Jeni kembali terbangun dan langsung mendengar suara derap langkah kaki di sekitarnya. Ia juga merasakan kehadiran beberapa orang.
Namun, segalanya masih gelap. Belum ada penerangan apa pun sampai Jeni merasa seperti orang buta saja.
"Siapa? Siapa di situ?" Suaranya serak dan tenggorokannya sangat kering. Sejak ia bangun untuk pertama kalinya di tempat ini, tak ada setetes pun air yang membasahi mulutnya.
"Siapa di situ?!"
Tak ada suara sama sekali. Jeni yakin mendengar ketukan sepatu tadi.
Suasana yang sepi dan mencekam itu membuat Jeni bergidik. Ia mulai merinding dan merasa takut.
"Siapa? Apa mau kalian? Lepaskan aku!!"
Sekejap kemudian, setitik cahaya meneranginya. Membuat Jeni terperanjat dan memalingkan wajah, terkejut karena tahu-tahu cahaya yang datang tiba-tiba itu menyilaukan matanya yang terbiasa melihat dalam kegelapan.
Suara ketukan sepatu terdengar kemudian. Pelan, lembut, namun mengintimidasi.
S
Baru kali ini mobil Sandi berpapasan dengan mobil Maria di halaman rumah Lahendra. Keduanya turun dari kendaraan masing-masing.Seperti biasa, Maria akan berjalan lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun pada Sandi yang berjalan di belakangnya. Tapi, jika dulu Sandi juga tak terlalu peduli, maka sekarang ia memanggil wanita itu dan menghampirinya dengan cepat."Ada apa?" Maria menolehkan kepalanya sedikit, tak acuh dan dingin."Di mana kau mengirim bukti-bukti itu?"Mata maria menyipit. "Kau belum memeriksanya?Kebungkaman Sandi membuat Maria mendengus. "Kau memang tidak peduli atau terlalu pengecut untuk melihatnya?"Sandi memalingkan wajah. Tak membantah sedikit pun. Mungkin tebakan Maria memang benar."Aku mengirim buktinya di email pribadimu." Maria melanjutkan jalannya dengan marah."Tunggu," panggil Sandi lagi.Maria berhenti dan menoleh kembali dengan raut masam. "Ada apa lagi?"Ketakutan dan kekhaw
Dengan napas menggebu-gebu, Sandi mencari Leticia. Dibukanya pintu kamarnya dan tak menemukan Leticia di sana.Seorang pelayan yang lewat ia hentikan. "Di mana Leticia?""Nyo-nyonya Leti ada di kamar Nyonya Besar." Pelayan itu terbata-bata ketika melihat raut wajah Sandi yang menggelap.Buru-buru Sandi naik ke lantai dua tempat kamar Maria berada. Didobraknya pintu kamar yang maha luas itu. Leticia yang berada di depan pintu—sepertinya dia baru saja ingin keluar dari kamar ini—terkejut."Kenapa kau ada di sini?""A-aku ... sedang mengunjungi Kak—""Aku sangat marah padamu, Leticia! Bukti-bukti yang diberikan Maria itu terjamin kebenarannya. Kenapa kau melakukan itu?!"Leticia membelalak. "I-itu ... tidak penting sekarang, Mas! Jeni menghilang! Ini sudah malam ketiga. Tak ada kabar sedikit pun darinya!"Mimik kemarahan di wajah Sandi berubah menjadi terkejut. "Apa? Bagaimana bisa?!""Aku sudah mene
Saga menyorot bosan tubuh menyedihkan yang terbaring lemah itu. Rambutnya yang lurus indah sekarang lepek berantakan dengan wajah kusam yang tak lagi hidup.Tubuh Jeni Lahendra sudah mati. Hanya tersisa embusan napasnya yang teramat lemah.Sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya, tatapan Saga tak putus-putus menyerbu gadis itu.Ini sudah hari keenam sejak gadis itu berada di ruang eksekusi Atlanta yang pengap dan seperti neraka."Sudah kau pastikan tak ada makanan atau pun setetes air yang masuk ke perutnya?"Edward yang berdiri siaga di belakang Saga mengangguk sopan. "Sudah, Tuan.""Apa anak buahmu rutin menidurinya?" tanyanya santai, seolah sedang bertanya apakah Edward sudah makan atau belum."Iya, Tuan.""Bagus. Sekarang buang dia ke hutan belantara. Buat Lahendra menemukannya dengan cepat. Aku ingin dia pulang dengan selamat." Seringai mengerikan bertakhta di bibir tipis yang dingin itu.Edward menga
"Keluarga Lahendra sudah menemukannya, Tuan. Mereka sedang menyelidiki kasus itu."Seringai tipis bertakhta di bibir Saga. "Bagus. Ibu mertuaku pasti senang."Setelah mengirimkan bukti-bukti itu, Maria Lahendra datang ke rumah sakit untuk menjenguk Juni sekaligus memberikan sebuah penawaran kepadanya."Saya sudah memberikan bukti-buktinya. Tampaknya Anda sangat menyayangi putri saya."Sontak Saga terkekeh, suaranya renyah. "Aku suka kepercayaan dirimu, Nyonya Lahendra. Ya, aku sangat menyukai putrimu. Dia sangat tangguh sehingga menarik rasa penasaranku sampai aku bisa dibuatnya tergila-gila."Sejenak raut wajah Maria tampak kosong, matanya menerawang sebelum kembali menguasai diri."Ya, dia sangat tangguh. Perjalanan hidupnya yang sangat sulit mengasahnya menjadi perempuan yang seperti itu.""Ah, sepertinya dia punya masa lalu yang tak begitu mulus.""Tentu saja. Saya berjuang bersamanya dengan musuh yang sama. Putriku hampir
Entah dorongan dari mana, tapi Juni sangat ingin menunggu Saga pulang. Anak dalam kandungannya suka sekali bertingkah dan selalu ingin dekat dengan ayahnya, kecuali saat ayahnya memakai parfum atau sehabis mandi. Baunya sangat menyengat dan membuat Juni tidak tahan untuk muntah.Juni mengusap perutnya yang terasa penuh. Ada getaran kecil di dalam sana yang ikut menggetarkan hati Juni."Adiknya Elando ... anak Ibu. Tunggu sebentar lagi ya, ayahmu akan pulang." Diusapnya perutnya yang masih rata.Saga selalu pulang lebih cepat akhir-akhir ini. Ia akan pulang sebelum senja datang dan mengajak Juni menikmati pemandangan sore di balkon kamar mereka atau di taman.Saga seperhatian itu.Ia selalu berhati-hati saat di dekat Juni, seolah pergerakannya bisa menyakiti Juni maupun kandungannya.Ah, Juni semakin gelisah saja. Ini sudah menjadi helaan napasnya yang kesekian kali."Kapan dia pulang?" Diusapnya perutnya semakin intens. Be
"Dugaan kuat kami, Nona Jeni dikurung berhari-hari tanpa makanan dan minuman. Dan juga Nona dipaksa untuk melakukan hubungan badan berkali-kali."Sandi menggertakkan gigi ketika pengawal kepercayaannya mengakhiri laporan. Darahnya mendidih diikuti dengan kepalan tangan di kedua sisi tubuhnya."Cari tahu siapa pelakunya," tekannya. Hampir-hampir melumat dinding di belakangnya dengan kepalan tinjunya."Baik, Tuan.""Aku ingin tahu secepatnya. Aku ingin orang itu dimusnahkan!"Sang pengawal mengangguk paham sebelum memohon pamit. Membiarkan Sandi berkutat dengan emosinya.***Jeni tersadar empat hari kemudian. Tatapannya kosong seolah jiwanya telah melayang ke tempat lain. Ia hanya memandang lurus sekian lama tanpa bergerak sedikit pun.Leticia yang telah membantunya bersandar pada kepala ranjang semakin gelisah. Napasnya yang gelisah belum jua surut bahkan ketika dokter sudah memeriksa Jeni."Jeni. Apa yang terjadi?
Saga ingin pulang setelah meninggalkan rumah sakit, tapi pekerjannya masih banyak. Padahal sudah hampir sore. Ada baiknya jika dia pulang lebih awal."Rafael Estigo sudah meninggalkan negara ini. Ia dan tunangannya sudah kembali ke Jepang." Edward yang duduk di kursi depan samping kemudi menyahut, memberikan laporan yang tak diminta oleh Saga, tapi ia tahu Saga pasti menginginkan segala kabar tentang Rafael Estigo.Sejak dulu Saga selalu memberikan tugas apa pun kepada Edward. Ia sangat mempercayai kepala pengawal yang sudah ia anggap sebagai asisten pribadinya. Ke mana pun Saga pergi, ia selalu menginginkan Edward di sampingnya. Mungkin ia tak terlalu percaya untuk merekrut asisten pribadi yang lain.Alih-alih senang, Saga malah menguarkan tatapan tak suka. "Kenapa ia kembali? Aku belum memberinya pelajaran.""Tanaka Benjiro memaksanya pergi.""Ah, Tanaka." Saga menyandarkan kepala ke kursi sambil menghela napas bosan. "Tempatkan mata-mata di peru
Tengah malam, di ruangan yang terang meskipun orang-orang sudah tertidur. Leticia duduk menunggu Jeni yang terus memandang lurus, kosong dan seperti zombie. Wajahnya kurus dan badannya tak bertenaga.Jeni akan menjerit jika lampu dipadamkan. Tapi, ia tetap tak tidur. Ia hanya duduk bersandar sambil menatap dinding."Jeni, bicaralah. Jangan begini terus. Kau tahu bagaimana takutnya aku jika Atlanta tahu tentangku juga? Keluarga kita akan dihancurkan. Dia 'kan yang membuatmu begini?"Jeni bergeming.Leticia menghela napas berulang kali. "Apa yang dia lakukan padamu? Apa maksudnya dengan kekerasan seksual? Dia memperkosamu?!"Jeni mendengarnya. Pertanyaan-pertanyaan bernada putus asa yang tak hentinya dilemparkan Leticia sejak tadi.Jeni kehilangan orientasi. Kehilangan arah dan juga kehilangan dirinya.Dia tak pernah berniat melukai ataupun membunuh Juni. Ia hanya ingin mewujudkan impian ibunya tanpa perlu menjad