Semenjak kejadian di masjid waktu itu, aku sudah tidak punya muka lagi. Rasanya aku ingin membenamkan wajahku ke perut bumi. Lia tidak henti-hentinya mentertawakanku. Aku sudah seperti selebgram yang mendadak terkenal. Semua santri mengenalku karena salah jalan ke pesantren putra. Sekolah sudah mulai masuk semenjak satu minggu yang lalu. Semua santri sudah kembali ke pondok. Dalam waktu beberapa hari, aku sudah memiliki banyak teman. Sikapku yang humble membuatku dikenal dan disukai banyak orang, termasuk laki-laki yang kutemui di toilet masjid waktu itu. Dalam sekejap dia mengenalku, tahu namaku dan semua tentangku. “Jelas dia tahu namamu, Anin. Dia itu kepala Madrasah Aliyah. Dia punya wewenang untuk melihat data santrinya,” ujar Lia. “Iya juga, sih. Ngapain aku pusing memikirkannya.” Kuserutup kembali kuah soto ayam di depanku. Kami sedang makan di kantin istirahat salat Zuhur. Masih ada waktu lima belas menit untuk mengisi perut. S
Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di pondok pesantren ini. Banyak sekali perubahan yang kualami. Kulitku menjadi putih bersih karena memakai pakaian tertutup. Jiwa barbar yang ada dalam diriku mulai berkurang, tetapi ada satu hal yang kutahan selama ini. Jiwa kegesrekanku meronta-ronta. Setiap akhir bulan ada jadwal sambangan di pondok pesantren ini, tetapi aku tidak yakin akan ada orang yang mengunjungiku. Kak Sari pasti sudah hamil sedangkan kakek dan nenek tidak akan bisa datang ke sini jika tidak diantar Om Dani. “Anin, temenin aku ke dhuyuf, yuk! Aku kenalkan sama orangtuaku!” ajak Lia. Aku berpikir sejenak, daripada di kamar sendirian mungkin lebih baik aku ikut dengan Lia. Kali aja Lia punya saudara yang tampan yang ikut datang, bisa cuci mata. “Oke, aku ikut denganmu.” Kuambil jilbab dan memakai cadar sebelum keluar. Semenjak kejadian memalukan waktu itu, aku benar-benar malu. A
Dengan senyum merekah aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel. Setelah setengah tahun, akhirnya aku akan pulang untuk liburan sekolah. Aku sudah mengirimkan surat untuk Kak Sari, kukatakan jika aku belum bisa pulang ke Kudus. Aku ingin menghabiskan liburan di rumah nenek saja. “Kamu nanti dijemput sama siapa, Nin?” tanya Lia sembari melipat pakaiannya. Aku sudah menghubungi Om Dani supaya menjemputku. Aku belum hafal jalan pulang jika naik angkutan umum atau bus. “Om Dani yang jemput aku. Kamu enggak pulang?” “Aku hanya pulang saat libur lebaran, Anin. Aku harus berhemat. Jika aku pulang, banyak sekali uang yang harus kukeluarkan. Belum lagi pas balik kudu minta uang saku juga, lebih baik tinggal di pondok saja.” Lia melipat baju seragamnya yang sudah kering. Dia mencucinya tadi pagi di kamar mandi sambil menangis. Dia tidak bisa pulang ke rumahnya karena perjalanan terlalu jauh. Orang tuanya akan datang ke sini sa
Kulihat matahari terbenam di ufuk barat. Dari lantai dua masjid Al Falah ini, aku menunggu azan Maghrib bersama Lia, Shafia, dan Nadia. Kami berempat sudah seperti sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Waktu satu tahun terasa begitu cepat. Sebentar lagi aku lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Shafia dan Nadia akan pulang ke kampung halaman, tetapi aku harus tetap tinggal di pesantren untuk melanjutkan hafalanku. Tahun pertama aku mulai terbiasa dengan kesibukanku, aku pun mulai melupakannya. Jika dulu merindukannya terasa berat di hati, sekarang aku mulai merasa lelah. Perlahan rindu itu memudar seiring berjalannya waktu. “Anin, kamu yakin akan tetap tinggal di sini?” tanya Lia. “Iya, bagaimana denganmu?”“Aku akan pulang, Gita. Orang tuaku menjodohkanku dengan anak sahabatnya.” Lia berucap pasrah. Orang tuanya selalu bilang jika dia harus menurut kepada orang tuanya. “Aku juga harus pulang, Anin,” ujar Shafia.
“Gita, bangun!” Seseorang menggoyangkan bahuku hingga membuatku mengerjap. “Sudah sampai?” tanyaku gelagapan. “Belum. Kita salat Maghrib dulu!” ajak Tante Suci. Aku berjalan mengikuti om dan tanteku ke sebuah musala di pom bensin daerah Semarang. Setelah ini kami akan mencari makan dahulu dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Pukul delapan malam, kami sampai di rumah Kak Sari. Aku langsung memeluknya erat. Kami sudah lama tidak bertemu, sangat lama. “Kenapa kamu makin kurus, Gita? Kamu tidak makan?” Kak Sari mengecek semua anggota tubuhku yang sedikit kurus. “Aku selalu makan, Kak. Kurus atau gemuk, tidak ada yang tahu. Sekarang pakaianku tertutup rapi.”Kak Sari mengajakku melihat bayinya yang sudah tertidur di ayunan. Bayi mungil itu tidak mau diletakkan di kasur. Dia ingin selalu dalam dekapan seseorang. “Kak Sari juga kelihatan kurus. Kakak tidak bahagia?” tanyaku sa
Aku bersiap ke rumah Kak Sari dengan naik ojek online. Akan terlalu kentara jika aku membawa motor sendiri. Aku memakai kacamata hitam dan cadar supaya tidak ada yang mengenaliku. Isma dan Bibi Lia pasti datang. Aku tidak mungkin menampakkan diri di hadapan mereka. Saat aku sampai di depan rumah Kak Sari, benar saja ada Isma dan Bibi Lia. Keluarga Ibuku juga banyak yang hadir. Niatku menciut, aku tidak berani masuk hingga kuputuskan untuk pulang. Kukirimkan pesan kepada Kak Sari jika aku tidak jadi datang. Satu minggu di Kudus hanya kugunakan untuk membereskan barang di rumahku. Pegawai Kak Aldo yang diminta untuk membersihkan rumah ini hanya datang satu minggu dua kali. Tepat saat aku hendak kembali ke Yogyakarta, dia datang. Aku meminta kepadanya untuk selalu menguras kolam ikan di samping rumah.“Bu, tolong kolam ikannya sesekali dibersihkan supaya mereka tetap hidup.”“Iya, Mbak Gita.” Wanita paruh baya itu kemudian mulai bekerja membersihkan rumahku.
“Anin!”Aku menoleh kala salah seorang teman memanggilku. Dia Nabila, salah satu orang yang mau berteman denganku meskipun aku berbeda. “Kamu udah lama?” tanya Nabila. “Udah dari tadi. Kamu enggak lihat aku udah menghabiskan dua gelas es teh?” Aku menunjuk dua gelas kosong di depanku. Pagi ini aku sedang duduk di kantin sebuah kampus. Sudah empat tahun aku menempuh pendidikan di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Awalnya aku tidak berniat melanjutkan kuliah kedokteran. Selain mahal biayanya, waktunya juga lebih lama daripada pendidikan S1 lainnya. Selain itu, aku insecure dengan penampilanku. Bagaimana mungkin seorang dokter memakai cadar?Namun, banyak teman dan keluarga yang mendukungku. Beruntung di kampus itu tidak ada larangan memakai cadar. Mungkin mereka akan melihatku sebagai wanita yang aneh, tetapi seiring berjalannya waktu aku bisa membungkam mulut mereka dengan prestasiku. Aku beruntung bisa m
Jalanan kota Yogyakarta pagi ini cukup ramai. Aku dan keluargaku sedang perjalanan menuju Grha Sabha Pramana. Di sanalah semua mahasiswa akan melaksanakan wisuda. “Ya ampun, anak ibu cantik banget, deh.” Ibu yang duduk di sampingku selalu memuji dari tadi. Aku sampai bosan mendengarnya. Pasalnya hanya kepada teman sekamar dan di depan keluarga aku tidak memakai cadar. Lama sekali aku tidak mendengar pujian itu dari seseorang. “Ibu, udah deh!” Aku memelototi Ibu karena sedari tadi Om Dani mentertawakanku. “Ibu ‘kan kangen sama kamu, Gita. Lima tahun tidak bertemu itu lama. Ibu takut setelah ini kamu pergi meninggalkan kami.” “Tidak, Bu. Mana mungkin aku meninggalkan Ayah dan Ibu? Aku kuliah demi kalian. Aku akan merawat kalian sampai akhir hayat.” Tiba-tiba Ibu memelukku. Pelukan yang cukup lama dan hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. “Ibu takut kamu akan segera menikah dan meninggalkan kami,” ucap Ibu sembari mengusap air matanya. Aku tertawa hingga memegangi
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o