Pagi menyapa, Kimberly dan Damian duduk di sofa kamar hotel seraya menikmati sarapan pagi mereka. Tak banyak percakapan yang terjalin. Kimberly seperti enggan untuk berbicara. Bahkan sarapan pun kalau tak dipaksa oleh Damian, maka Kimberly tidak akan mau untuk sarapan.“Kim, kita ke rumah sakit nanti siang saja. Kau istirahatlah sebentar,” ucap Damian seraya membelai pipi Kimberly.Kimberly menganggukkan kepalanya. “Iya, Damian. Tapi, tadi apa kau medapatkan kabar tentang Fargo?”“Belum, aku belum mendapatkan kabar apa pun tentang Fargo.” Damian mengecup bibir Kimberly lembut. “Ya sudah, aku harus turun ke bawah sebentar. Asistenku menunggu di bawah. Ada pekerjaan yang ingin aku bahas dengannya.”“Apa kau akan lama?” tanya Kimberly ingin tahu.“Tidak, aku tidak akan lama.” Damian mengecup bibir Kimberly lagi.“Aku akan menunggumu di sini,” balas Kimberly hangat.Damian tersenyum seraya mengusap puncak kepala Kimberly. Lantas, pria tampan itu melangkah keluar meninggalkan Kimberly. Tep
Ernest menatap dingin Gilda yang tengah diperiksa oleh dokter. Sorot matanya begitu melihat anak tirinya itu. Aura wajah kemarahan dan luapan emosi begitu terlihat. Rahang Ernest mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Maisie yang ada di samping Ernest terus memasang wajah penuh rasa bersalah. Harusnya Maisie bahagia putrinya sudah siuman, tetapi Maisie dilingkupi penyesalan mendalam.Beberapa menit lalu, Ernest dan Maisie diberi tahu kalau Gilda telah siuman. Mereka langsung menuju ruang rawat Gilda. Namun, Ernest ataupun Maisie belum ada yang berbicara dengan Gilda. Pasalnya mereka datang ke ruang rawat Gilda—di kala Gilda sedang diperiksa oleh sang dokter.“Bagaimana keadaan putriku, Dok?” tanya Maisie cemas seraya menatap sang dokter yang baru saja memeriksa keadaan Gilda.“Nyonya, kondisi Nona Gilda sudah cukup baik. Hanya saja saya meminta Nona Gilda untuk tetap beristirahat total,” ujar sang dokter memberi tahu.Maisie mengangguk paham. “Aku mengerti. Terima kasih, Dok.”“Sam
Damian menatap sang dokter yang sedang menyuntikan obat penenang ke tubuh Kimberly. Pria tampan itu sengaja meminta dokter menyuntikan obat penenang ke tubuh Kimberly—pasalnya dia ingin sang kekasih tidur lebih pulas. Begitu banyak yang menghantam sang kekasih, pastinya Kimberly membutuhkan obat penenang.Damian bersama dengan Kimberly sudah tiba di kamar hotel mereka. Demi agar Kimberly mendapatkan ketenangan, pria tampan itu sampai menonaktifkan ponsel milik sang kekasih. Tak ada pilihan lain, dia ingin Kimberly benar-benar menenangkan diri.“Bagaimana keadaan Kimberly?” tanya Damian dingin seraya menatap sang dokter. “Tuan Damian, saya sudah menyuntikan obat penenang pada Nyonya Kimberly. Beliau akan terlelap untuk beberapa jam ke depan. Saya lihat Nyonya Kimberly seprti sedang menghadapi masalah berat. Mungkin saya sarankan, biarkan satu atau dua hari ini, Nyonya Kimberly lebih banyak istirahat untuk menenangkan pikirannya,” jawab sang dokter sopan memberi saran.Damian mengangg
Kimberly mendesah menahan kesal kala Damian tak kunjung datang. Padahal tadi kekasihnya itu mengatakan tak akan lama menemui Freddy, tapi kenapa malah pria itu belum juga datang? Bukan tak mau sabar, tapi dalam kondisi seperti ini, Kimberly ingin selalu ada di dekat Damian.Pintu terbuka. Refleks, Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Tampak raut wajah kesal di wajahnya lenyap tergantikan dengan senyuman hangat kala melihat Damian datang, dan mendekat ke arahnya.“Maaf membuatmu menunggu lama.” Damian mengecup kening Kimberly, lalu duduk tepat di samping Kimberly.“Apa banyak sekali pekerjaanmu, Damian?” tanya Kimberly seraya menatap Damian hangat.“Iya, banyak yang aku bahas dengan Freddy, Kim.” Damian membelai pipi Kimberly.“Apa ada masalah di perusahaanmu, Damian?” Kimberly kembali bertanya.“Tidak, tidak ada masalah apa pun. Tadi aku dan Freddy membahas pekerjaan yang tertunda saja.” Damian terpaksa mengatakan ini, pasalnya Damian tak mungkin mengatakan pada Kimber
Athena, Yunani. Sebuah kamar megah dengan nuansa gold serta lukisan-lukisan dari pelukis ternama membuat semua orang yang datang ke kamar ini pasti akan kagum. Aroma pengharum ruangan mahal layaknya berada di sebuah kerajaan. Tatanan kamar ini bergaya modern seorang putri raja.“Nyonya, apa Anda yakin akan pergi ke Los Angeles sekarang?” tanya seorang pria pada wanita yang duduk di sofa dengan raut wajah begitu frustrasi.“Iya, aku harus kembali ke sana. Aku tahu Damian pasti masih mencitaiku. Aku akan meminta maaf atau melakukan apa pun asal dia kembali denganku.” Wanita itu berucap dengan nada lirih dan lemah. Derai air matanya tak kunjung berhenti berlinang. Benak wanita itu hanya dipenuhi dengan Damian. Matanya memerah namun jelas menunjukkan kerinduan mendalam.“Nyonya, mendapatkan maaf dari Tuan Damian mungkin saja bisa, tapi jika yang Anda inginkan kembali padanya, saya rasa itu mustahil, Nyonya,” ucap sang pria yang merupakan asisten dari wanita itu.“Damian pasti mau kembali
Lima hari sudah Fargo dan Gilda berada di rumah sakit. Setiap harinya Damian dan Kimberly datang ke rumah sakit. Tentu Kimberly hanya menjenguk keadaan Fargo saja. Tak akan mungkin wanita itu mau untuk menjenguk keadaan Gilda. Bagi Kimberly, urusannya dengan Gilda sudah cukup. Sekarang yang harus dia lakukan hanyalah menyelesaikan urusannya dengan Fargo. Fargo masih terbaring lemah di ruang ICU. Luka di kepala Fargo cukup serius. Hal itu yang membuat kondisinya lebih buruk dari Gilda. Pun terakhir yang Kimberly dengar dokter mengatakan kondisi Fargo terbilang stabil, walau masih belum siuman.“Kim, apa kau sudah siap? Kita harus berangkat sekarang ke rumah sakit.” Damian melangkah menghampiri Kimberly yang tengah duduk di kursi meja rias.“Sudah, Damian. Aku sudah siap,” jawab Kimberly pelan, dengan raut wajah yang menunjukkan kemuramannya.Damian menatap lekat wajah Kimberly yang muram itu. Dia menundukkan tubuhnya, menatap Kimberly. “Apa yang kau pikirkan, Kim?”Kimberly menghela
Mata Fargo melebar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Kimberly. Jantungnya bergemuruh tak menentu. Benaknya detik itu juga berputar memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Harusnya dia senang mendengar ini dari Kimberly, tetapi entah kenapa hatinya seakan tak terima mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya itu. “Jangan bicara sembarangan, Kim!” bentak Fargo keras. Kepalanya masih sakit akibat cedera, tapi perkataan Kimberly yang membahas tentang perceraian seakan membuat Fargo tersulut.“Kenapa kau harus marah, Fargo? Bukankah ini yang selama ini kau inginkan?” Kimberly membalikan ucapan Fargo dengan nada yang tenang dan seakan tak marah.Fargo memejamkan mata singkat seraya mengepalkan tangan kuat. “Kita tidak bisa bercerai begitu saja, Kim!” ucapnya menegaskan.Emosi Kimberly mulai tersulut melihat Fargo menentang perceraian. Sepasang iris matanya menyalang menatap sang suami dengan penuh amarah tertahan. “Tidak bisa bercerai begitu saja?! Hebat sekali kau,
Hari berlalu begitu cepat. Sejak di mana Kimberly memutuskan untuk bercerai dengan Fargo, dia tak lagi datang ke rumah sakit. Bukan tak peduli, tapi dia kerap bertemu dengan pengacara untuk membahas proses perceraian. Hingga detik ini Fargo dan Gilda masih berada di rumah sakit. Dokter belum mengizinkan mereka untuk pulang karena kondisi mereka belum sepenuhnya pulih. Kimberly merasa iba pada Fidelya. Belakangan ini kesehatan ibu mertuanya itu menurun sampai harus di rawat di rumah sakit. Saat Fidelya tahu Fargo telah berselingkuh dengan Gilda, Fidelya benar-benar drop. Sungguh, dia tak tega, tapi dia tak bisa menghentikan semuanya. Perceraiannya dan Fargo tidak bisa ditunda-tunda. Kimberly sedang duduk di sofa, dan ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya—dan menatap ke layar tertera nama Brisa. Tanpa menunggu lama, dia memilih menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.“Hallo, Brisa?” jawab Kimberly kala panggilan terhubung.“Selamat pagi, Nyonya Kimberly. Maaf me