"Raka, cepat bangun," sapa Ki Joko Gendeng.
Kedua mata pemuda itu perlahan membuka. Meski ia masih mengantuk, Raka berusaha untuk segera sadar. Terlihat mulutnya sesekali masih menguap lebar. Ia langsung berdiri dan menoleh ke arah sekitar."Cepat mandi, kita akan segera menemui kepala desa untuk pamit," ucap Ki Joko Gendeng.Aji Pamungkas dan Ki Joko Gendeng telah menyantap sarapan berupa nasi uduk sederhana buatan salah satu wanita yang ditugaskan menjaga mereka."Jangan terburu-buru. Aku biasanya mandi sekitar satu jam. Banyak hal yang aku lakukan di kamar mandi," ungkap Raka. Ia segera bergegas menuju ke kamar mandi.Di lain tempat, Dyah Lokapala beserta para petinggi desa lainnya telah berada di balai desa untuk mempersiapkan sebuah acara khusus. Begitu banyak umbul-umbul yang terpasang menghiasi rumah-rumah dan jalan desa.Para penduduknya pun mengenakan pakaian terbaik mereka dan membawaRaka menulis sesuatu di telapak tangannya. Sembari ia menulis, Aji Pamungkas segera menyusul Ki Joko Gendeng untuk menyelamatkan istri Raka. "Astaga! Baru beberapa saat menjadi seorang suami, aku harus diuji dengan cara gila seperti ini!" Keluh Raka. Ki Joko Gendeng melemparkan tongkatnya ke arah akar itu. Namun sayangnya tidak mengenainya. "Ki, gunakan teknik bela dirimu!" Teriak Aji Pamungkas. "Teknik apa?! Jangan bicara yang tidak-tidak! Cepat raih saja tangan Dyah Lokapala!" Teriak Ki Joko Gendeng.Aji Pamungkas langsung mengejar tubuh Dyah Lokapala yang terus ditarik oleh akar itu. Dan ketika hendak masuk ke dalam sebuah kolam berukuran lumayan besar, Aji Pamungkas melompat dan segera menggenggam tangan dari wanita itu. "Dapat!" Ucap bocah itu. "Aji! Tolong jangan dilepas!" Dyah Lokapala merasa takut. Ia sampai menangis karena nasib buruknya. Di lain sisi, Raka segera berlari ke arah Aji dan Dyah Lokapala. Ia membawa gergaji mesin portabel untuk memotong akar berwarna hija
"Aku tinggal di ujung rawa ini. Ketika ada jeritan dari iblis air, aku segera bergegas kemari untuk melihatnya," ungkap Ki Sastro. "Oh, jadi kau tinggal di ujung rawa. Tapi tunggu dulu, kenapa kau bisa tinggal di sana?" Tanya Raka. Pikirannya mulai melalang buana ke berbagai kemungkinan. Ia tidak menyangka ada yang mau mendiami rawa kotor, bau, dan penuh dengan iblis. "Ceritanya panjang. Tapi aku sangat senang karena kalian berhasil mengalahkan iblis itu dan menyelamatkan rawa," ungkap Ki Sastro. Ketika keduanya masih berbincang, Aji Pamungkas, Ki Joko Gendeng, dan Dyah Lokapala menghampiri pria tua aneh yang berada di dekat Raka Sadendra. Dyah Lokapala merasa penasaran dengan sosok pria tua lusuh yang terlihat berantakan itu. "Maaf, Anda siapa? Kenapa ada di sini?" Tanya Dyah Lokapala."Oh, perkenalkan, ia adalah Ki Sastro. Beliau tinggal di ujung rawa ini. Ia bilang bisa mengantarkan kita ke kota Jakatira. Ia juga bilang kalau dirinya kenal dengan salah satu ketua klan pendekar,
Mereka diantarkan oleh pemuda itu menuju ke sebuah kuil besar yang diperuntukkan untuk beribadah. Ternyata pemuda berkepala botak tersebut adalah salah satu anggota dari kuil tersebut. "Jadi kau adalah bagian dari kuil ini. Pantas saja, aku merasa ada yang aneh dengan caramu berpakaian," pikir Raka. "Maaf bila caraku berpakaian mengganggumu," ucap Jaka Tira. "Tidak, aku tidak merasa diganggu. Diriku cuma mengagumi bagaimana toleransi di dunia ini bisa terjalin begitu kuat. Berbeda dengan duniaku," ungkap Raka. "Apa maksudmu? Duniamu?" Jaka Tira tidak mengerti dengan ucapan Raka. "Tidak usah dipikirkan. Anggap saja guyonan bocah bodoh," timpal Ki Joko Gendeng yang langsung merangkul Jaka Tira. Dyah Lokapala segera menarik kerah baju suaminya. Ia membisikkan sesuatu di telinga Raka. "Jangan bicarakan duniamu kepada orang asing! Mereka akan menganggap kau itu mata-mata iblis! Mereka adalah para pendeta dari kuil surga. Kekuatan mantra mereka bisa menjatuhkan puluhan iblis hanya de
Perjanjian Raka dengan Jaka Tira segera direalisasikan. Pendeta muda itu memandu Raka untuk memasuki pusat kota. Ia memberikan jubah hitam bertudung yang dipakai Raka saat ini untuk menutupi jati dirinya. Barisan bintang serta purnama menjadi saksi keberanian keduanya. "Apa di bangunan itu?" Tunjuk Raka ke salah satu bangunan besar berlantak tiga. "Kau benar. Lihatlah, para penjaga dan beberapa pendekar dari beberapa klan sudah berkumpul. Mereka semua akan menunggu keputusan para ketuanya yang akan mengadakan pertemuan di dalam bangunan itu," ucap Jaka Tira. "Lalu bagaimana caranya kita masuk ke dalam?" Tanya Raka. Jaka Tira langsung memegang pundak pemuda itu. Ia berkonsentrasi penuh dan memejamkan kedua matanya. Teknik berpindah tempat yang disebut juga teleportasi dilakukan oleh Jaka Tira. Ia pernah masuk ke bangunan itu. Dengan mengingat seluk beluk ruangan di dalam bangunan, ia bisa memproyeksikan penglihatannya untuk berpindah ke tempat itu. Alhasil, ia dan Raka sekarang be
"Lanjutkan apa yang kau ucapkan di dalam tadi!" Tunjuk ketua perkumpulan. Ia berdiri tepat di hadapan Raka dan para kumpulan pendekar yang tengah berkumpul di depan bangunan sidang. Para ketua klan pendekar mengitari keduanya dengan memberi ruang berdiameter tiga puluh meter. Terlihat Jaka Tira masih menggunakan tudungnya untuk menyembunyikan identitasnya. "Astaga, kenapa bisa menjadi seperti ini?!" Jaka Tira merasa khawatir dan cemas. Ia takut bila Raka malah mati ditangan ketua perkumpulan. "Kalian adalah orang-orang terpilih yang memiliki kekuatan jauh lebih besar dari pada para manusia lainnya di Yawadwipa. Dan kalian menciptakan klan serta perkumpulan ini untuk menunjang keahlian kalian, bukan?" Ucap Raka. "Itu benar, lalu?" Ketua perkumpulan menatap Raka. "Tugas mereka yang memiliki kekuatan untuk melindungi yang lemah. Karena seiring adanya kekuatan, maka disitu ada pula tanggung jawab yang besar." Raka sampai mengutip salah satu quote dari film kesukaannya. "Karena itu,
"Kau bisa menghindar?!" Ketua perkumpulan menoleh ke arah Raka yang menghindari serangannya ke arah kiri. Pemuda itu tersenyum sambil menatap ke arah lengan tangan milik ketua perkumpulan yang terputus darln jatuh perlahan ke bawah. AAAARGH!!!Pria besar itu menjerit sambil memegangi bagian lengannya yang terputus. Darah segar mengalir ke bawah hingga menggenangi jalanan kota. Ia tidak menyangka bila tangannya bisa menjadi seperti itu. Beberapa detik yang lalu, ia hanya mengingat bila dirinya meninju wajah bocah di depannya. Jaka Tira yang berada begitu dekat dengan mereka berdua pun hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo. Ia melirik ke arah Raka yang tampak senang dengan perbuatannya. "Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan!" Jaka Tira bertanya dengan membentaknya. "Beberapa detik sebelum tinjunya mengenai wajahku, aku menggunakan pedangku untuk memotong lengannya," ungkap Raka. "Pedang apa?! Aku tidak melihat kau sedang memegang sebuah pedang!" Ucap Jaka Tira. Tanpa rasa
"Tolong jangan bilang apa-apa ke mereka bertiga," ucap Raka. "Itu tergantung dari apakah mereka begitu bodoh untuk tidak mengetahui tentang apa yang terjadi di pusat kota," ungkap Jaka Tira. Malam telah berubah menjadi pagi. Mentari pun bersinar terang di ufuk timur. Akhirnya, keduanya memilih untuk kembali ke kuil surga. Namun ketika hendak memasuki gerbang utama dari kuil, Raka dikejutkan dengan begitu banyak pendeta yang keluar dengan tergesa-gesa. Lebih dari puluhan orang yang berlarian menuju ke suatu tempat. "Apa yang terjadi? Kenapa banyak yang keluar dari kuil? Apa ada festival atau perayaan?" Tanya Raka yang tampak bingung. "Kurasa tidak ada perayaan atau festival apa pun." Jaka Tira pun merasa bingung. Ia menarik salah satu pendeta muda yang berjalan tepat di depannya. Raut wajah pendeta muda itu terlihat begitu tegang. "Tunggu, apa yang terjadi? Kalian hendak ke mana?" Tanya Jaka Tira. "Kakak, apa kau tidak tahu? Gelombang bencana terlihat di barat kota Jakatira. Saat
Para penduduk yang mendiami bagian barat kota segera berlarian untuk menyelamatkan diri mereka. Banyak sekali yang membawa barang-barang seperti pakaian dan ternak. Suara dentuman dan jeritan dari luar dinding kota pun terdengar bagaikan melodi kematian. Banyak anak kecil yang terus menangis. Begitu juga mereka yang telah tua seluruhnya berdoa langsung ke Yang Maha Kuasa untuk meminta pertolongan. Para pendekar pun terlihat membantu para warga untuk mengungsi ke sisi timur kota Jakatira. "Jaka! Aku akan membantu. Apa kau bisa membawaku keluar dari dinding kota!" Teriak Raka dari kejauhan. Ia menghampiri Jaka Tira dengan menggunakan kudanya. Raka mendengar begitu banyak jeritan dan teriakan auman para iblis dari luar dinding. "Apa yang kau lakukan?! Cepat kembali! Kau tidak bisa keluar dari dinding!" Jaka Tira melarang pemuda itu untuk tetap pergi keluar dinding. "Aku harus membunuh iblis itu! Ada hal yang harus aku penuhi tentang misiku agar aku bisa kembali ke duniaku!" Ungkap R