Home / Young Adult / Tersimpan dalam Diam / Semua Tentang Hati

Share

Semua Tentang Hati

last update Last Updated: 2025-02-26 00:07:50

Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.

Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.

Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.

Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa.

"Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu.

"Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.

"Siap lihat Alfa lagi di sekolah, lah," jawab Bianca dengan nada bercanda.

Alana mendengus kecil. "Lo pikir gue sesiap itu?"

Bianca tertawa. "Ya, siapa tahu. Bisa aja lo tiba-tiba dapet momen baru sama dia hari ini."

Momen? Alana tidak yakin. Kalau boleh memilih, hari ini ia lebih ingin menghindar.

Mereka berjalan ke halte angkot, seperti biasanya. Langit masih sedikit mendung, sisa hujan semalam membuat jalanan terasa lebih sejuk. Alana mencoba menikmati suasana pagi, berharap perasaannya membaik.

Namun, begitu mereka sampai di gerbang sekolah, hal pertama yang ia lihat adalah Alfa.

Ia berdiri di dekat lapangan basket, bersandar santai di pagar dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah kenapa, bahkan dalam kesederhanaan itu, Alfa tetap terlihat mencolok.

Dan di sampingnya, Kirana.

Alana langsung berpaling sebelum otaknya memproses lebih jauh. Kenapa harus dia lagi?

"Tuh, Al. Gue udah bilang, kan? Lo bakal lihat dia lagi hari ini," bisik Bianca sambil menyikut lengan Alana pelan.

"Lo nggak usah ngomong gitu," balas Alana setengah berbisik.

"Tapi lo lihat sendiri, kan? Kirana emang balik buat deketin Alfa lagi," lanjut Bianca, menatap pemandangan itu dengan penuh minat.

Alana tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk mengecek ponselnya, padahal tidak ada apa pun di sana.

"Lo mau ke kelas duluan?" tawar Bianca, sadar bahwa sahabatnya tidak nyaman.

Alana mengangguk cepat. "Iya. Lo nyusul aja nanti."

Tanpa menunggu jawaban, Alana segera melangkah ke dalam gedung sekolah.

Ia tidak ingin melihat lebih banyak lagi. Tidak ingin mengetahui apakah Alfa tersenyum pada Kirana, apakah mereka berbicara lebih lama, atau bahkan apakah mereka benar-benar akan kembali bersama.

Karena semakin ia tahu, semakin ia sadar bahwa mungkin… diam-diam menyukai seseorang adalah hal yang paling menyakitkan.

Alana berjalan cepat menyusuri koridor sekolah yang mulai dipenuhi siswa. Suara obrolan dan tawa teman-teman sekelasnya terasa samar di telinga. Ada dorongan dalam dirinya untuk segera sampai di kelas, untuk bisa duduk dan berpura-pura sibuk agar pikirannya tidak terus-menerus terpaku pada pemandangan yang baru saja ia lihat.

Kenapa Kirana muncul di saat yang paling tidak tepat?

Sesampainya di kelas, ia langsung duduk di bangkunya, meletakkan tas dengan sedikit kasar di meja. Bianca belum masuk, dan itu bagus. Setidaknya, ia bisa punya sedikit waktu untuk menenangkan diri sebelum sahabatnya itu mulai bertanya-tanya lagi.

Alana menyandarkan kepalanya ke meja, menarik napas panjang.

Ia benci perasaan ini.

Bukan karena cemburu—karena siapa dia untuk cemburu?—tapi lebih karena rasa tidak berdaya. Selama dua tahun, ia menyimpan perasaan ini sendiri, tanpa pernah berharap lebih. Namun, hanya dalam satu hari, harapan kecil yang bahkan tidak pernah ia sadari mulai tumbuh, hanya untuk dihancurkan lagi dalam sekejap.

"Eh, Alana. Pagi!"

Suara itu membuatnya tersentak. Alana buru-buru mengangkat kepala, mencoba memasang ekspresi biasa saja.

"Hai, pagi," jawabnya, menatap Siska—salah satu teman sekelasnya—yang baru saja duduk di kursi sebelah.

Siska menyengir kecil. "Lo udah denger gosip terbaru belum?"

Alana mengerutkan kening. "Gosip apaan?"

Siska mendekat sedikit, suaranya lebih pelan seolah sedang membahas sesuatu yang penting. "Katanya, Kirana balik ke sekolah gara-gara mau balikan sama Alfa."

Alana merasa jantungnya mencelos.

Siska melanjutkan tanpa sadar akan perubahan ekspresi Alana. "Gue denger dari anak-anak ekskul OSIS, katanya mereka liat Kirana beberapa kali ketemu Alfa akhir-akhir ini. Kayaknya cewek itu masih belum move on, deh."

Alana berusaha memasang wajah datar, meskipun di dalam kepalanya sudah penuh dengan berbagai kemungkinan yang tidak ingin ia pikirkan.

"Kirana emang masih suka sama Alfa?" tanyanya, mencoba terdengar tidak terlalu tertarik.

"Kayaknya sih gitu," Siska mengangkat bahu. "Tapi lo tau sendiri kan, Alfa? Cowok itu susah ditebak. Gue bahkan nggak ngerti kenapa mereka dulu putus."

Alana diam.

Ia juga tidak pernah tahu alasan pasti kenapa Alfa dan Kirana mengakhiri hubungan mereka. Tidak ada yang tahu. Alfa bukan tipe orang yang suka menjelaskan urusannya ke orang lain, dan Kirana… cewek itu selalu terlihat baik-baik saja, seolah tidak ada yang perlu dibahas.

Tapi sekarang, dengan Kirana yang tiba-tiba kembali ke sekolah dan rumor yang mulai menyebar, Alana merasa lebih resah daripada sebelumnya.

Karena kalau benar Kirana masih menginginkan Alfa… maka kesempatan kecil yang selama ini bahkan tidak pernah ia miliki, mungkin akan benar-benar hilang.

***

Suara langkah kaki para siswa bergema di koridor saat jam istirahat dimulai. Alana berjalan perlahan melewati kerumunan, kepalanya sedikit tertunduk, pikirannya masih berantakan. Bianca berjalan di sampingnya, tidak banyak bicara—mungkin karena tahu Alana sedang tidak ingin mendengar nasihat atau candaan.

Langit siang tampak cerah dari balik jendela besar di ujung koridor. Matahari bersinar lembut, memantulkan bayangan samar di lantai marmer yang mengkilap. Tapi bagi Alana, suasana di sekelilingnya terasa seperti latar belakang buram yang tidak penting. Yang nyata hanya perasaan yang menggumpal di dadanya, seperti awan hitam yang enggan pergi.

Tanpa sadar, kakinya membawanya ke kantin. Bukan karena ia lapar, melainkan karena itu adalah satu-satunya tempat yang cukup ramai untuk menyamarkan pikirannya sendiri. Keramaian bisa menjadi pelarian yang baik—meskipun di dalam kepalanya, hanya ada satu nama yang terus bergema.

Alfa.

Ia duduk di bangku panjang di sudut kantin, menyandarkan tubuhnya pada meja, sementara Bianca sibuk dengan ponselnya. Aroma makanan memenuhi udara, suara obrolan bercampur dengan dentingan sendok dan garpu.

Dan kemudian, suara itu terdengar.

Datar, tidak tergesa-gesa, tapi memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya.

"Bianca."

Alana langsung menegang.

Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.

Bianca mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Eh, Alfa. Ada apa?"

Alfa berdiri di samping meja mereka, satu tangannya dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak.

"Ada yang mau gue tanyain," ujarnya santai. "Lo bisa ke luar sebentar?"

Bianca melirik Alana sejenak, lalu mengangguk. "Oke."

Tanpa banyak bicara, Bianca bangkit dan mengikuti Alfa keluar dari kantin, meninggalkan Alana sendirian dengan pikirannya yang semakin kacau.

Kenapa?

Kenapa hari ini ia merasa begitu sulit untuk bernapas?

Kenapa setiap langkah Alfa terasa begitu dekat, padahal selama ini ia selalu menjaga jarak?

Dan kenapa, bahkan tanpa melakukan apa pun, cowok itu tetap bisa membuatnya merasa seperti ini—seolah ia sedang berdiri di tepi jurang tanpa pegangan?

Alana menatap meja di depannya, jemarinya mencengkeram ujung seragamnya.

Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, tapi ketika Bianca kembali, ekspresi sahabatnya itu sedikit berubah.

"Ada apa?" tanya Alana pelan.

Bianca menatapnya sesaat sebelum menghela napas. "Dia cuma nanya soal tugas."

Alana mengangguk kecil, mencoba berpura-pura tidak peduli.

"Lo yakin nggak apa-apa?"

Alana tersenyum tipis. "Gue baik-baik aja."

Tapi apakah benar?

Ataukah ia hanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri?

Hanya waktu yang bisa menjawab.

Dan mungkin, seiring berjalannya waktu, ia akan belajar bagaimana cara melepaskan perasaan ini.

***

Langit sore mulai berubah jingga saat bel pulang sekolah berbunyi, mengirimkan gelombang suara ke seluruh penjuru gedung. Alana menghela napas panjang, merapikan buku-buku di dalam tasnya dengan gerakan lambat. Kelasnya mulai sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang masih mengobrol atau merapikan barang mereka sebelum pergi.

Di luar jendela, matahari mulai turun perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk di antara tirai jendela. Namun, keindahan itu tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya dari sesuatu yang lebih berat di dalam kepalanya.

Atau lebih tepatnya, seseorang.

Alfa.

Nama itu masih berputar di benaknya, seperti melodi yang terus terulang tanpa henti.

Seharusnya ia sudah terbiasa. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyukai seseorang dalam diam, untuk melihatnya dari kejauhan tanpa pernah berharap lebih. Tapi hari ini, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat dadanya terasa lebih sesak dari biasanya.

Mungkin karena Alfa tiba-tiba bicara dengan Bianca.

Atau mungkin karena ia menyadari satu hal yang selama ini ia abaikan—bahwa perasaan ini mulai menjadi beban yang berat.

"Al, lo belum pulang?"

Suara Bianca membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu sudah berdiri di ambang pintu kelas, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.

Alana menggeleng pelan. "Abis ini."

Bianca masuk, melangkah mendekat lalu menjatuhkan dirinya di kursi depan Alana. "Lo keliatan aneh hari ini."

"Aneh gimana?"

"Kayak ada yang ganggu pikiran lo."

Alana menghela napas, mencoba menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa ia tutupi. Tapi Bianca mengenalnya terlalu baik.

"Sumpah, Al, kalau ini masih soal Alfa—"

"Udah lah, Bi," potong Alana cepat. "Gue nggak mau bahas itu."

Bianca memutar bola matanya. "Yaudah, terserah lo. Tapi lo sendiri yang makin ribet gara-gara ini."

Alana memilih diam.

Tapi dalam hati, ia tahu bahwa Bianca benar.

***

Langkah-langkah Alana terasa lebih lambat dari biasanya saat ia berjalan menuju gerbang sekolah. Jalan setapak yang biasa ia lalui tampak sama seperti kemarin, seperti minggu lalu, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi hari ini, setiap langkah terasa lebih berat, seakan ada sesuatu yang menahannya untuk benar-benar pergi.

Dan seperti kebetulan yang terus berulang, matanya menangkap sosok itu lagi.

Alfa.

Berdiri di dekat parkiran motor, mengenakan jaket hitam yang terlihat kontras dengan seragamnya. Cahaya matahari senja jatuh di wajahnya, menciptakan bayangan samar yang membuat ekspresinya sulit diterka.

Ia sedang berbicara dengan seseorang—teman satu angkatannya—tapi Alana tidak benar-benar memperhatikan siapa. Matanya hanya tertuju pada Alfa, pada cara pria itu berdiri, pada cara ia sesekali mengangguk, pada cara ia tampak begitu jauh meskipun hanya berjarak beberapa meter darinya.

Dan di saat itulah, Alana menyadari sesuatu.

Perasaannya terhadap Alfa tidak hanya sekadar kagum.

Tidak hanya sekadar suka dalam diam.

Tapi lebih dari itu.

Ia seperti bulan yang hanya bisa memantulkan sinar matahari, tanpa pernah benar-benar memiliki cahayanya sendiri.

Dan Alfa?

Ia adalah matahari itu.

Terang, bersinar, tapi tak pernah bisa digenggam.

Dan mungkin, inilah kenyataan yang harus ia terima.

Bahwa tidak peduli seberapa lama ia menyimpan perasaan ini, ia mungkin tidak akan pernah benar-benar menjadi bagian dari dunia Alfa.

Langit sore semakin meredup, perlahan berubah menjadi semburat ungu dengan kilasan jingga yang mulai memudar. Angin bertiup lembut, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan setapak menuju gerbang sekolah. Suasana terasa syahdu, seakan waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.

Alana masih berdiri di tepi trotoar, kedua tangannya mencengkeram tali tas dengan erat. Seharusnya ia sudah pulang sejak tadi, seperti siswa lain yang kini sudah berhamburan meninggalkan sekolah. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa tertahan, seakan ada sesuatu yang mengakar di tempatnya berdiri.

Atau lebih tepatnya, seseorang.

Alfa masih berdiri di tempat yang sama. Tubuhnya sedikit bersandar pada motornya, tangan dimasukkan ke saku jaket hitamnya, dan wajahnya tetap datar seperti biasanya.

Alana tidak tahu apa yang pria itu pikirkan—atau bahkan apakah ia sedang memikirkan sesuatu. Alfa selalu terlihat seperti seseorang yang tidak mudah ditebak, seperti halaman kosong yang sulit diterjemahkan meskipun sudah berulang kali dibaca.

Ia terus mengamati Alfa dari kejauhan, menyadari bagaimana setiap gerakan kecil pria itu mampu menarik perhatiannya tanpa usaha. Bagaimana jemarinya dengan santai mengetuk-ngetuk bodi motor, bagaimana sesekali angin menerbangkan helaian rambut hitamnya, bagaimana sorot matanya terlihat tenang tetapi tajam dalam waktu yang bersamaan.

Tanpa sadar, Alana menggigit bibirnya.

Menyukai seseorang dalam diam itu seperti berdiri di bawah hujan, berharap tetesan air bisa menghapus perasaan yang terus tumbuh. Tapi nyatanya, semakin lama ia berdiri di sini, semakin dalam ia tenggelam.

"Lo nggak pulang?"

Suara Bianca tiba-tiba terdengar, memecah lamunannya. Alana menoleh cepat, menatap sahabatnya yang kini berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh tanya.

"Eh?"

"Lo dari tadi diem di sini, Al. Lo nunggu siapa?"

Alana buru-buru menggeleng. "Nggak nunggu siapa-siapa."

Bianca menyipitkan mata, lalu menggeser pandangannya ke arah yang tadi ditatap Alana. Dan saat menyadari sosok yang sedang diperhatikan sahabatnya, ia hanya bisa mendesah pelan.

"Al," Bianca berucap, nada suaranya terdengar lebih lembut.

Alana tahu Bianca ingin mengatakan sesuatu. Tapi Bianca memilih diam. Mungkin karena ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang sudah lama Alana rasakan.

Mereka akhirnya mulai berjalan, meninggalkan gerbang sekolah yang semakin lengang. Namun, bahkan ketika langkahnya menjauh, pikiran Alana masih tertinggal di sana—bersama bayangan seseorang yang tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.

Dan saat itu, ia menyadari satu hal.

Bahwa tidak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah… hatinya akan selalu kembali ke tempat yang sama.

Kepada Alfa.

***

Jalan setapak menuju halte dipenuhi bayangan pohon yang memanjang, bergerak perlahan mengikuti arah angin sore. Langkah Alana terdengar pelan di atas trotoar, menyatu dengan suara kendaraan yang sesekali melintas di jalan depan sekolah.

Di sampingnya, Bianca berjalan dengan santai, sesekali memainkan ujung rambutnya. Tapi Alana tahu, dari cara sahabatnya melirik ke arahnya beberapa kali, Bianca pasti menyimpan sesuatu yang ingin dikatakan.

Dan benar saja.

"Al," panggil Bianca tiba-tiba, menghentikan langkahnya.

Alana ikut berhenti dan menoleh. "Apa?"

Bianca menatapnya sejenak sebelum akhirnya bersedekap. "Gue nggak ngerti deh, sampai kapan lo mau kayak gini?"

Alana mengerjapkan mata, pura-pura tidak mengerti. "Maksud lo?"

"Al, udah dua tahun lo kayak gini. Ngelihat Alfa dari jauh, diem-diem mikirin dia, tapi nggak pernah ngelakuin apa-apa." Bianca menghela napas, suaranya sedikit lebih pelan. "Lo nggak capek?"

Alana menunduk. Kata-kata Bianca memang bukan sesuatu yang baru. Ia tahu sahabatnya itu tidak bermaksud menyudutkannya—hanya saja, Bianca selalu lebih blak-blakan soal perasaannya.

"Gue nggak tahu," jawab Alana jujur.

Dan itu memang kenyataannya.

Ia tidak tahu kapan semua ini akan berhenti. Ia tidak tahu sampai kapan ia akan terus seperti ini. Menyukai seseorang yang bahkan mungkin tidak menyadari keberadaannya.

Atau lebih buruk lagi—menyukai seseorang yang tidak akan pernah menoleh ke arahnya.

"Tapi lo tahu kan, dia cuma punya satu mantan?" Bianca melanjutkan, suaranya lebih hati-hati kali ini.

Alana mengangguk.

Tentu saja ia tahu. Semua orang tahu. Mantan satu-satunya Alfa adalah Nadine—salah satu cewek paling populer di sekolah. Cantik, pintar, dan berasal dari keluarga berada. Nadine adalah tipe cewek yang memang sepadan dengan Alfa.

Berbeda jauh dengan Alana yang hanya seorang gadis biasa, tenggelam di antara ratusan siswa lainnya.

"Gue nggak bilang lo harus nyerah," Bianca kembali berbicara. "Tapi kalau lo terus kayak gini tanpa ngelakuin apa-apa, lo bakal nyesel sendiri nantinya."

Alana menggigit bibir. Kata-kata itu menggantung di pikirannya.

Ia ingin melakukan sesuatu. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Dan di atas semua itu, ada satu hal yang paling ia takutkan.

Bagaimana kalau Alfa benar-benar tidak peduli?

***

Halte bus sudah tidak terlalu ramai ketika mereka sampai. Alana duduk di bangku panjang, sementara Bianca berdiri sambil memainkan ponselnya.

Matahari hampir tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Langit berubah warna menjadi gradasi antara biru dan oranye, membentuk pemandangan yang seharusnya indah—tapi bagi Alana, semuanya terasa hambar.

Pikirannya masih dipenuhi Alfa.

Bukan karena sesuatu yang spesifik. Tapi karena Alfa adalah seseorang yang selalu ada di sudut pikirannya, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Ia melamun cukup lama hingga suara deru motor mendekat.

Refleks, ia menoleh.

Dan di sana, hanya beberapa meter dari halte, Alfa melintas dengan motor hitamnya. Helmnya menutupi sebagian besar wajahnya, tapi Alana masih bisa mengenali postur tubuh dan gaya berkendaranya.

Seakan waktu melambat, ia hanya bisa memandangi pria itu.

Tapi sama seperti sebelumnya… Alfa tidak melihatnya.

Atau mungkin memang tidak pernah melihatnya.

Dan saat motor itu melaju pergi, Alana hanya bisa menatapnya dalam diam.

Hatinya ikut melayang, mengejar sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa ia genggam.

***

Angin sore bertiup lembut, membawa aroma aspal yang mulai mendingin setelah seharian diterpa matahari. Alana masih duduk di halte, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang semakin sepi. Bianca sudah pulang lebih dulu, meninggalkannya dengan pesan singkat, "Jangan kelamaan melamun, Al."

Tapi Alana tahu, ini bukan sekadar lamunan biasa.

Ia masih memikirkan Alfa.

Bayangan motor hitam itu, suara deru mesinnya yang samar-samar terdengar sebelum akhirnya menghilang di kejauhan—semuanya terasa seperti deja vu. Sudah dua tahun ia menyaksikan punggung yang sama menjauh, dan setiap kali itu terjadi, perasaannya semakin jelas.

Ia menyukai Alfa.

Bukan sekadar kagum, bukan sekadar tertarik. Tapi benar-benar menyukainya.

Namun, menyukai seseorang yang bahkan tidak menyadari keberadaanmu adalah ironi tersendiri. Seperti berusaha menggenggam angin—kau bisa merasakannya, tapi tidak pernah benar-benar bisa memilikinya.

Alana menghela napas. Ia menggenggam tali tasnya erat-erat, seolah itu bisa menahan kegelisahan yang sejak tadi menggantung di dadanya.

Bus akhirnya datang, melambat sebelum berhenti tepat di depannya. Alana naik tanpa banyak berpikir, mencari tempat duduk dekat jendela. Begitu ia duduk, kepalanya bersandar pelan pada kaca yang dingin.

Di luar, langit mulai kehilangan warna terakhirnya, menyisakan bayangan gelap yang perlahan menelan kota.

Dan di dalam hatinya, perasaan itu tetap sama.

Alfa masih menjadi seseorang yang ingin ia dekati, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.

***

Rumah Alana terletak di dalam kompleks perumahan yang tidak terlalu besar. Jalanannya sepi, hanya diterangi lampu jalan yang sinarnya tidak begitu terang. Begitu sampai, ia membuka pagar kecil di depan rumahnya dan masuk tanpa suara.

Di dalam, ibunya sedang duduk di ruang tamu, menonton televisi dengan ekspresi santai.

"Kamu kok baru pulang?" tanya ibunya begitu melihatnya.

"Tadi nunggu bus lama," jawab Alana sambil melepas sepatu.

Ibunya mengangguk kecil, lalu kembali fokus pada layar. Alana berjalan menuju kamarnya di lantai dua, melewati koridor yang hanya diterangi lampu kecil. Begitu masuk ke kamar, ia langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur.

Langit-langit putih di atasnya terasa begitu kosong. Tapi pikirannya justru penuh.

Ia ingin berhenti memikirkan Alfa, tapi rasanya mustahil.

Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah menyadari keberadaannya bisa begitu mendominasi pikirannya?

Alana menutup mata.

Ia tidak tahu kapan semua ini akan berakhir.

Atau mungkin, ia tidak benar-benar ingin ini berakhir.

Karena meskipun menyakitkan, menyukai Alfa adalah satu-satunya hal yang selalu terasa nyata.

Dan untuk saat ini… itu sudah cukup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tak Terlihat

    Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Antara Logika dan Perasaan

    Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Resonansi Tanpa Suara

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Sorot Mata yang Tak Terbaca

    Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tercipta

    Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Posesif

    Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Tersimpan dalam Diam

    Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen

    Last Updated : 2025-02-25

Latest chapter

  • Tersimpan dalam Diam   Posesif

    Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.

  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tercipta

    Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal

  • Tersimpan dalam Diam   Sorot Mata yang Tak Terbaca

    Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang

  • Tersimpan dalam Diam   Resonansi Tanpa Suara

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat

  • Tersimpan dalam Diam   Antara Logika dan Perasaan

    Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam

  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tak Terlihat

    Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari

  • Tersimpan dalam Diam   Semua Tentang Hati

    Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa."Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu."Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.

  • Tersimpan dalam Diam   Tersimpan dalam Diam

    Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status