Hari berlalu begitu cepat. Sejak di mana Kimberly memutuskan untuk bercerai dengan Fargo, dia tak lagi datang ke rumah sakit. Bukan tak peduli, tapi dia kerap bertemu dengan pengacara untuk membahas proses perceraian. Hingga detik ini Fargo dan Gilda masih berada di rumah sakit. Dokter belum mengizinkan mereka untuk pulang karena kondisi mereka belum sepenuhnya pulih. Kimberly merasa iba pada Fidelya. Belakangan ini kesehatan ibu mertuanya itu menurun sampai harus di rawat di rumah sakit. Saat Fidelya tahu Fargo telah berselingkuh dengan Gilda, Fidelya benar-benar drop. Sungguh, dia tak tega, tapi dia tak bisa menghentikan semuanya. Perceraiannya dan Fargo tidak bisa ditunda-tunda. Kimberly sedang duduk di sofa, dan ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya—dan menatap ke layar tertera nama Brisa. Tanpa menunggu lama, dia memilih menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.“Hallo, Brisa?” jawab Kimberly kala panggilan terhubung.“Selamat pagi, Nyonya Kimberly. Maaf me
Ernest menatap dingin dan tajam Fargo yang masih duduk di ranjang. Aura wajah meunjukkan geraman kemarahan begitu terlihat jelas di wajah pria paruh baya itu. Terlihat Ernest berusaha mengendalikan emosinya.Sudah beberapa hari Ernest menahan diri tak langsung menemui Fargo, karena dirinya ingin Fargo memulihkan kesehatan lebih dulu. Mengingat dokter mengatakan kondisi kesehatan Fargo belum sepenuhnya pulih. Selain itu, Ernest juga menghargai Olsen—teman baik—sekaligus besannya yang meminta dirinya untuk tidak dulu menemui Fargo.Sekarang setelah beberapa hari Ernest menunggu, akhirnya pria paruh baya itu bisa menemui Fargo. Andai Fargo sudah dalam kondisi sehat, pasti Ernest akan menghajar menantunya yang kurang ajar itu.“Kau hanya diam, Fargo? Apa kau tidak mau mengatakan sesuatu padaku?!!” Suara Ernest berseru dengan nada menggeram. Gigi graham saling menggemeletuk menunjukan bahwa pria paruh baya itu menahan amarah yang telah berkobar. Fargo membisu di hadapan Ernest. Pria itu
Pagi menyapa, Kimberly sibuk di dapur membuatkan sarapan untuknya dan Damian. Well, wanita cantik itu merasa dirinya sudah benar-benar gila. Tadi malam, Damian menginap di mansion—yang dirinya dan Fargo tempati. Akan tetapi, sejak di mana Kimberly mengatakan ingin bercerai, dia sudah tak lagi menggunakan kamar yang biasa dia tempati dengan Fargo.“Kenapa kau memasak, Kim? Harusnya biarkan pelayan saja yang membuatkan sarapan. Aku tidak ingin kau kelelahan.” Damian melangkah masuk ke dalam ruang makan, lalu pria itu duduk di kursi meja makan. Tadi di kala Damian sudah bangun, dia mendapatkan telepon dari salah satu karyawannya. Hal tersebut yang membuat Damian tak tahu Kimberly memasak.“Aku tidak apa-apa, Sayang. Jangan mencemaskanku berlebihan.” Kimberly menghidangkan makanan yang sudah dia buat ke hadapan Damian. “Sekarang lebih baik kau sarapan. Aku sengaja memasak banyak makanan, agar tenagamu lebih kuat. Tadi malam kan kau pulang larut malam, aku khawatir hari ini kau juga akan p
Pertanyaan singkat Carol sontak membuat raut wajah Kimberly berubah. Sepasang iris mata hazel Kimberly melebar terkejut. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Telapak tangan Kimberly dingin. Rasa takut menelusup dalam dirinya, hingga menebus ke tulang. Hamil? Aliran darahnya terasa terhenti di kepala, dan membuat kepala semakin sakit memikirkan tentang pertanyaan Carol.“Kim?” tegur Carol kala Kimberly hanya diam, tak menjawab pertanyaannya.Kimberly mengatur napasnya, dan memasang senyuman samar di wajah. Senyuman yang menunjukan bahwa apa yang dikatakan Carol tak nyata. “Aku tidak hamil, Carol. Aku hanya kelelahan saja. Belakangan ini aku terlalu sibuk mengurus perceraianku. Ditambah Fargo juga mempersulit perceraian kami. Aku hanya butuh istirahat lebih.”Carol terdiam beberapa saat. Tatapannya tak lepas menatap wajah pucat Kimberly. Sebenarnya dia tak yakin Kimberly sakit, entah kenapa hatinya meyakinkan Kimberly sedang hamil, terlebih ciri-ciri Kimberly persis sama
Damian membeku diam di tempatnya menatap rekaman CCTV yang ada di hadapannya. Sepasang iris mata cokelat gelap Damian terhunus begitu tajam. Kilat amarah dan emosi tertahan sangat terlihat jelas. Pria tampan itu kian meremas ponsel asistennya yang ada di tangannya, bahkan remasan itu seakan ingin meremukan.Rahang Damian mengetat. Matanya menyorot mengunci sosok wanita cantik yang ada di rekaman CCTV itu. Amarah yang tertahan itu, berusaha keras dia redam. Begitu pun dengan bayangan masa lalu yang muncul di benaknya segera pria tampan itu tepis, mengenyahkan tak lagi mau mengingat apa yang telah berlalu.Damian menghempaskan ponsel Freddy ke atas meja kerjanya, suara bantingan ponsel itu cukup keras. Beruntung, bantingan Damian masih bisa tertolong tak membuat ponsel Freddy sampai pecah.“Tuan, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Freddy seraya mengambil ponselnya, dan menundukkan kepala di depan Damian. Dalam kondisi seperti ini, dia tahu bahwa Damian marah besar. Terlebih sudah lama s
Raut wajah Gilda begitu gelisah memikirkan dirinya tak kunjung bertemu dengan Fargo. Sudah beberapa kali dia meminta bertemu dengan Fargo, tapi Maise tak juga mengizinkannya. Bahkan hingga detik ini kekasihnya itu tak menemuinya. Rasanya dia benar-benar nyaris putus asa. Sekarang hubungannya dengan Ernest sudah tak lagi sama. Bisa dikatakan Ernest tidak peduli padanya lagi.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Gilda meremas-remas kuat rambutnya memikirkan solusi paling terbaik. Dia merutuki keadaan yang membuat hubungannya dan Fargo harus terbongkar seperti ini. Rencana yang dulu dia susun menjadi berantakan.“Nona Gilda.” Seorang perawat melangkah masuk ke dalam ruang rawat Gilda. “Silakan diminum obatnya, Nona.” Perawat itu meletakan obat Gilda ke atas meja. Gilda menatap dingin obatnya yang ada di atas meja. Benaknya memikirkan kalau saja dirinya masih hamil, pasti hidupnya jauh lebih bahagia. Fargo pasti akan lebih mencintainya. Namun, tak bisa memungkiri ada sebuah rasa bersy
Sudah hampir dua minggu Fargo berada di rumah sakit. Kesehatannya telah berangsur-angsur pulih. Luka yang dialami Fargo mulai membaik. Pihak dokter sudah memberikan izin Fargo untuk pulang. Sementara Gilda, sudah keluar dari rumah sakit sejak dua hari lalu. Gilda diperbolehkan pulang lebih dulu, karena luka yang dialami Gilda tak separah luka yang dialami oleh Fargo. Hanya saja Fargo berpesan pada Gilda untuk tidak datang menjenguknya lagi. Pasalnya, pria itu tak mau masalah semakin rumit.Fidelya juga kemarin sudah keluar dari rumah sakit. Hanya saja hingga detik ini Fargo belum bertemu dengan ibunya, karena atas permintaan Olsen, Alasan kuat Olsen belum mengizinkan Fargo menemui Fidelya, karena Olsen tak mau memperkeruh suasana. Ditambah Fidelya masih belum menerima kenyataan Fargo dan Kimberly akan segera bercerai.“Tuan, barang-barang pribadi Anda sudah dimasukan ke mobil. Apa ada hal yang Anda butuhkan sebelum Anda meninggalkan rumah sakit?” tanya Gene dengan nada yang sopan.“Ti
Mata Kimberly melebar terkejut melihat Fargo berdiri di ambang pintu. Benaknya berputar memikirkan bahwa harusnya Fargo berada di rumah sakit. Kenapa Fargo malah di sini? Apa dokter sudah memperbolehkannya untuk pulang? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Sungguh, melihat keberadaan Fargo membuat kaki Kimberly lemah dan tak bisa berpijak kuat. Terlebih pembicaraanya dengan Carol membahas tentang kehamilan.Napas Carol memburu melihat keberadaan Fargo. Sepasang iris mata Carol menatap Fargo yang berdiri di ambang pintu begitu tajam, dan memendung kemarahan. Ingatannya tergali akan kata-kata Kimberly yang mengatakan Fargo berselingkuh dengan Gilda. Rahang Carol mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. “Pria Berengsek! Mati saja kau!” Carol berlari menerjang Fargo. Dengan luapan emosi, dia hendak menghajar Fargo, tapi buru-buru Kimberly menahan tangan Carol. Sementara Fargo hanya bergeming di tempatnya, menatap Kimberly dengan tatapan lekat.“Carol, jangan. Fargo baru saja keluar da