Lama-lama Saga merasa bosan. Tidak. Ia merasa sesak terus-terusan mengabaikan Juni. Satu hari rasanya seperti satu tahun. Ia tak bisa menahan diri untuk menatap wanita itu dan bahkan memeluknya.
Sayangnya, ia memiliki banyak pekerjaan. Ia harus mempelajari dokumen tentang struktur perusahaan dan pemegang saham Lahendra yang diberikan oleh Maria. Dirinya harus jeli dan teliti dalam menyusun rencana untuk membumihanguskan Lahendra.
Karena itu, Saga memilih mendiamkan Juni agar tetap fokus, karena Lahendra bukanlah perusahaan biasa yang bisa dia akuisisi dengan mudah. Tapi, lebih daripada itu, dia masih merasa janggal dengan perasaannya. Sejujurnya, Saga belum mampu menerima anak itu. Hatinya merasa marah saat melihat perut yang di dalamnya ada anak dari lelaki lain.
Saga merasa kalah.
Ia ingin membunuh saja anak itu dan membuat anaknya sendiri.
Melihat Juni yang meringkuk di atas ranjang membuat Saga menghela napas. Sampai kapan dia
Juni terbangun dini hari hanya untuk mendapati dirinya memeluk Saga dan menjadikan dada lelaki itu sebagai bantal, sementara Saga tidur telentang dengan kening yang mengernyit.Serta merta ia menjauh, merasa malu karena seenaknya memeluk pria itu. Saga pasti tidak suka dengan kelakuan tidak tahu malunya. Mengingat betapa abainya lelaki itu selama dua hari ini, seolah ia sangat membenci Juni.Melihat kening Saga yang berkerut gelisah, membuat Juni mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi urung. Tiba-tiba saja ia merasa kesal karena Saga mempermainkannya seenak hati.Ia bergeser ke tepi ranjang, lalu berbaring memunggungi Saga. Ia kembali memejamkan mata, tapi sedetik sebelum alam bawah sadarnya mengambil alih, dirasakannya tangan keras yang melingkari perutnya.Juni kembali membuka mata dan mendapati Saga yang mendekapnya erat sambil menggumamkan sesuatu.Juni merasa sesak dan berdebar dalam waktu bersamaan. Ingin melepaskan pelukan Saga, tapi le
"Aku menginginkanmu." Saga mengatakan itu sekali lagi. Membuat Juni terhenyak.Sudah seringkali ia mendengar Saga mengatakan itu padanya. Tapi, jika Saga sampai membawanya ke alam mimpi, maka Juni harus berusaha menyingkirkan pikiran bahwa lelaki itu memang sangat menginginkannya—karena ia akan kecewa lagi."Menginginkanmu, Juni. Juni ...."Juni menghela napas. "Tapi, apa kau juga juga menginginkan anak ini?"Saga membalas pertanyaan nanarnya dengan erangan pelan sebelum lelaki itu tertidur. Napasnya mulai berembus teratur, meninggalkan senyum pahit pada bibir Juni.Juni menatap baju di tangannya. Dadanya yang sesak membuatnya tak sanggup untuk menggantikan baju Saga. Ia membuang kaus itu di tepi ranjang, lalu keluar kamar dan memanggil pelayan."Tolong gantikan bajunya."Membiarkan dua orang pelayan masuk sementara dirinya menjauh dari kamar. Menuruni beberapa anak tangga sebelum merasa dirinya tidak sanggup melewati semu
Saga tampak sangat liar dengan kemeja yang tidak terkancing. Satu bulir keringat menetes dari rambutnya yang basah, menuruni pelipisnya lalu terjatuh ke pipi Juni. Lelaki itu menatap Juni tajam, seolah tak mengenalnya. Juni mengerutkan kening lalu membuka suara, "Aku menggantikan bajumu."Rahang Saga mengetat secara otomatis. Napasnya berembus panas di wajah Juni. "Beraninya kau ...." Sekonyong-konyong lelaki itu melumat bibir Juni tanpa ampun. Menyalurkan rasa panas yang seketika menjelajahi seluruh tubuh Juni.Ada apa dengan Saga?Dia tampak tidak sadar ketika mencium Juni secara membabi buta. Maka, Juni mendorong dada Saga untuk membuat lelaki itu kembali sadar.Apa ini karena demamnya?Saga seolah tak ingin berhenti, sampai Juni merasakan bibirnya kebas dan sedikit berdarah. Ciuman Saga tak tanggung-tanggung, seolah seluruh emosinya ia tuangkan dalam kuluman bibirnya.Lama kemudian, barulah bibirnya yang basah menurun
Beberapa menit yang lalu, Saga merintih berulang kali. Sesekali ia akan mengerang marah sambil mengepalkan kedua tangan di atas ranjang. Matanya terpejam rapat sedang dahinya mengernyit."Saga?" Juni memanggil berulang kali, yang hanya dibalas dengan erangan kesakitan.Diliriknya jam dinding yang memberikan kabar bahwa waktu makan malam sudah lewat. Juni belum memberikan obat kepada Saga.Saga menggertakkan gigi dalam tidurnya. Rintihannya semakin keras. Napasnya pun terengah-engah seperti baru saja berlari puluhan kilometer."Saga ... bangunlah." Juni menepuk pelan pipi Saga, meratakan kernyitan di dahinya dengan ibu jari, kemudian mengusap wajah Saga lembut.Cara itu berhasil. Saga membuka mata, walau terlihat seperti orang yang bermimpi buruk."Kau bermimpi buruk? Tidak apa-apa, itu hanya mimpi." Juni berusaha menjaga nada suaranya tetap lembut. Berharap bisa menenangkan gelisah di hati Saga.Saga menatapnya nyala
Esoknya Fras mendatangi kediaman Atlanta. Tak mengindahkan ucapan Leticia semalam. Ini masih sangat pagi. Dia berharap bisa bertemu dengan Saga Atlanta yang belum berangkat ke kantor sekaligus dengan sang kakak.Jangan-jangan Juni disekap dan diperlakukan seperti Jeni di dalam sana. Fras memejamkan mata sejenak untuk mengontrol emosi negatif dalam dirinya sebelum menguasai diri saat dua pengawal yang menjaga gerbang Atlanta menanyai identitas dan tujuannya."Saya Fras Lahendra, adik Juni Lahendra.""Sudah buat janji dengan Nyonya Besar?"Kening Fras mengerut. Memangnya dia perlu membuat janji untuk bertemu kakaknya sendiri?"Saya ingin menjenguknya, saya belum sempat menengoknya sejak dia hamil."Fras baru ingin menjenguk Juni di rumah sakit waktu itu, tapi tiba-tiba ada kabar menghilangnya Jeni sehingga membuat perhatiannya teralihkan."Saya akan mengabarkan dulu kepada Tuan dan Nyonya."Fras mengerjap. "Apa Tuan Atlanta juga
Fras keluar dari ruang kerja pribadi Saga dengan wajah kalut. Menghadapi Saga Atlanta secara langsung lebih mengerikan ketimbang mendengar rumor yang disebar orang-orang.Saga Atlanta mampu menemukan titik lemahnya dan membuat dia tak bisa berkutik. Penawaran gila yang diberikan Saga sungguh tak bisa diterima oleh akal sehat Fras.Lebih tak masuk akal lagi jika mereka harus habis satu per satu di tangan lelaki itu."Aku tak mengecualikan ayahmu asal kau tahu. Dia tak jauh beda dengan ayahku, sama-sama keparat. Karena itu aku membunuh ayahku sendiri," ucap Saga sebelum Fras keluar dari ruangannya beberapa detik yang lalu. Ada senyum dalam bibir tipisnya yang membuat sekujur tubuh Fras menggigil.Fras bahkan kesulitan mengangkat kakinya sendiri. Aura Saga memang tak bisa dipungkiri. Lelaki itu mampu mendominasi pikiran lawan bicaranya dalam sekejap.Fras menjauhi ruang kerja Saga, turun ke ruang tengah untuk melihat Juni masih ada di sana. Saat melih
Suasana di meja makan kediaman Lahendra sangatlah kelam. Sunyi dan menyesakkan. Tegang seperti lapisan es yang sangat tipis.Tak ada yang bersuara sedikit pun. Wajah-wajah di meja makan terlihat kalut, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, seolah di depan mereka ada sumur dalam yang siap mengisap habis mereka.Makanan-makanan lezat dan mewah di hadapan mereka tak tersentuh. Tangan mereka memegang sendok dan garpu, tapi hanya sekadar dipegang.Fras-lah yang pertama kali mengangkat wajah dari piringnya, lalu menatap satu per satu anggota keluarganya. Mungkinkah ini jalan keluar terbaik yang diberikan oleh takdir untuk keluarga mereka?"Ayah," panggilnya, pelan dan ragu.Sandi mengangkat mata dan membalas tatapan Fras. "Ada apa?"Fras menelan ludah. Tenggorokannya terasa panas, begitu sulit untuk meloloskan suaranya. "Ayah sudah menemukan pelakunya?"Sandi menarik napas detik itu juga. Wajahnya sangat kalut dengan kantung m
"Aku sudah sembuh. Berhenti mengecek terus."Untuk kesekian kalinya Saga berdecak saat Juni lagi-lagi memeriksa suhu tubuhnya dengan telapak tangan lalu membandingkan dengan suhunya sendiri."Masih panas. Kau harus istirahat." Juni menaikkan selimut Saga sampai ke dadanya. "Sekarang berbaringlah."Saga mendengus kesal. "Ini masih siang. Aku bahkan belum mandi!""Tidak!" Juni melotot. "Tidak boleh mandi!""Aku kegerahan. Bisa-bisa aku demam lagi.""Sabunmu menyengat. Lagi pula orang sakit tidak boleh mandi." Juni bergidik jika membayangkan bau sabun Saga. Ia bahkan mengganti sabunnya sendiri dengan sabun bayi.Saga menghela napas lelah. "Aku sudah sembuh." Saga bangkit dari tempat tidur, tapi Juni menahan lengannya. Wanita itu menggeleng dengan tatapan yang lugu."Pokoknya tidak bisa! Kau pikir siapa yang akan menyuapkan bubur dan obat ke mulutmu? Siapa yang akan menggantikan semua pakaianmu kalau kau sakit lagi? Aku juga
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari