Home / Young Adult / Tersimpan dalam Diam / Resonansi Tanpa Suara

Share

Resonansi Tanpa Suara

last update Last Updated: 2025-02-26 02:56:34

Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.

Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.

Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.

Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.

Padahal tidak.

Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.

Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat mata.

"Ada yang lo pikirin?"

Suara Alfa memecah keheningan, membuat Alana sedikit tersentak. Ia menutup bukunya dan menatap cowok itu dengan alis terangkat.

"Kenapa lo nanya gitu?"

Alfa tidak langsung menjawab. Ia menatap buku yang masih terbuka di depannya, mengetukkan jemarinya pelan di meja, lalu berkata, "Lo kelihatan nggak fokus dari tadi."

Alana terdiam. Dia tidak tahu harus senang atau bingung karena Alfa memperhatikannya sampai sejauh itu.

"Gue cuma lagi kepikiran sesuatu," jawabnya akhirnya.

Alfa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya dengan mata penuh selidik. "Apa?"

Alana menghela napas, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Lo berubah."

Sebuah jeda.

Alfa tidak langsung menanggapi, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Gimana maksudnya?"

Alana mengangkat bahu. "Lo biasanya nggak gini. Nggak banyak nanya."

Alfa tersenyum kecil, sesuatu yang jarang sekali Alana lihat. "Mungkin gue mulai penasaran."

"Penasaran?"

"Lo. Cara lo mikir. Cara lo ngeliat sesuatu."

Alana tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jantungnya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

"Jadi lo mulai mikir juga?" tanyanya, mencoba terdengar santai.

Alfa menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Mungkin."

Jawaban itu sederhana, tapi cukup untuk membuat keheningan di antara mereka menjadi lebih berarti.

Di luar jendela, langit mulai berangsur cerah. Tapi di dalam ruangan ini, sesuatu sedang berubah—perlahan, tapi pasti.

Dan Alana tahu, ini bukan sekadar kebetulan.

***

Langit malam mulai menghitam, dihiasi bintang-bintang yang bersinar malu-malu di kejauhan. Sekolah sudah hampir sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler. Di halaman belakang, di bawah pohon rindang yang jarang dilewati orang, Alana berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku rok.

Dia tidak menyangka masih berada di sekolah selama ini. Apalagi, berdiri di sini dengan seseorang yang tak pernah ia duga—Alfa.

"Lo nggak pulang?" tanya Alana akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Alfa, yang sejak tadi bersandar di batang pohon, meliriknya sekilas. "Lo juga belum."

Alana mendesah pelan, menendang-nendang kerikil di kakinya. "Gue nunggu dijemput."

"Terus kenapa lo malah di sini?"

Alana mengangkat bahu. "Gue suka tempat ini. Tenang."

Alfa diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Gue juga."

Mata Alana sedikit melebar. "Serius?"

Alfa tidak menjawab, hanya menatap langit. Tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Alana percaya kalau cowok itu tidak asal bicara.

"Lo berubah," kata Alana tanpa sadar.

Alfa menoleh, ekspresinya tetap datar, tapi ada sedikit ketertarikan dalam tatapannya. "Apa maksud lo?"

Alana menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Lo yang dulu nggak bakal buang waktu buat hal-hal kayak gini. Ngobrol lama-lama. Dengerin omongan orang. Apalagi nungguin seseorang tanpa alasan jelas."

Angin malam berhembus pelan, menyibak beberapa helai rambut Alana. Alfa tidak langsung merespons. Dia hanya menatap Alana dengan pandangan yang sulit ditebak, lalu akhirnya berkata, "Mungkin gue mulai sadar kalau ada beberapa hal yang layak buat diperhatiin."

Jantung Alana berdetak lebih cepat. Dia tidak tahu apakah dia salah menafsirkan makna kata-kata itu, tapi getaran aneh dalam dirinya tidak bisa diabaikan.

"Kaya apa?" tanyanya pelan.

Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, begitu lama hingga Alana merasa seperti ada sesuatu yang menggantung di udara di antara mereka. Sesuatu yang samar, tapi nyata.

Akhirnya, Alfa hanya berkata, "Entahlah," sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alana dengan pikirannya sendiri.

Dan saat Alana berdiri di sana, merasakan jejak kata-kata Alfa masih mengalir dalam pikirannya, dia sadar—ada sesuatu yang berubah di antara mereka.

Alana masih berdiri di tempatnya, membiarkan kata-kata Alfa berputar-putar di kepalanya. Udara malam semakin dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya bergidik—melainkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang muncul sejak beberapa waktu lalu saat Alfa mulai menunjukkan perubahan.

Dia melihat punggung Alfa yang semakin menjauh, langkahnya tetap tenang dan penuh percaya diri seperti biasa. Tapi ada sesuatu dalam cara cowok itu pergi yang terasa lain. Tidak lagi seperti Alfa yang dulu, yang selalu dingin dan tak peduli pada sekitarnya.

Tanpa berpikir panjang, Alana melangkah cepat, mengejar Alfa.

"Alfa!" panggilnya.

Cowok itu berhenti, menolehkan kepala sedikit, seakan menunggu Alana bicara lebih lanjut.

Alana mengatur napasnya sebelum akhirnya berkata, "Gue nggak ngerti lo sekarang."

Alfa mengangkat sebelah alisnya. "Maksud lo?"

Alana menggigit bibirnya, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Lo beda."

Alfa menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyandarkan tubuhnya ke tiang lampu taman sekolah. "Lo bilang gitu terus. Tapi gue nggak ngerasa ada yang berubah."

Alana menghela napas, frustasi. "Lo mungkin nggak sadar, tapi gue sadar. Lo lebih banyak ngomong. Lebih... ada."

Alfa menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seperti sedang menimbang sesuatu dalam kepalanya.

"Apa itu masalah?" tanyanya akhirnya.

Alana terdiam. Itu bukan masalah, tapi tetap saja membuatnya bingung. Selama dua tahun, Alfa adalah sosok yang selalu berada di luar jangkauan, dingin dan tak tersentuh. Sekarang, tiba-tiba saja dia ada di sini—tidak hanya secara fisik, tapi juga dalam cara yang lebih dalam.

"Kenapa?" akhirnya Alana bertanya. "Kenapa lo mulai berubah?"

Alfa tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai menggelap, lalu kembali menatap Alana.

"Mungkin gue mulai penasaran," katanya akhirnya.

Alana mengerutkan kening. "Penasaran sama apa?"

Alfa mendekat selangkah, membuat Alana bisa melihat pantulan cahaya lampu di matanya yang tajam. "Sama lo."

Jantung Alana mencelos.

Satu detik. Dua detik. Waktu terasa melambat.

Dia ingin bertanya lebih jauh, tapi suara klakson mobil terdengar dari gerbang sekolah, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.

Alana menoleh ke arah suara, melihat mobil yang menjemputnya telah tiba. Saat ia kembali menatap Alfa, cowok itu masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Alana menghela napas, lalu berbalik pergi menuju mobilnya.

Tapi saat dia membuka pintu, suara Alfa kembali terdengar.

"Alana."

Alana menoleh, menunggu kata-kata selanjutnya.

Tapi Alfa hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya berkata, "Hati-hati di jalan."

Alana tersenyum tipis. "Lo juga."

Saat mobil mulai melaju meninggalkan sekolah, Alana bersandar di kursi, membiarkan pikirannya dipenuhi oleh satu hal:

Alfa tidak pernah mengatakan hal seperti itu sebelumnya.

Dan itu membuat dadanya berdebar dengan cara yang tak biasa.

***

Pagi datang dengan langit yang masih pucat, matahari baru saja menyembulkan sinarnya di ufuk timur. Alana melangkah memasuki gerbang sekolah dengan langkah pelan, membiarkan udara pagi menyegarkan pikirannya yang masih penuh dengan kejadian semalam.

Suara Alfa masih terngiang di kepalanya.

"Mungkin gue mulai penasaran. Sama lo."

Itu bukan kalimat yang seharusnya keluar dari mulut Alfa—cowok yang selama ini dikenal dingin, acuh, dan selalu menjaga jarak dari orang lain. Tapi kenyataannya, dia mengatakannya.

Dan itu membuat semuanya terasa berbeda.

"Alana!"

Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh dan menemukan dua temannya, Rina dan Siska, berjalan mendekat.

"Lo kenapa jalan sambil melamun?" tanya Rina, menyipitkan mata curiga.

"Nggak ada apa-apa," jawab Alana cepat, berusaha menghindari tatapan investigatif mereka.

Tapi Siska tidak begitu saja percaya. "Jangan-jangan ada hubungannya sama Alfa?"

Alana nyaris tersedak udara. "Hah? Kenapa tiba-tiba nyebut dia?"

Rina dan Siska saling bertukar pandang sebelum tertawa kecil. "Karena akhir-akhir ini kita sering lihat lo bareng dia," kata Rina dengan nada menggoda.

Alana menggeleng, berusaha terlihat setenang mungkin. "Kita cuma kebetulan sering ketemu aja."

"Kebetulan yang terjadi berkali-kali itu namanya takdir, Lan," timpal Siska sambil terkikik.

Alana mendesah, memilih untuk tidak melanjutkan topik itu.

Namun, pikirannya tetap tidak bisa berhenti memikirkan satu hal: sejak kapan orang-orang mulai memperhatikan interaksinya dengan Alfa?

***

Hari itu berjalan seperti biasa. Pelajaran berlangsung tanpa banyak hal menarik, dan Alana mencoba untuk tetap fokus meskipun pikirannya terus saja kembali ke satu orang tertentu.

Saat istirahat tiba, Alana memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Tempat itu selalu menjadi pelariannya saat ia ingin menenangkan diri.

Tapi, begitu masuk ke dalam, langkahnya terhenti.

Di sana, di sudut yang jarang dihuni orang, duduk seseorang yang sangat dikenalnya.

Alfa.

Cowok itu tampak serius membaca sebuah buku, jarinya mengetuk perlahan permukaan meja seperti sedang mencerna setiap kata yang ia baca.

Tanpa sadar, Alana mendekat. "Lo baca buku filsafat?"

Alfa menoleh, ekspresinya tetap datar, tapi ada sedikit kilatan dalam matanya. "Gue cuma penasaran."

Alana mengerutkan kening. "Penasaran?"

Alfa menutup bukunya, menatap Alana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Lo pernah bilang sesuatu tentang eksistensi manusia. Gue pengen tahu lebih jauh."

Alana menatapnya tak percaya. "Jadi lo mulai baca filsafat cuma gara-gara gue?"

Alih-alih menjawab, Alfa hanya menatapnya dengan intens, seolah jawaban atas pertanyaannya sudah jelas.

Alana merasa dadanya menghangat. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alfa melihatnya sekarang—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu biasa.

Dia tahu ada yang berubah.

Dan mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang tak terdefinisi.

Alana berdiri di depan meja Alfa, mencoba mencari makna tersembunyi di balik kata-kata cowok itu. Perasaan aneh mengalir dalam dirinya—campuran antara terkejut, bingung, dan sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

"Gue nggak nyangka lo bakal tertarik sama filsafat," kata Alana akhirnya, mencoba terdengar biasa saja.

Alfa menutup bukunya perlahan. "Gue juga nggak nyangka."

Alana mengernyit. "Terus kenapa lo baca?"

Sejenak, Alfa hanya menatapnya, lalu mengangkat bahu. "Lo sering ngomong pakai teori filsafat. Gue cuma penasaran... apa yang sebenarnya ada di kepala lo."

Jawaban itu membuat Alana terdiam.

Bukan hanya karena isinya, tapi juga karena cara Alfa mengatakannya—tanpa ragu, tanpa basa-basi, seakan itu adalah hal paling wajar di dunia.

"Jadi, lo baca ini semua buat ngerti cara gue mikir?"

Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, kemudian berkata dengan nada yang nyaris terdengar tenang, "Mungkin."

Hati Alana berdebar tanpa alasan yang jelas.

"Lo suka Sartre atau Camus?" tanya Alfa tiba-tiba, membolak-balik halaman bukunya.

Alana mengerjap, sedikit terkejut bahwa Alfa bahkan sudah mengenal dua filsuf besar itu. "Gue lebih suka Camus," jawabnya akhirnya.

Alfa mengangguk pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Lo percaya manusia hidup tanpa tujuan?"

Alana menyandarkan diri ke meja, menatap Alfa dengan serius. "Gue lebih percaya kalau manusia sendiri yang menentukan makna hidupnya. Camus bilang, hidup itu absurd, tapi kita tetap bisa memberinya makna dengan pilihan-pilihan yang kita buat."

Alfa menatapnya tanpa berkedip, seolah menyerap setiap kata yang ia ucapkan.

"Jadi lo percaya kalau manusia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri?"

Alana mengangguk. "Iya. Gue nggak percaya kalau semuanya udah ditentukan dari awal. Kita punya kendali atas apa yang kita pilih dan itu yang bikin hidup ini berarti."

Alfa terdiam. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berubah, sesuatu yang dalam dan penuh pemikiran.

"Menarik," gumamnya akhirnya.

Alana tersenyum tipis. "Lo sendiri gimana?"

Alfa menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit perpustakaan sejenak sebelum kembali menatap Alana. "Gue nggak tahu. Tapi mungkin... sekarang gue mulai percaya kalau beberapa hal memang layak diperjuangkan."

Alana menahan napas. Ada sesuatu dalam nada suara Alfa yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara bel berbunyi, menandakan bahwa istirahat telah usai.

Alfa berdiri, menyelipkan buku filsafat ke dalam tasnya. "Gue balik ke kelas."

Alana masih diam di tempatnya, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi.

Sebelum Alfa benar-benar pergi, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh, "Lo nggak sendirian dalam cara lo mikir, Alana."

Setelah itu, ia berjalan pergi, meninggalkan Alana dengan pikirannya sendiri—dan dengan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.

Sesuatu yang lebih dari sekadar penasaran. Sesuatu yang belum bisa ia definisikan.

Tapi ia tahu satu hal pasti: Alfa mulai membuka dirinya.

Dan itu adalah hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

***

Pagi itu, Alana melangkah memasuki gerbang sekolah dengan langkah yang biasa. Angin pagi masih membawa sisa dingin malam, menyapu pelan rambutnya yang dibiarkan tergerai. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara pagi mengisi dadanya, mencoba membangkitkan semangat untuk menghadapi hari ini.

Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Alfa.

Bersandar di tiang bendera dengan tangan di saku celana, wajahnya tetap setenang langit mendung yang tak terbaca. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Alana mengernyit.

Menunggu.

Apakah ia sedang menunggu seseorang?

Tapi seiring dengan langkah Alana yang semakin mendekat, tatapan Alfa tetap terkunci padanya, seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Seolah hanya dirinya yang ada di dalam pandangan cowok itu.

Dan ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa langkah, Alfa akhirnya membuka mulut.

"Lo sengaja datang telat biar gue nungguin lo?"

Alana terhenti, sedikit kebingungan.

"Nungguin gue?" ulangnya, mencoba memastikan bahwa telinganya tidak salah menangkap kata-kata itu.

Alfa tidak menjawab secara langsung. Ia hanya mengangkat bahu santai, ekspresinya tetap datar. "Mungkin."

Lagi-lagi kata itu.

Mungkin.

Seolah ia tidak mau mengakui, tapi juga tidak mau menyangkal.

Alana menghela napas pelan. "Lo ngomong ‘mungkin’ terus. Bisa nggak lo kasih jawaban yang jelas?"

Alfa meliriknya sekilas, kemudian menatap lurus ke depan. "Jawaban jelasnya? Gue pengen jalan bareng lo ke kelas."

Sesaat, Alana tidak tahu harus merespons bagaimana.

Karena dari sekian banyak kemungkinan jawaban yang bisa keluar dari mulut Alfa, itu adalah jawaban yang paling tidak ia duga.

Biasanya, Alfa adalah tipe orang yang berjalan sendiri, tidak peduli dengan siapa pun di sekitarnya. Tapi sekarang, ia memilih berjalan bersamanya.

Sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang terasa... aneh.

Tapi aneh yang tidak buruk.

Dan entah kenapa, detik itu juga, udara pagi yang semula dingin terasa sedikit lebih hangat.

***

Saat jam istirahat tiba, Alana memutuskan untuk pergi ke kantin lebih awal. Ia ingin duduk sendiri sebentar sebelum teman-temannya datang.

Ia baru saja meletakkan nampan makanannya di meja saat sebuah suara terdengar dari arah seberang.

"Apa tempat ini kosong?"

Alana menoleh, mendapati Alfa sudah menarik kursi di depannya dan duduk tanpa menunggu jawaban.

Ia menatap cowok itu dengan alis terangkat. "Lo ngapain duduk di sini?"

Alfa meraih botol air mineral dari tasnya, membukanya, lalu meneguk isinya perlahan sebelum menjawab, "Gue laper."

Alana masih menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Dan itu artinya lo harus duduk bareng gue?"

Alfa menaruh botolnya, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa nggak?"

Alana kehilangan kata-kata.

Dari semua tempat di kantin, kenapa Alfa harus memilih duduk di hadapannya?

Apalagi dengan cara setenang itu, seakan ini adalah hal yang wajar.

Seakan ia tidak peduli dengan tatapan beberapa siswa lain yang mulai melirik ke arah mereka—karena siapa yang tidak penasaran melihat Alfa, si cowok dingin yang jarang berbaur, tiba-tiba duduk bersama seorang cewek di kantin?

"Lo nggak makan?" suara Alfa kembali terdengar, membuyarkan pikiran Alana.

Ia baru sadar bahwa sejak tadi ia hanya diam menatap makanannya tanpa menyentuhnya.

Dengan sedikit gugup, ia mengambil sendok dan mulai makan. Namun, di tengah-tengah suapan, ia menyadari sesuatu.

Alfa juga tidak makan.

Ia hanya duduk di sana, minum air mineralnya, dan... menatapnya.

Mata tajamnya tetap memperhatikan setiap gerakan kecil Alana, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.

"Lo nggak makan?" kini giliran Alana yang bertanya.

Alfa mengangkat bahu. "Nggak terlalu laper."

Alana mengerutkan kening. "Terus kenapa lo ke kantin?"

Alfa tersenyum tipis, tapi tidak menjawab.

Dan untuk pertama kalinya, Alana merasa ada sesuatu yang lain dalam senyum itu. Sesuatu yang ia belum bisa pahami.

Tapi satu hal yang pasti: Alfa mulai berubah.

Dan perubahan itu semakin nyata.

***

Sepulang sekolah, Alana berjalan keluar gerbang dengan langkah santai. Namun, langkahnya kembali terhenti saat melihat Alfa berdiri di dekat motornya, tangan masih berada di saku celana seragamnya.

Sama seperti pagi tadi, tatapan cowok itu terkunci padanya, seolah hanya dirinya yang ada di dunia ini.

"Lo mau gue anterin pulang?" tanya Alfa, nadanya terdengar santai, tapi ada ketegasan yang tersembunyi di baliknya.

Alana terdiam.

Jika ini adalah Alfa yang dulu, ia tidak akan pernah menawarkan hal seperti ini.

Tapi sekarang, cowok itu melakukannya—dengan cara yang tidak bisa diabaikan.

"Kenapa?" akhirnya Alana bertanya.

Alfa menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, "Karena gue mau."

Jawaban itu sederhana.

Terlalu sederhana.

Tapi entah kenapa, justru karena kesederhanaannya, Alana merasakan sesuatu yang lain.

Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Sesuatu yang terasa seperti... ketertarikan.

Dan entah bagaimana, ia tahu bahwa mulai saat ini, Alfa tidak akan berhenti.

Karena ketika seseorang seperti Alfa mulai mendekat, ia tidak akan melangkah mundur.

Ia akan terus maju, dengan caranya sendiri.

Dan itu membuat Alana bertanya-tanya—seberapa jauh Alfa akan melangkah untuknya?

Langit sore menggantung rendah di atas gedung sekolah, menyisakan semburat jingga yang mulai pudar. Siswa-siswa lain berlalu-lalang, beberapa masih sibuk berbincang di halaman, sementara sebagian lainnya sudah bergegas pulang.

Di tengah keramaian itu, Alana berdiri diam.

Tatapannya masih tertuju pada sosok yang berdiri di dekat motor hitamnya, ekspresi Alfa tetap tenang, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diabaikan.

"Jadi?" tanya Alfa, suaranya terdengar lebih dalam di antara suara-suara lain di sekitar mereka.

Alana menggigit bibir. Tawaran itu sederhana, tapi dampaknya besar.

Dulu, Alfa bahkan tidak akan menoleh ke arahnya. Cowok itu bukan tipe yang peduli. Bahkan ketika mereka beberapa kali berbicara, interaksi mereka selalu terbatas. Tapi sekarang?

Sekarang, Alfa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar tumpangan pulang.

Ia menawarkan perhatiannya.

Dan itu membuat Alana bingung.

"Gue bisa pulang sendiri," jawab Alana akhirnya, mencoba menahan sesuatu yang aneh di dalam dadanya.

Alfa tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas, lalu menyentuh helm di tangannya.

"Kalau gitu, gue antar lo sampai halte," katanya santai, seolah keputusan itu sudah final.

Alana mengernyit. "Lo nggak perlu—"

"Naik."

Nada Alfa lebih dalam, lebih tegas, dan ada sesuatu di dalamnya yang membuat Alana tanpa sadar menggenggam tali tasnya lebih erat.

Sial.

Kenapa cowok ini harus sekukuh ini?

Dan kenapa jantungnya justru berdetak lebih cepat?

***

Perjalanan menuju halte tidak panjang, tapi bagi Alana, itu terasa seperti waktu yang membeku dalam keheningan yang ganjil.

Angin sore berhembus, mengangkat helai rambutnya yang sedikit terurai dari helm. Dari tempatnya duduk, Alana bisa merasakan hangatnya punggung Alfa yang hanya berjarak beberapa sentimeter di depannya.

Sial.

Kenapa situasi ini terasa seperti sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tapi tetap terasa benar?

Ketika akhirnya motor berhenti di dekat halte, Alana buru-buru turun, melepas helmnya dengan sedikit gugup.

"Thanks," gumamnya, menyerahkan helm itu kembali ke Alfa.

Cowok itu menerimanya, tapi bukannya langsung pergi, ia justru menatap Alana dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Besok, jangan pulang sendiri."

Alana menatapnya, keningnya berkerut. "Kenapa?"

Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya memasang helmnya sendiri, lalu menaiki motornya kembali.

Tepat sebelum mesin motornya menderu, ia menoleh sekilas dan berkata dengan suara rendah, "Karena gue nggak suka."

Lalu, sebelum Alana bisa bertanya lebih lanjut, Alfa sudah melaju pergi.

Meninggalkannya dengan detak jantung yang masih berantakan dan pikiran yang penuh tanda tanya.

***

Esoknya, sesuatu yang lebih aneh terjadi.

Pagi itu, ketika Alana baru saja memasuki kelas, beberapa teman sekelasnya sudah mulai berbisik-bisik.

"Lo lihat Alfa tadi pagi?"

"Dia nungguin siapa sih? Kayak sengaja diem di depan gerbang."

"Dekat halte juga semalam. Ada yang lihat dia antar seseorang."

Alana menghela napas pelan.

Jadi ini yang terjadi kalau seseorang seperti Alfa mulai melakukan sesuatu di luar kebiasaannya.

Semuanya langsung jadi bahan pembicaraan.

Dan masalahnya, orang yang mereka bicarakan itu adalah dirinya.

Alana duduk di kursinya dengan pikiran yang masih sibuk. Ia tidak terlalu peduli dengan gosip, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Alfa kini benar-benar berubah.

Dulu, Alfa adalah orang yang selalu menjaga jarak.

Sekarang, ia justru mulai mendekat.

Dan bukan hanya sekadar mendekat—ia mendekati Alana dengan cara yang tidak bisa diabaikan.

Saat jam istirahat tiba, Alana berencana menghindari kantin yang penuh dan memilih untuk pergi ke taman belakang sekolah.

Namun, rencana itu gagal ketika langkahnya terhenti di depan pintu kelas.

Alfa berdiri di sana.

Menunggunya.

Lagi.

Seperti pagi tadi.

Seperti kemarin.

Seperti sesuatu yang mulai menjadi kebiasaan.

Alana menatapnya, sedikit bingung. "Lo ngapain?"

Alfa menatap balik dengan tenang. "Makan."

Alana mengernyit. "Terus kenapa nunggu gue?"

Alfa mengangkat bahu. "Karena lo makan bareng gue."

Itu bukan pertanyaan.

Itu bukan permintaan.

Itu pernyataan.

Alana terdiam.

Sejak kapan Alfa mulai memutuskan hal-hal seperti ini sendiri?

Tapi lebih dari itu, sejak kapan ia mulai tidak keberatan?

***

Mereka makan berdua di kantin, di meja yang sama seperti kemarin.

Dan seperti kemarin, Alfa tidak banyak bicara.

Tapi meskipun ia diam, kehadirannya terlalu nyata untuk diabaikan.

"Lo nggak makan?" tanya Alana akhirnya, menyadari bahwa sejak tadi Alfa hanya duduk dan menyesap air mineralnya.

Alfa menatapnya sebentar sebelum akhirnya berkata, "Lo harus makan lebih banyak."

Alana mengernyit. "Hah?"

Alfa menggerakkan dagunya sedikit, memberi isyarat ke piring Alana yang setengah kosong.

"Lo makannya dikit banget."

Alana mendengus pelan. "Sejak kapan lo peduli?"

Alfa tidak langsung menjawab.

Ia hanya menatap Alana selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Sejak gue mulai suka ngeliatin lo."

Dan seketika, waktu terasa berhenti.

Alana menatapnya dengan mata sedikit membesar, tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar atau tidak.

Tapi Alfa tetap menatapnya, ekspresinya setenang biasanya.

Seolah yang baru saja ia ucapkan adalah hal yang paling wajar di dunia.

Dan dalam hati, Alana tahu bahwa sejak saat ini, segalanya tidak akan pernah sama lagi.

Karena Alfa...

Benar-benar mendekatinya.

Dan ia melakukannya tanpa ragu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tersimpan dalam Diam   Sorot Mata yang Tak Terbaca

    Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tercipta

    Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Posesif

    Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Tersimpan dalam Diam

    Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen

    Last Updated : 2025-02-25
  • Tersimpan dalam Diam   Semua Tentang Hati

    Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa."Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu."Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tak Terlihat

    Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari

    Last Updated : 2025-02-26
  • Tersimpan dalam Diam   Antara Logika dan Perasaan

    Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam

    Last Updated : 2025-02-26

Latest chapter

  • Tersimpan dalam Diam   Posesif

    Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.

  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tercipta

    Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal

  • Tersimpan dalam Diam   Sorot Mata yang Tak Terbaca

    Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang

  • Tersimpan dalam Diam   Resonansi Tanpa Suara

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat

  • Tersimpan dalam Diam   Antara Logika dan Perasaan

    Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam

  • Tersimpan dalam Diam   Jarak yang Tak Terlihat

    Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari

  • Tersimpan dalam Diam   Semua Tentang Hati

    Keesokan harinya, Alana berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan tatapan kosong. Seragam putih abu-abunya sudah rapi, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam matanya yang tidak bisa ia sembunyikan—keraguan.Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, bayangan kemarin sore masih terpatri jelas di kepalanya. Kirana berdiri di samping Alfa, tersenyum dan berbicara seolah tidak ada jarak di antara mereka.Dan Alfa? Dia tetap sama. Tenang, cuek, tapi tidak menjauh.Pikiran itu membuat hatinya kembali terasa berat, tetapi ia segera menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tidak ingin mengawali harinya dengan mood yang buruk hanya karena sesuatu yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.Setelah memastikan semuanya siap, Alana turun ke lantai bawah dan berpamitan pada ibunya sebelum melangkah keluar rumah. Bianca sudah menunggunya di depan gang, seperti biasa."Udah siap?" tanya Bianca, mengayunkan tasnya ke bahu."Siap apanya?" Alana mengerutkan kening.

  • Tersimpan dalam Diam   Tersimpan dalam Diam

    Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari. Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Alfa Raynard. Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan pen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status