"Tuan, Nyonya Maria Lahendra ingin bertemu dengan Anda."
"Suruh dia masuk."
Maria masuk ke ruangan Saga. Seperti biasa, angkuh, percaya diri dan tak terpengaruh dengan aura mendominasi Saga.
"Silakan duduk, Nyonya Lahendra."
Alih-alih duduk di sofa dalam suasana yang santai, Maria malah bergerak ke kursi di seberang meja Saga. Wajahnya terlihat sangat serius dari biasanya.
Saga tidak bertanya, ia hanya menunggu sampai Maria mengutarakan maksud kedatangannya.
"Saya ingin Anda menghancurkan Lahendra secepatnya."
Saga menyandarkan punggung ke kursi kebesarannya. "Ah, kau sangat bernafsu ternyata. Tidakkah kau terlalu terburu-buru, Ibu Mertua?"
"Saya sudah menunggu selama puluhan tahun. Itu bukan terburu-buru namanya. Saya ingin melihat mereka kehilangan segalanya dalam waktu bersamaan."
Saga mengetukkan jari-jarinya ke atas meja sambil merenung, sedang Maria menatapnya heran.
"Saya tidak mengerti kenapa Anda membebas
Saga buru-buru pulang ke kediamannya sendirian, bahkan tak menunggu Edward dan membiarkan sang kepala pengawal naik ke mobil lain.Sesampainya di rumah, ia segera mencari Juni. Menanyakannya pada Lenna yang baru saja ingin menaiki tangga."Di mana Juni?""Nyonya di kamarnya, Tuan. Beliau menolak makan siang."Kening Saga mengerut. "Menolak? Kenapa?""Sepertinya beliau sedikit kesal karena Anda tidak memperbolehkannya ke kantor Anda."Saga mendengus kasar. "Dia marah hanya karena itu? Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa lagi dengannya.""Wanita hamil sangat sensitif. Emosinya bisa berubah-ubah, mood-nya naik turun. Jadi kita harus menghadapinya dengan sabar.""Seperti apa?"Selama satu minggu ini, Juni terlihat anteng dan menuruti semua perkataan Saga. Baru kali ini wanita itu merajuk."Anda harus membujuknya dengan lembut, berbicara dengan hati-hati dan mengusap perutnya. Itu bisa membuatnya sedikit relaks
"Aku tidak tertarik makan siang yang itu." Tatapan Saga menyelimuti wajah Juni. "Aku ingin yang ini."Juni mengernyit. Kendati seluruh wajah dan lehernya sudah memerah, pun dadanya yang berdetak cepat sampai terasa sakit, ia tetap mencoba untuk tenang. Berusaha tak memperlihatkan kegugupan dan desahan yang mencoba keluar dari mulutnya.Saga menyapukan bibirnya yang panas di leher Juni, menikmati bagaimana leher yang kemerahan itu bertambah panas seiring dengan kecupannya yang bertambah intens. Sesekali lidah lelaki itu akan menjilat di sana.Juni membungkam mulutnya dengan telapak tangan, tak ingin suara rintihan maupun desahannya terdengar sampai keluar, sebab di balik pintu ada ketukan samar dan suara pelayan yang mengalun sopan."Nyonya, kami membawakan makan siang."Sialnya, Saga tak membiarkan Juni bungkam terlalu lama. Lelaki itu mencium punggung tangan Juni dengan mesra, bahkan menyapunya dengan lidah sampai Juni melepaskan bekap
Maria baru saja memasuki rumah ketika Leticia menghadangnya sambil memasang eskpresi marah dan terluka."Pergi dari rumah ini."Maria mengerutkan kening. Drama apa lagi ini?"Kau tidak punya hak memasuki rumah ini lagi!"Maria memutar bola mata. Sepertinya Leticia sudah gila saking takutnya kepada Atlanta. Maria mengabaikan wanita itu, melewatinya dan berjalan menuju kamarnya.Namun, Leticia meraih tangan Maria secara kasar. "PERGI DARI RUMAH INI!"Maria menghempaskan tangan Leticia. Ditatapnya wanita itu seperti kecoak. "Apa-apaan ini, Leticia? Jangan lampiaskan kegilaanmu padaku.""Mas Sandi sudah mengusirmu. Jadi kau tak punya hak lagi di rumah ini."Sebelah alis Maria menukik. "Apa maksudmu?"Seringai di bibir Leticia diikuti dengan kemunculan Sandi entah dari mana. Ekspresi Sandi datar dan matanya memancar dingin, sementara Maria menyorotnya dengan tatapan menuntut penjelasan."Tinggalkan rumah in
Maria baru saja ingin melewati jalanan yang menghubungkan rumah Lahendra dengan jalan besar ketika ponselnya berbunyi. Maka, ia menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan."Ya, ada apa?""Ada dua mobil besar yang menunggu. Mereka memblokir jalan."Sang penelepon adalah mata-mata yang sengaja ia tugaskan untuk malam ini, demi mengawasi sekitar jalan yang dia lewati dari rumah Lahendra.Sebab dirinya tak boleh lengah. Leticia bisa berbuat apa saja. Perempuan itu bisa mengambil celah untuk mencelakainya. Maria juga mengambil mobil pribadinya yang dia simpan lama di garasi. Mobil lama yang tak pernah ia pakai, untuk berjaga-jaga jika Leticia melakukan sesuatu terhadap mobil yang biasa ia gunakan.Dia sudah memikirkan banyak skenario yang mungkin bisa dilakukan Leticia ketika Maria meninggalkan rumah itu, dan salah satunya adalah mencegatnya di jalanan."Bagus. Terus awasi mereka."Telepon itu ia tutup, berganti menelepon Saga yang
Saga pulang terlambat. Ia baru muncul saat jam dinding menunjuk angka 12. Padahal biasanya lelaki itu akan memaksakan diri pulang cepat.Ia pun tak langsung menyapa Juni seperti sebelum-sebelumnya. Ini sedikit asing, sebab biasanya Saga akan langsung memeluknya dari belakang.Mungkin karena hormon kehamilan sehingga membuat Juni sensitif dan tahu tahu matanya terasa perih. Dadanya pun sesak sampai ia kesulitan bernapas.Saga langsung masuk ke kamar mandi begitu datang. Ia pun mandi sangat lama, padahal kemarin-kemarin dia selalu mandi cepat.Saat Saga keluar dari kamar mandi, aroma menyengat dari sabun yang dipakai Saga langsung menusuk hidung Juni dan serta merta membuatnya mual dan pusing. Ia segera berlari ke kamar mandi, melewati Saga yang belum menjauh sepenuhnya dari pintu.Jika biasanya Juni tidak mengunci pintu kamar mandi dan membiarkan Saga masuk untuk membantunya, maka kali ini berbeda. Juni menguncinya dan buru-buru me
Esok paginya, ada paket yang datang tiba-tiba di teras rumah Lahendra. Tepat sebelum keluarga itu berkumpul di ruang makan untuk sarapan bersama.Seorang pelayan tergopoh-gopoh mengabarkannya kepada satu-satunya Nyonya Lahendra yang sekarang tengah memimpin para pelayan di dapur untuk memberikan instruksi soal menu sarapan."Ada paket untuk Nyonya di depan pintu," lapor seorang pelayan.Alis maha rapi Leticia menukik. "Sudah kubilang panggil aku Nyonya Besar! Maria sudah tidak ada di rumah ini!" Matanya melotot mengintimidasi."Maafkan saya, Nyonya Besar."Leticia bersedekap pongah. "Hm. Paket dari siapa?""Tidak ada nama pengirimnya. Hanya ditujukan untuk Nyonya Besar.""Baiklah. Aku akan melihatnya."Leticia melenggang meninggalkan dapur. Langkahnya ringan dengan sunggingan senang di bibir merahnya. Maria sialan itu pasti sudah mati. Tubuhnya pasti sudah terpotong-potong dan dibuang di sarang buaya sesuai perintahnya. T
Pagi ini Juni terbangun di kamar Saga. Ia sempat mengira dirinya bermimpi, tapi sepertinya semalam dia masuk ke kamarnya dan ketiduran di sana.Mengapa ia ada di sini?"Anda sudah bangun?"Juni mengira ia bisa mendengar suara Saga pagi ini, mengingat sekarang ia berada di kamar pria itu. Namun, yang ada di hadapannya adalah Lenna. Tak ada tanda-tanda keberadaan Saga di dalam kamar."Kenapa aku ada di sini?"Lenna mengerutkan kening sejenak sebelum menatap Juni bingung seolah Juni mengatakan dirinya adalah manusia setengah dewi. "Anda memang tidur di sini."Juni menggeleng yakin. "Tidak, aku tidur di kamarku yang lama.""Kenapa Anda tidur di sana?"Juni mengerjap, lalu terdiam kaku. "Ah, aku hanya ...."Dari raut wajah Lenna, Juni yakin dia sudah menebak apa yang terjadi antara dirinya dan Saga."Sejak Tuan meninggalkan kamar, saya melihat Anda tidur di ranjang itu. Mungkin Nyonya sedang bermimpi."
Lama-lama Saga merasa bosan. Tidak. Ia merasa sesak terus-terusan mengabaikan Juni. Satu hari rasanya seperti satu tahun. Ia tak bisa menahan diri untuk menatap wanita itu dan bahkan memeluknya.Sayangnya, ia memiliki banyak pekerjaan. Ia harus mempelajari dokumen tentang struktur perusahaan dan pemegang saham Lahendra yang diberikan oleh Maria. Dirinya harus jeli dan teliti dalam menyusun rencana untuk membumihanguskan Lahendra.Karena itu, Saga memilih mendiamkan Juni agar tetap fokus, karena Lahendra bukanlah perusahaan biasa yang bisa dia akuisisi dengan mudah. Tapi, lebih daripada itu, dia masih merasa janggal dengan perasaannya. Sejujurnya, Saga belum mampu menerima anak itu. Hatinya merasa marah saat melihat perut yang di dalamnya ada anak dari lelaki lain.Saga merasa kalah.Ia ingin membunuh saja anak itu dan membuat anaknya sendiri.Melihat Juni yang meringkuk di atas ranjang membuat Saga menghela napas. Sampai kapan dia
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari