Dari depan pintu gerbang utama kota Jakatira bagian selatan, Ki Sastro dan Tetua kuil surga beserta para pendeta muda lainnya mengiringi kepergian rombongan dari klan Teratai Putih. Anak-anak yang sebelumnya hadir di kuil surga pun juga berbaris di pinggir jalan untuk mengucapkan selamat jalan kepada Jaka Tira.
"Apa tidak apa-apa? Kau meninggalkan tempat yang membesarkanmu?" Tanya Ki Joko Gendeng. Ia melihat sorot mata Jaka Tira yang masih tidak tega ingin meninggalkan para adik seperguruannya."Aku harus melakukannya. Perjalanan ini akan menjadi titik balik dari hidupku," ungkap Jaka Tira.Kereta kuda hitam digunakan kembali oleh Raka sebagai kendaraan mereka untuk menyusuri area hutan selatan hingga menuju ke ibukota kerajaan Sundapura.Raka dan Jaka Tira bertugas untuk mengemudikan para kuda hitam yang jumlahnya bertambah menjadi delapan kuda. Kereta tersebut pun meluncur cepat meninggalkan Jakatira."KekuTernyata ia adalah penduduk desa yang berada di balik bukit. Dengan penyembuhan yang dilakukan oleh Ki Joko Gendeng perlahan luka di tubuh pemuda itu menutup dan pendarahannya pun berhenti. Dyah Lokapala membantu pria tua itu untuk membungkus sisa lukanya dengan menggunakan kain perban yang dipinjam oleh Raka melalui pena peminjam barang. Raut wajah pemuda itu begitu tegang. Seakan seluruh ototnya ditarik paksa oleh kenyataan yang ia lihat. "Apa kau masih merasa syok?" Tanya Dyah Lokapala. "Me–mereka tiba-tiba muncul dari sebuah lubang di atas langit sekitar beberapa hari yang lalu. Dan mereka turun menyerang kami semua tanpa belas kasih," ungkap pemuda itu. Iblis yang dilihat oleh pemuda itu ternyata datang dari gelombang bencana di waktu yang sama dengan munculnya gelombang bencana di kota Jakatira. Dan mereka tidak pandang bulu, semua warga desa tidak.ada satu pun yang bisa melarikan diri dari pembantaian itu. "Aku melarikan diri ke atas bukit dan berusaha bersembunyi bersama
Pemuda itu terus saja tertawa dan tidak pedulikan mereka yang mulai terlihat kebingungan dengan tingkahnya yang begitu aneh. Ia bahkan sampai terpingkal-pingkal dan seakan sedang mengejek Raka serta yang lainnya. "Kalian sangat bodoh! Apa kalian pikir akan ada iblis yang membantu menyelamatkan manusia dan malah membunuh para iblis?" Pemuda itu menyeringai dengan tatapan tajam."Semuanya! Menjauh darinya!" Teriak Raka. Ki Joko Gendeng segera membawa Aji Pamungkas untuk pergi menjauhi pemuda itu. Bersama Dyah Lokapala, keduanya segera menghampiri Raka, Jaka Tira dan Khrisna. "Apa yang terjadi? Kenapa ia jadi seperti itu?! Apa ia kerasukan oleh iblis?" Jaka Tira merasa bingung. "Ia tidak mungkin kerasukan. Tapi bila ia adalah iblis, itu mungkin," pikir Raka. "Apa?!" Semuanya menoleh ke arah Raka. "Apa? Benar, bukan? Lihat saja tingkah bodohnya itu. Mana mungkin bila ia manusia, 'kan?" Ungkap Raka. Pemuda itu menghentikan tawanya. Namun ha malah tersenyum dengan menunjukkan raut w
Sekumpulan timah panas melesak cepat menghujani tubuh iblis hitam hingga menciptakan kepulan asap di sekitarnya. Ada seribu drone yang dipimpin oleh Odeth, A.I. cerdas yang dipinjam oleh Raka menyerang membabi-buta iblis itu. Desingan suara peluru yang terus-menerus menembak menciptakan suara bising yang terdengar hingga mencapai tempat Dyah Lokapala dan Aji Pamungkas. Keduanya dilemparkan oleh Raka ke ujung timur desa terpencil itu, melewati satu buah bukit. "Suara apa itu?" Tanya Aji Pamungkas yang merasa khawatir dengan Raka. "Itu berasal dari desa di balik bukit ini. Tempat di mana Raka berada," ucap Dyah Lokapala. "Apa yang harus kita lakukan? Iblis itu sangat mengerikan. Ia bisa membunuh Khrisna, Jaka Tira dan kemungkinan juga telah membunuh Ki Joko Gendeng dengan begitu mudahnya," ungkap Aji Pamungkas. Rasa takut yang teramat sangat menyelubungi benaknya. "Raka memindahkan kita agar iblis itu tidak bisa menyentuh kita. Namun apa Raka bisa mengalahkannya?" Pikiran Dyah Loka
Tubuh yang telah terpisah dengan kepalanya perlahan bangun dari keadaan tidur. Energi hitam keluar dan terpancar menyelimuti tubuh iblis hitam. Bagian tubuh yang berlubang pun perlahan kembali menyatu. Lalu ia mengangkat kepala yang terpenggal dari permukaan tanah. "Kau pikir aku bisa mati semudah itu?" Ucap iblis hitam. Kekuatan iblis yang berasal dari dalam menara Kalpawreksa sangatlah berbeda. Iblis hitam adalah salah satu iblis yang berasal dari menara Kalpawreksa. Ia berhasil menyelinap keluar melalui portal gelombang bencana hanya untuk mendapatkan daging manusia lebih banyak. "Se–sebenarnya kau ini makhluk apa?!" Raka merasa buntu untuk membunuh iblis itu. "Gelombang bencana yang selalu saja muncul diluar menara Kalpawreksa adalah portal dimensi yang menghubungkan lantai satu hingga tiga dari menara Kalpawreksa. Setiap iblis yang keluar dari portal tersebut tidaklah diacak. Mereka keluar atas kemauannya sendiri dan dipilih melalui wilayah teritorial iblis tersebut," ungkap
"Gorila!" Teriak Dyah Lokapala yang tampak terkejut ketika melihat wujud dari Ki Demang. Wanita itu tidak segan untuk mencabut pedang mawar emas miliknya dan langsung menghunuskannya ke arah gorila yang sedang memeluk tubuh Raka. "Kak! Tahan!" Teriak Aji Pamungkas dari belakang.Ia tahu benar bila gorila yang ada di depannya bukanlah binatang primata yang asli. Aji Pamungkas pernah di beritahu bila Ki Demang, asisten pribadi Raka yang muncul dari gelang kayu, ia mampu merubah wujudnya menjadi apa saja. "Gorila ini adalah teman kita," ungkap Aji Pamungkas."Teman?! Dari kapan kau menjalin pertemanan dengan binatang buas?!" Dyah Lokapala tidak terima dengan ucapan bocah itu."Maksudnya, gorila ini hanyalah wujud palsu dari Ki Demang, asisten pribadi Kak Raka yang menjadi pembimbingnya dalam menguasai ilmu peminjaman barang," ungkap Aji Pamungkas."Ia memiliki asisten yang bisa berubah bentuk menjadi apa saja? Lalu kenapa tidak berubah menjadi pria biasa? Atau ia punya kelainan?" Piki
Butuh waktu bagi Raka untuk pulih kembali. Setelah ia sadarkan diri kemarin, Raka malah jatuh ke lantai dan kembali tidak sadarkan diri. Untungnya teman-temannya segera menangkap tubuh pemuda itu. Rasa iba menukar diantara mereka atas keberanian Raka. Ketika mereka semua mengelilingi Raka di ranjang, Dyah Lokapala beserta yang lainnya bersumpah akan tetap bersama dengan pemuda itu. Janji diantara anggota klan itu dibubuhkan dalam sebuah medali perunggu yang di cap oleh darah mereka masing-masing. Semuanya mendapatkan satu kalung medali yang akhirnya mereka kenakan di leher masing-masing. "Bagaimana tidurmu?" Tanya Ki Joko Gendeng. Raka baru saja keluar dari kamarnya dan langsung menuju ke teras depan. Ketika ia menoleh, ada Ki Joko Gendeng yang sedang duduk santai di kursi goyang. "Kepalaku masih lumayan pusing. Namun energiku sepertinya telah kembali," pikir Raka. Ia duduk di kursi biasa, tepat di samping pria tua itu. Raka tidak melihat yang lainnya. Rumah yang mereka tempati t
"Ia sudah pergi…?" Dyah Lokapala hanya terduduk diam menatap kepergian Raka. Air mata yang bahkan ia tidak tahu apakah itu termasuk bentuk dari kesedihan kehilangan seorang teman atau kehilangan seorang suami yang baru dinikahinya. Semuanya terasa membingungkan, namun ia tetap menangis dan meratapi pilihannya untuk keluar dari desa yang terasa menjadi sia-sia belaka. Kebahagiaan yang ia dapat sebenarnya berasal dari petualangan dirinya bersama teman-temannya. Dan kini ketika seseorang yang menyatukan perjalanan mereka semua telah pergi, maka kelompok kecil itu pun seperti kehilangan penggembalanya. "Lalu sekarang kita harus bagaimana?" Aji Pamungkas tertunduk dengan air mata terus terjatuh ke tanah. "Mungkin ia memang membutuhkan waktu untuk sendiri. Biarkan saja, kita harus menghormati pilihan dan keputusannya itu," pikir Ki Joko Gendeng. "Apa kalian masih ingat ucapan Jayabhaya?" Tiba-tiba Khrisna menyisipk
Raka membelakangi wanita itu dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia hanya memandang ke arah luar gua dan bersenandung untuk menghilangkan pikiran tentang seorang wanita yang sedang mengganti bajunya di belakang dirinya. "Hei, kau tahu bila bajumu basah, 'kan? Apa kau membawa baju gantinya?" Tanya Raka. "Tidak. Maka dari itu aku akan menjemurnya di batu. Dan kau! Jangan sekali-kali berbalik badan! Aku hanya menyelimuti tubuhku menggunakan daun pisang saja!" Bentak wanita itu. "Namaku, Raka. Tidak enak bila kita hanya mengobrol dengan menggunakan kata sapaan saja. Siapa namamu?" Tanya Raka. "Rara Kencana. Dari mana asalmu?" Tanya wanita itu. Raka tidak langsung menjawabnya. Namun ia malah melemparkan pakaian kering ke arah Rara Kencana. Wanita itu tidak langsung menanggapinya, ia malah memungut baju dari Raka dan melihat modelnya. "Pakaian macam apa ini?" Tanya Rara Kencana. "Aku akan menjelaskannya nanti! Sekarang pakai saja pakaian itu! Aku tidak ingin menahan nafsuku sampai hujan