Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.
Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu. Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama. Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama. *** Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari biasanya. Sekolah sudah ramai. Siswa-siswa bergerombol di depan kelas, suara obrolan bercampur dengan tawa lepas, menciptakan harmoni yang akrab. Tetapi di tengah semua itu, matanya menangkap sosok yang membuat segala sesuatu terasa melambat. Alfa. Ia berdiri di ujung koridor, bersandar pada dinding dengan ekspresi tenang yang selalu sama. Mata tajamnya menatap ponsel di tangan, tanpa peduli dengan hiruk-pikuk di sekitarnya. Ada sesuatu dalam caranya berdiri—seolah dunia tidak benar-benar menyentuhnya, seolah ia hidup dalam dunianya sendiri yang jauh dari jangkauan siapa pun. Dan di situlah letak daya tariknya. Alana menggigit bibir. Sudah dua tahun ia seperti ini—melihat punggungnya, menghafal setiap gerakannya, tetapi tetap tak mampu menyentuhnya. Alfa adalah batas yang tidak bisa ia lewati, jarak yang tidak bisa ia pangkas. Bahkan saat berada di sekolah yang sama, dunia mereka terasa begitu berbeda. Tapi tetap saja… ia tidak bisa berhenti melihatnya. "Al!" Suara Bianca menembus lamunannya, memaksanya kembali ke dunia nyata. Alana menoleh dan mendapati sahabatnya sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh selidik. "Lo lagi ngelihatin siapa, sih?" Bianca bertanya, meskipun nada suaranya lebih terdengar seperti pernyataan. Alana menegakkan bahu, berpura-pura acuh. "Nggak siapa-siapa." Bianca mendengus pelan, lalu melirik ke arah Alfa yang masih berdiri di tempat yang sama. "Lo sadar nggak sih, lo selalu kayak gini? Dari kelas sepuluh sampai sekarang kelas sebelas, tiap hari lo cuma bisa ngeliatin dia dari jauh." Alana diam. Karena Bianca benar. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Mendekati Alfa tidak semudah itu. Ia bukan seseorang yang bisa dengan mudah diajak bicara, apalagi oleh orang sepertinya—gadis yang bahkan mungkin tidak pernah ada dalam radar Alfa. "Lo nggak mau, sekali aja, coba ngomong sama dia?" Bianca melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. Alana menatap sahabatnya, lalu kembali mengalihkan pandangan ke Alfa yang kini berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikit pun. Lihat? Bahkan saat mereka berada di koridor yang sama, bahkan ketika hanya ada jarak beberapa langkah di antara mereka, Alfa tetap terasa begitu jauh. Dan mungkin, memang begitulah seharusnya. *** Hari itu berlalu seperti biasa. Tidak ada yang benar-benar berubah. Tidak ada percakapan yang terjadi antara dirinya dan Alfa. Tetapi di dalam hati Alana, perasaan itu tetap ada. Tetap tumbuh, tetap bertahan, meskipun ia tahu mungkin tidak akan pernah ada ruang bagi dirinya di dunia Alfa. Namun, jika hanya melihatnya dari jauh saja sudah cukup untuk membuat hatinya berdetak lebih kencang… maka ia rela berada dalam jarak ini. Jarak yang tak terlihat. Jarak yang selalu ada, tetapi tidak pernah benar-benar untuk dihapuskan. *** Langit di atas sekolah mulai kehilangan warna birunya, digantikan semburat abu-abu yang menggantung rendah. Waktu terasa melambat di antara dinding-dinding kelas, dan Alana masih terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia duduk di bangkunya, menatap ke luar jendela tanpa benar-benar melihat. Angin sore menyelinap masuk melalui celah kecil, mengusap lembut rambutnya yang tergerai di bahu. Di luar, beberapa siswa sudah mulai berhamburan keluar, menikmati detik-detik menuju kebebasan setelah seharian terkurung dalam pelajaran yang melelahkan. Tetapi Alana masih diam. Di sudut matanya, sosok Alfa melintas di halaman sekolah, berjalan dengan langkah santai namun tetap terasa berwibawa. Satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam tali tasnya yang disampirkan ke bahu. Ia tidak berbicara dengan siapa pun. Tidak tertawa. Tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Seperti biasa. Seperti seseorang yang tak bisa disentuh. Alana menggigit bibirnya. Ia benci bagaimana ia selalu bisa menemukannya, bahkan dalam keramaian. Ia benci bagaimana Alfa seakan memiliki gravitasi sendiri, menariknya dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Tapi yang lebih ia benci… adalah bagaimana Alfa tak pernah sadar akan kehadirannya. *** "Lo seriusan nggak pulang?" Suara Bianca memecah lamunannya. Alana menoleh, mendapati sahabatnya yang kini berdiri dengan tangan bersedekap. "Sebentar lagi," jawab Alana pelan. Bianca mendesah. "Al, lo jangan bilang lo masih kepikiran Alfa." Alana tidak menjawab. Bukan karena ia tidak ingin, tetapi karena ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri. Suka—kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan apa yang ia rasakan. Ini bukan sekadar rasa kagum yang muncul sesaat lalu menghilang. Ini bukan sekadar suka yang bisa ia alihkan begitu saja. Ini sesuatu yang tumbuh, mengakar, dan semakin kuat seiring waktu. Bianca mendudukkan diri di bangku di depan Alana. "Al, dengerin gue, ya. Lo harus mulai sadar kalau Alfa itu bukan seseorang yang gampang dideketin." Alana tertawa kecil, tanpa humor. "Gue udah tahu itu." "Bukan cuma itu," lanjut Bianca. "Dia juga… susah buat peduli sama orang lain." Alana terdiam. Ia tahu Alfa bukan tipe yang suka berbaur, tetapi mendengar Bianca mengatakannya secara gamblang membuatnya terasa lebih nyata. "Dan lo sadar nggak, selama dia sekolah di sini, dia cuma pernah pacaran sekali? Itu pun sama cewek yang nggak sembarangan," lanjut Bianca. Alana mengangguk kecil. Ia tahu soal itu. Semua orang tahu. Mantan Alfa—satu-satunya perempuan yang pernah ada di sisinya—adalah seseorang yang sempurna dalam segala aspek. Pintar, cantik, populer, dan berasal dari keluarga terpandang. Dan Alana? Ia hanya seorang gadis biasa yang bahkan mungkin tidak pernah ada dalam radar Alfa. Tapi tetap saja… ia tidak bisa menghapus perasaan ini. *** Langit semakin gelap saat Alana akhirnya melangkah keluar gerbang sekolah. Udara mulai berubah, menyisakan sisa-sisa kehangatan matahari yang perlahan menghilang. Jalanan di depan sekolah masih cukup ramai, siswa-siswa yang pulang lebih lambat berjalan berkelompok, beberapa naik sepeda, dan sebagian lagi menunggu jemputan. Alana berjalan pelan di trotoar, menikmati angin yang berembus ringan. Lalu, sesuatu membuatnya berhenti. Di seberang jalan, Alfa berdiri di samping motornya. Ia tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon, ekspresinya tetap datar seperti biasa. Tapi yang membuat Alana terdiam bukanlah itu. Melainkan cara matahari senja memantulkan siluet Alfa—menciptakan bayangan panjang di aspal, seakan dunia pun enggan melepaskannya terlalu cepat. Ia terlihat seperti sosok dari dunia lain. Seseorang yang seharusnya hanya bisa dilihat, tetapi tidak pernah bisa dimiliki. Alana tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana, membiarkan matanya menangkap setiap detail kecil. Tapi kemudian, tanpa peringatan, Alfa menoleh. Dan untuk sepersekian detik, mata mereka bertemu. Detik itu terasa lebih lambat dari biasanya. Alana tidak tahu apakah itu hanya perasaannya, atau memang waktu seakan menahan napasnya sendiri. Mata Alfa bertemu dengan matanya—bukan sekadar tatapan biasa, tetapi sesuatu yang lebih. Sebuah pertemuan singkat yang cukup untuk membuat seluruh tubuh Alana membeku. Ia ingin berpaling, tetapi tidak bisa. Alfa menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali fokus pada teleponnya, seolah pertemuan mata itu tidak pernah terjadi. Alana mengembuskan napas pelan. Ia tahu itu bukan apa-apa. Hanya kebetulan. Tapi anehnya, dadanya tetap berdetak lebih cepat dari biasanya. *** Malam itu, Alana berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang gelap. Pikirannya masih berputar pada satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Alfa. Bagaimana bisa satu tatapan saja cukup untuk membuatnya terjaga seperti ini? Ia menutup matanya, berusaha untuk tidak memikirkan apa pun. Tetapi, semakin ia mencoba, semakin jelas bayangan Alfa dalam pikirannya. Ternyata, menyukai seseorang yang tak pernah bisa kau miliki bukan hanya menyakitkan. Tetapi juga membuatmu terjebak dalam keheningan yang tidak bisa dijelaskan. Dan Alana… mungkin akan terjebak di dalamnya untuk waktu yang lebih lama dari yang ia bayangkan. *** Langit pagi tersapu warna biru pucat dengan gumpalan awan putih yang melayang lambat, seolah enggan beranjak dari tempatnya. Matahari baru saja merangkak naik, mengirimkan cahaya hangat yang jatuh lembut di atas bangunan sekolah. Angin tipis mengalir di antara lorong-lorong, mengusik dedaunan yang berguguran di halaman, menciptakan suara gesekan halus yang hampir tak terdengar. Alana menarik napas dalam-dalam saat melewati gerbang sekolah. Rasanya aneh—seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang samar tapi nyata. Mungkin hanya pikirannya sendiri yang terlalu sibuk sejak kejadian kemarin, saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Alfa. Ia masih bisa mengingatnya dengan jelas. Bagaimana detik itu terasa lebih lambat, bagaimana perasaan aneh menyeruak dari dalam dirinya, dan bagaimana mata tajam Alfa seolah menembus setiap pikirannya. Bukan apa-apa. Hanya kebetulan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Koridor sekolah sudah mulai ramai, dipenuhi suara langkah kaki yang berbaur dengan tawa ringan siswa-siswa yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Alana berjalan santai, menelusuri lorong panjang menuju kelasnya. Hingga kemudian, ia melihatnya. Alfa berdiri di dekat jendela, mengenakan seragamnya yang selalu terlihat rapi, meskipun tidak berlebihan. Cahaya matahari jatuh di wajahnya, mempertegas garis rahang tajamnya dan sorot matanya yang dingin. Ia tampak santai, satu tangan dimasukkan ke dalam saku celananya sementara tangan lainnya menggenggam botol minuman. Tetapi yang membuat Alana terhenti bukan hanya keberadaannya di sana. Melainkan fakta bahwa Alfa juga melihatnya. Bukan sekadar melirik atau menatap sekilas seperti orang asing yang kebetulan bertemu. Alfa benar-benar melihatnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan ketertarikan, bukan juga keingintahuan, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menyadari keberadaan orang lain yang selama ini tak pernah ia perhatikan. Alana tidak tahu harus berbuat apa. Mundur? Berpura-pura tidak melihat? Atau tetap berjalan melewatinya seolah tidak terjadi apa-apa? Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Alfa bergerak. Ia mendorong tubuhnya dari jendela, lalu melangkah ke arahnya. Langkahnya santai, tetapi tetap memiliki aura yang membuat orang lain secara naluriah menyingkir dari jalannya. Alana membeku. Dan sebelum ia sempat benar-benar memproses apa yang sedang terjadi, Alfa sudah berdiri tepat di depannya. "Lo." Satu kata sederhana, tapi cukup untuk membuat dunia Alana seakan berhenti berputar. Alfa menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tidak ada senyum, tidak ada tanda-tanda emosi di wajahnya. Tapi tatapan matanya tajam, seolah menguliti setiap inci dari dirinya. Alana merasa tenggorokannya mengering. Ini pertama kalinya Alfa berbicara langsung kepadanya. Dan fakta bahwa suara itu terdengar dalam, sedikit serak, tapi tetap memiliki ketegasan, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. "Gue?" Alana akhirnya membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih kecil dari yang ia harapkan. Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya memiringkan sedikit kepalanya, seakan sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Kemarin," katanya akhirnya. "Kenapa lo ngeliatin gue?" Alana membelalakkan mata. "Hah?" Alfa mengangkat satu alisnya, seolah tidak terpengaruh oleh keterkejutan Alana. "Di depan gerbang. Lo berdiri di sana cukup lama, dan lo liatin gue." Darah di wajah Alana seketika menghangat. Astaga. Dia menyadarinya. Ia pikir tatapan mereka kemarin hanyalah kebetulan, sesuatu yang tidak akan diingat oleh Alfa. Tapi ternyata… tidak. Alana mencoba berpikir cepat. Apa yang harus ia katakan? Mengelak? Mengarang alasan? Atau jujur saja dan menanggung risikonya? "Gue… nggak sengaja," jawabnya akhirnya, meskipun kedengarannya lebih seperti alasan klise. Alfa masih menatapnya, tapi kali ini ekspresinya sedikit berubah. Ada sesuatu di matanya—sebuah kilasan yang nyaris terlihat seperti… skeptis? "Nggak sengaja?" ulang Alfa pelan, seolah sedang mempertimbangkan apakah ia harus mempercayai kata-kata itu atau tidak. Alana mengangguk cepat. "Iya. Gue cuma lagi mikir, terus nggak sadar kalau gue ngeliatin lo." Alfa masih diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Ya udah." Hanya itu yang ia katakan sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alana yang masih berdiri di tempatnya dengan jantung yang berdebar kencang. *** Hari itu, Alana tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi pagi. Alfa menyadari tatapannya. Alfa menghampirinya. Alfa berbicara padanya. Itu mungkin bukan sesuatu yang besar bagi orang lain, tapi bagi seseorang yang telah menyukai Alfa dalam diam selama dua tahun, ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Alana menghela napas panjang. Harusnya ini tidak berarti apa-apa. Harusnya ia tidak berpikir terlalu jauh. Tapi tetap saja, ada perasaan aneh yang mengalir di dadanya. Seakan… jarak yang selama ini ada di antara mereka, perlahan mulai berubah. Bukan hilang. Tapi semakin dekat. *** Hari-hari setelah kejadian itu berlalu begitu saja, tetapi tidak dengan pikiran Alana. Tatapan Alfa, pertanyaan singkatnya, dan bagaimana ia seolah benar-benar memperhatikan Alana—semua itu masih berputar di kepalanya. Tapi yang lebih membuatnya bingung adalah fakta bahwa setelah itu, Alfa bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah ia tidak pernah menyadari keberadaan Alana lagi. Tidak ada tatapan. Tidak ada percakapan. Tidak ada tanda bahwa ia mengingat interaksi mereka sebelumnya. Sejujurnya, Alana sedikit kecewa. Bukan berarti ia berharap lebih, tetapi ada bagian kecil dalam dirinya yang sempat berpikir bahwa mungkin… hanya mungkin, Alfa akan mulai memperhatikannya. Tapi nyatanya? Tidak. Dan kini, Alana berusaha keras untuk mengubur harapan yang seharusnya tidak pernah ia miliki sejak awal. *** Pagi itu, suasana sekolah sama seperti biasanya—ramai, penuh dengan suara langkah kaki dan obrolan yang mengisi lorong-lorong. Alana berjalan menuju kelas dengan langkah santai, tetapi pikirannya penuh dengan hal lain. Ia mencoba untuk fokus pada ujian yang akan datang, tetapi otaknya terus berkhianat dengan memunculkan bayangan seseorang yang tidak seharusnya ia pikirkan. Tiba-tiba, suara gaduh di ujung lorong menarik perhatiannya. Beberapa siswa berkumpul di depan papan pengumuman, terlihat berbisik-bisik dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Alana mempercepat langkahnya, merasa penasaran. Sampai akhirnya, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terhenti di tempat. Sebuah kertas pengumuman ditempel di papan, dengan huruf tebal yang membuat siapa pun bisa membacanya dengan jelas: "ALFA RAYNARD – KETUA OSIS BARU" Jantung Alana berdegup lebih cepat. Alfa… jadi Ketua OSIS? Ia tahu Alfa selalu memiliki reputasi sebagai siswa pintar dan berbakat, tetapi selama ini, ia tidak pernah terlihat tertarik dengan organisasi sekolah. Namun, sebelum Alana bisa mencerna informasi itu lebih jauh, suara seseorang memecah lamunannya. “Gila, lo lihat yang di bawahnya nggak?” Alana mengerutkan kening. Ia menurunkan pandangannya ke bagian bawah kertas pengumuman, lalu membelalakkan mata. "WAKIL KETUA OSIS: ALANA DIRA." Apa?! Alana nyaris tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ada kesalahan, kan? Pasti ada kesalahan! Ia tidak pernah mendaftar untuk posisi ini. Ia bahkan tidak pernah tertarik untuk ikut OSIS! Bagaimana bisa namanya ada di sana?! Alana masih dalam keadaan syok saat ia mendengar seseorang berdiri di sampingnya. "Lo kelihatan kaget." Suaranya datar, tapi Alana bisa langsung mengenalinya. Perlahan, ia menoleh. Alfa berdiri di sana dengan tangan di saku celananya, menatap papan pengumuman dengan ekspresi datar. Seolah ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Seolah ini hanyalah hal biasa baginya. Alana, di sisi lain, masih berusaha memproses semuanya. "Lo… tahu soal ini?" tanyanya akhirnya. Alfa meliriknya sekilas sebelum mengangguk pelan. "Gue yang ngerekomendasiin lo." Alana hampir kehilangan keseimbangan. Alfa yang merekomendasikannya?! "Tunggu… apa?" "Gue yang nyaranin nama lo buat jadi wakil gue," jawab Alfa santai. "Dan ternyata diterima." Alana tidak bisa berkata-kata. Otaknya masih mencoba memahami situasi ini, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia tidak mengerti. "Kenapa?" Itu satu-satunya pertanyaan yang bisa ia keluarkan. Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alana selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Karena gue butuh seseorang yang bisa gue percaya." Alana terdiam. Ada sesuatu dalam cara Alfa mengatakannya yang membuat hatinya berdebar lebih cepat. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah ia bayangkan. Mungkin… selama ini, Alfa sudah memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. *** "Gue yang nyaranin nama lo buat jadi wakil gue." Alana tidak pernah menyangka namanya bisa terukir di papan pengumuman, berdampingan dengan nama seseorang yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari kejauhan. Dan yang lebih mengejutkan—orang yang membuat namanya ada di sana adalah Alfa. Kenapa? Ia bahkan tidak pernah ikut dalam kepengurusan OSIS sebelumnya. Ia bukan siswa yang aktif dalam kegiatan sekolah, dan yang paling penting, ia tidak pernah mendaftar. Alana menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Mungkin ini hanya kesalahan. Mungkin Alfa hanya memilih namanya secara acak tanpa alasan khusus. Tapi kata-kata terakhirnya masih terngiang jelas di kepalanya. "Karena gue butuh seseorang yang bisa gue percaya." Kepercayaan? Dari mana? Mereka bahkan tidak pernah berbicara lebih dari dua kali. Alana benar-benar tidak mengerti. *** Koridor sekolah sudah mulai ramai saat Alana tiba. Para siswa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan hal-hal yang menarik perhatian mereka pagi itu. Dan seperti yang sudah ia duga, nama yang terpampang di papan pengumuman menjadi salah satu topik hangat. “Gila, gue nggak nyangka Alfa mau jadi Ketua OSIS.” “Lo lebih nggak nyangka lagi kalau tahu siapa wakilnya.” Alana menahan napas saat mendengar percakapan dua siswi yang sedang berjalan melewatinya. “Alana Dira? Serius, lo?” “Iya! Gue denger dia bahkan nggak daftar, tapi Alfa sendiri yang pilih dia!” “Astaga… mereka deket, ya?” Alana menghela napas dalam. Ini yang ia takutkan. Sekarang, semua orang pasti berpikir ada sesuatu antara dia dan Alfa. Bukan. Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah… ia bahkan tidak tahu kenapa Alfa memilihnya. *** Langkahnya terhenti di depan ruang OSIS. Ia tahu ia harus masuk. Hari ini ada pertemuan perdana untuk kepengurusan baru, dan sebagai seseorang yang namanya ada di daftar, ia tidak punya pilihan lain selain datang. Tapi ada satu hal yang membuatnya enggan melangkah masuk. Di balik pintu itu, ada Alfa. Dan ia masih belum siap untuk berhadapan dengannya. Tapi sebelum ia bisa memikirkan cara untuk menunda masuk, suara familiar terdengar dari belakangnya. “Lo mau berdiri di situ terus?” Alana merasakan jantungnya melompat. Dengan gerakan lambat, ia menoleh. Dan benar saja. Alfa berdiri di sana dengan tangan di saku celananya, menatapnya dengan tatapan datar. Alana menelan ludah. Kenapa setiap kali ia mencoba menghindar, Alfa selalu muncul di saat yang tidak tepat? “Gue lagi mikir,” jawabnya pelan. Alfa menaikkan satu alisnya. “Mikir apa?” Alana menunduk, berpikir apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Alfa sudah lebih dulu membuka pintu ruang OSIS dan menatapnya. “Kalau lo udah kepilih, berarti lo harus masuk.” Nada suaranya tidak mengandung emosi, tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat Alana menurut begitu saja. Ia melangkah masuk dengan perasaan bercampur aduk. Ruang OSIS lebih besar dari yang ia kira. Ada meja panjang di tengah dengan beberapa kursi di sekelilingnya. Beberapa siswa sudah duduk, menatapnya dengan berbagai ekspresi—ada yang penasaran, ada yang terkejut, dan ada juga yang tidak peduli. Alana bisa merasakan tatapan mereka mengikuti setiap langkahnya. Dan di saat itulah, ia sadar. Ia benar-benar terjebak dalam sesuatu yang tidak ia pahami. Alfa berjalan santai menuju kursinya di ujung meja, kemudian duduk tanpa berkata apa-apa. Seolah ini hanyalah rutinitas biasa baginya. Alana, di sisi lain, merasa seperti ikan kecil yang dilempar ke kolam penuh hiu. Ia masih bingung. Masih bertanya-tanya. Tapi saat tatapannya bertemu dengan Alfa, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan… Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan.Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam
Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat
Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang
Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal
Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.
Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen
Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa."Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu."Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.
Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.
Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal
Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang
Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat
Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam
Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari
Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa."Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu."Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.
Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen