Lahendra secepatnya."Saga menyandarkan punggung ke kursi kebesarannya. "Ah, kau sangat bernafsu ternyata. Tidakkah kau terlalu terburu-buru, Ibu Mertua?""Saya sudah menunggu selama puluhan tahun. Itu bukan terburu-buru namanya. Saya ingin melihat mereka kehilangan segalanya dalam waktu bersamaan."Saga mengetukkan jari-jarinya ke atas meja sambil merenung, sedang Maria menatapnya heran."Saya tidak mengerti kenapa Anda membebas
Saga buru-buru pulang ke kediamannya sendirian, bahkan tak menunggu Edward dan membiarkan sang kepala pengawal naik ke mobil lain.Sesampainya di rumah, ia segera mencari Juni. Menanyakannya pada Lenna yang baru saja ingin menaiki tangga."Di mana Juni?""Nyonya di kamarnya, Tuan. Beliau menolak makan siang."Kening Saga mengerut. "Menolak? Kenapa?""Sepertinya beliau sedikit kesal karena Anda tidak memperbolehkannya ke kantor Anda."Saga mendengus kasar. "Dia marah hanya karena itu? Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa lagi dengannya.""Wanita hamil sangat sensitif. Emosinya bisa berubah-ubah, mood-nya naik turun. Jadi kita harus menghadapinya dengan sabar.""Seperti apa?"Selama satu minggu ini, Juni terlihat anteng dan menuruti semua perkataan Saga. Baru kali ini wanita itu merajuk."Anda harus membujuknya dengan lembut, berbicara dengan hati-hati dan mengusap perutnya. Itu bisa membuatnya sedikit relaks
"Aku tidak tertarik makan siang yang itu." Tatapan Saga menyelimuti wajah Juni. "Aku ingin yang ini."Juni mengernyit. Kendati seluruh wajah dan lehernya sudah memerah, pun dadanya yang berdetak cepat sampai terasa sakit, ia tetap mencoba untuk tenang. Berusaha tak memperlihatkan kegugupan dan desahan yang mencoba keluar dari mulutnya.Saga menyapukan bibirnya yang panas di leher Juni, menikmati bagaimana leher yang kemerahan itu bertambah panas seiring dengan kecupannya yang bertambah intens. Sesekali lidah lelaki itu akan menjilat di sana.Juni membungkam mulutnya dengan telapak tangan, tak ingin suara rintihan maupun desahannya terdengar sampai keluar, sebab di balik pintu ada ketukan samar dan suara pelayan yang mengalun sopan."Nyonya, kami membawakan makan siang."Sialnya, Saga tak membiarkan Juni bungkam terlalu lama. Lelaki itu mencium punggung tangan Juni dengan mesra, bahkan menyapunya dengan lidah sampai Juni melepaskan bekap
Maria baru saja memasuki rumah ketika Leticia menghadangnya sambil memasang eskpresi marah dan terluka."Pergi dari rumah ini."Maria mengerutkan kening. Drama apa lagi ini?"Kau tidak punya hak memasuki rumah ini lagi!"Maria memutar bola mata. Sepertinya Leticia sudah gila saking takutnya kepada Atlanta. Maria mengabaikan wanita itu, melewatinya dan berjalan menuju kamarnya.Namun, Leticia meraih tangan Maria secara kasar. "PERGI DARI RUMAH INI!"Maria menghempaskan tangan Leticia. Ditatapnya wanita itu seperti kecoak. "Apa-apaan ini, Leticia? Jangan lampiaskan kegilaanmu padaku.""Mas Sandi sudah mengusirmu. Jadi kau tak punya hak lagi di rumah ini."Sebelah alis Maria menukik. "Apa maksudmu?"Seringai di bibir Leticia diikuti dengan kemunculan Sandi entah dari mana. Ekspresi Sandi datar dan matanya memancar dingin, sementara Maria menyorotnya dengan tatapan menuntut penjelasan."Tinggalkan rumah in
Maria baru saja ingin melewati jalanan yang menghubungkan rumah Lahendra dengan jalan besar ketika ponselnya berbunyi. Maka, ia menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan."Ya, ada apa?""Ada dua mobil besar yang menunggu. Mereka memblokir jalan."Sang penelepon adalah mata-mata yang sengaja ia tugaskan untuk malam ini, demi mengawasi sekitar jalan yang dia lewati dari rumah Lahendra.Sebab dirinya tak boleh lengah. Leticia bisa berbuat apa saja. Perempuan itu bisa mengambil celah untuk mencelakainya. Maria juga mengambil mobil pribadinya yang dia simpan lama di garasi. Mobil lama yang tak pernah ia pakai, untuk berjaga-jaga jika Leticia melakukan sesuatu terhadap mobil yang biasa ia gunakan.Dia sudah memikirkan banyak skenario yang mungkin bisa dilakukan Leticia ketika Maria meninggalkan rumah itu, dan salah satunya adalah mencegatnya di jalanan."Bagus. Terus awasi mereka."Telepon itu ia tutup, berganti menelepon Saga yang
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari