Mereka berkeliling di toko-toko aksesoris untuk mencari hadiah pada ulang tahun Gilang nanti. Risa merasa heran melihat Gio yang begitu bersemangat setiap membeli apa-apa untuk Gilang. Seolah-olah orang yang akan ulang tahun itu adalah orang yang sangat dicintainya.Setelah puas berbelanja dan berkeliling kota, mereka lalu pulang ke rumah."Lho, Gio, ini bukan jalan ke rumah?" Tanya Risa kepada Gio karena jalan yang mereka lewati bukan jalan menuju rumah."Iya, kita akan pergi ke suatu tempat," ujar Gio kepada Risa.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Risa tidak tahu, akan Gio bawa kemana mereka hari ini. Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Gio memarkirkan mobilnya di sebuah rumah sederhana. Tidak terlalu sederhana, tapi dibandingkan dengan rumah orang tua Gilang dan rumah yang mereka tempati, rumah itu jauh berada di bawah. Rumah itu di desain dengan gaya klasik, tepatnya seperti rumah kuno.Gio turun dari mobil dan membuka bagasi mobil."Wooi, Kak Risa, Dela. Kok bengong a
Risa menyesal karena memperlihatkan kekesalannya pada Gio. Sehingga remaja itu bisa membaca pikirannya saat itu. Dia padahal tidak ingin ada orang yang tahu tentang kekacauan hatinya.Mereka lalu meneruskan mendekorasi ruangan sehingga ruangan tersebut disulap menjadi sangat indah."Kak, Lo mau pulang dulu atau nggak, nih?" Tanya Gio kepada Risa."Iya lah, aku mau menyambut Kak Gilang pulang kerja," sahut Risa tegas."Kak Gilang pulang kerja langsung ke sini, gue yang atur." Sahut Gio lagi."Ya udah, aku di sini aja, tapi, Amira gimana?" Tanya Risa kepada Gio."Jadwal buat Amira itu esok pagi aja." Ujar Gio memasukkan kembali sampah-sampah sisa dekorasi Ke dalam tong sampah. Gio dan Dela lalu kembali ke Apartemen. Tinggallah Risa sendiri di rumah itu, Risa kembali memandangi lukisan-lukisan tersebut. Terbersit tanya dalam hatinya kenapa Gilang sangat menyukai pesawat? bukankah Gilang bukan seorang pilot? lalu ke mana Risa harus mencari jawabannya? Risa sendiri tidak tahu.Satu jam ke
"Tuhan. Aku tidak mungkin menggantikan posisi Mega di hatinya, tapi jika saja boleh, aku ingin mengobati luka hati Kak Gilang. Aku tidak peduli Kak Gilang tidak mencintaiku, karena aku tahu cintanya hanya untuk Mega, tapi bolehkah aku memohon agar rasa sakit di hati Kak Gilang tidak lagi merajai hatinya?" Risa mengusap air mata yang juga membanjiri wajahnya.Dia tak tega melihat Gilang terluka begitu parah.Tiba-tiba, tatapan Gilang berpindah ke arah Risa. Hal itu membuat Risa tersentak dari lamunannya."Risa, kamu kok di sana?" tanya Gilang menatap istrinya itu."A-aku ...." Risa bingung harus menjawab apa."Udaranya dingin. Aku nggak mau sakit, Sayang," ujar Gilang dengan lembut. Risa mengangguk dan membalikkan badannya untuk kembali ke dalam kamar.Namun, Risa menyempatkan diri untuk bertanya. Ia pun lalu mendekati Gilang."Apakah Mega tenggelam di sini?" tanya Risa dengan wajah penuh tanya "Menurut pengakuan Gio, iya. Mega tenggelam di sini." Gilang menyahut dengan wajah yang te
"Papa pikir, kamu tidak akan kembali lagi kerumah ini." ujar Tuan Adiguna menatap Gilang ketika mereka sedang sarapan bersama di meja makan."Tentu saja aku pasti kembali, karena ini rumahku." Ujar Gilang menatap tajam kedua orang tuanya."Gilang, tutup mulutmu, pemilik rumah tidak akan meninggalkan rumahnya dalam keadaan kacau seperti ini." Nyonya Adiguna menatap ke arah Risa dengan sinis."Mama juga pasti tau, alasan aku pergi dari rumah ini. Jangan pernah membuatku marah karena aku tidak segan-segan mencabut semua fasilitas mama." Gilang terus menyeruput kopi yang tadi Risa hidangkan."Gilang, apa salahnya jika Alea tinggal di sini? Dia tidak akan mengurangi harta kita, kan?" Jawab Nyonya Adiguna dengan sinis."Mama yakin? Baiklah, kalau begitu, mulai hari ini, semua beban belanja mama dan Alea akan aku alihkan kepada papa," ujar Gilang menatap ibunya dengan tajam."Belanja Alea? Apa maksudmu Gilang?" Tanya Tuan Adiguna mengerutkan keningnya."Tanya saja sama mama, kemarin aku baru
Risa tersenyum puas melihat kue tart yang telah dia buat bersama Amira. Kue hasil buatannya bersama Amira terlihat sangat cantik, kue tart itu berukuran sedang, dengan cream berwarna putih dan mocca dihiasi potongan stroberi dan anggur.Risa sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa membuat kue tart untuk pertama kalinya dengan hasil yang maksimal seperti itu, tampilannya teramat sangat cantik, dia sangat menyukainya. Berkali-kali Risa memotret kue tart itu dari berbagai sisi. Untuk soal rasanya, dia sendiri tidak tahu, entah bagaimana rasanya nanti."Ternyata kalau membuatnya dengan cinta, semua terasa mudah," gumam Risa.Padahal sebelumnya, jangankan untuk membuat kue tart, untuk membuat brownies kukus biasa saja, Risa selalu gagal. Sempat terpikir dalam benaknya, mungkinkah dalam proses pembuatan kue tadi, arwah Mega merasukinya sehingga dengan lancarnya dia mengolah tepung, gula, telur, margarin, dan bahan lainnya menjadi kue tart yang begitu sempurna seperti yang terlihat sekara
Risa kembali melihat tetesan air mata jatuh di pelupuk mata Gilang, kali ini tidak setetes atau dua tetes,melainkan sudah menganaksungai.Risa tidak mengerti akan makna jatuhnya air mata itu, apakah Gilang terharu? atau Gilang merasa berduka karena ulang tahunnya kali ini tanpa kehadiran Mega."Tiup lilinnya ... tiup lilinnya ... sekarang juga ... sekarang juga ... sekarang juga." Amira mengakhiri nyanyian happy birthday dan meneriaki Gilang untuk segera meniup lilinnya. Gilang pun menundukkan posisi tubuhnya untuk meniup lilin tersebut."Berdoa dulu, dong Ayah!" ujar Amira ketika Gilang hendak meniup lilin yang ada di hadapannya.Gilang tersenyum, lalu memejamkan matanya. Risa melihat ada luka dari raut wajah Gilang, beberapa menit kemudian Gilang membuka matanya, menarik napas dengan dalam, lalu meniup lilinnya dengan sekali tiupan."Hore ... selamat ulang tahun Ayah!" ujar Amira dengan derai tawa berbahagia."Terima kasih, Sayang." jawab Gilang mencium pipi Amira, mereka lalu memba
Sesampai di kantor Gilang, lelaki bertubuh atletis itu ternyata sudah menunggu di lobby.Melihat Risa datang, lelaki yang Risa damba yang hari itu mengenakan setelan formal berwarna hitam kombinasi biru langsung berdiri menyambutnya. Seperti biasa, Gilang akan langsung menggenggam tangan Risa, menggiring langkah perempuan itu untuk mengikutinya, dan seperti biasa juga, tidak pernah Risa utarakan keberatan untuk perlakuan suaminya itu."Kenapa kamu lama sekali, Sayang?" bisik Gilang."Aku ...." "Siap-siap menerima hukuman dariku.""Hah?" Risa setengah berlari mengikuti langkah lebar Gilang, tapi dia bahagia karena setiap kali Gilang menggenggam tangannya, ia tahu seseorang sudah pasti akan melindunginya dengan usaha terbaiknya. Risa yakin Gilang akan melindunginya dari bahaya apapun.Untuk kesekian kalinya Risa mendatangi kantor Gilang. Tapi, ia tidak pernah berhenti mengagumi bangunan megah itu. Bangunan yang menurutnya sangat keren, tapi ia hanya bisa menyimpan kekagumannya di dala
Suara adzan berkumandang, Risa menggeliat perlahan, menatap wajah tampan Gilang yang tidur di sampingnya dan memeluknya sepanjang malam.Risa melepaskan diri dari pelukan Gilang dengan perlahan. Dia takut mengusik tidur suaminya. Risa kemudian keluar dari kamarnya lalu berjalan ke arah dapur dan berpapasan dengan Bik Jum."Nyonya tidak apa-apa?" tanya Bik Jum menatap Risa heran."Aku tidak apa-apa, memangnya kenapa?" Risa bertanya balik pada Bik Jum dengan sedikit rasa penasaran."Nyonya terlihat pucat dan lemah," jawab Bik Jum mengambil air hangat dan menyodorkannya pada Risa."Aku baik-baik saja, Bik," jawab Risa singkat.Risa pun melanjutkan pekerjaannya, membuat sarapan untuk Amira dan membuat kopi untuk Gilang."Bunda ..." Suara Gadis kecil memanggil dengan wajah ceria."Selamat pagi, sayang Bunda, hari ini sekolah?" tanya Risa kepada Amira. Disertai anggukan oleh gadis kecil itu seraya memeluk Risa dengan erat."Nanti Amira diantar sama Pak Sapto aja, ya! Ayah lagi demam, jadi,