“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.
“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.”“Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu.Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dariSore ini kulihat seorang laki-laki memakai hodie hitam membeli bunga mawar di toko bibiku. Romantis sekali lelaki itu. Dia pasti akan memberikan bunga itu kepada kekasihnya. “Buruan, Ma. Udah ditungguin sama Gita!” Ucapan bibi membuyarkanku dari lamunan. Bisa-bisanya aku berpikir Erick akan membelikanku bunga. Aku menggeleng berulang-ulang. Dia tidak seromantis itu, Gita!Erik adalah kekasihku. Kami mulai dekat semenjak aku duduk di kelas satu SMK. Kami jadian semenjak tujuh bulan yang lalu ketika aku naik kelas dua. Dia kakak kelas satu angkatan yang sebentar lagi akan ujian. Mungkin karena itulah aku jarang bertemu dengannya. Akhir-akhir ini dia sibuk belajar dan mengikuti les.“Sayang, mungkin mulai saat ini kita akan jarang bertemu, tetapi aku janji usai ujian nanti kita akan jalan-jalan keliling kota,” ucapnya sambil mengelus ujung kepalaku. “Janji?” Aku mengulurkan jari kelingking meminta sebuah persetujuan. Awalnya dia tampak ragu, tetapi dia mulai menautkan jarinya. Tentu
Erick mendekat dan memegang tanganku yang mengepal sambil tersenyum licik.Aku menoleh ke arah jalan raya. Isma belum juga menyusulku. Seharusnya aku menuruti perkataan sahabat sekaligus saudaraku itu. “Kamu tidak membawa apa-apa, Gita. Kamu sudah tidak memiliki apa pun untuk memukulku.”Aku mundur selangkah, tetapi Erick semakin mendekat. Wanita selingkuhannya masih membersihkan bajunya yang kotor terkena siraman es boba. “Kenapa mundur? Selama ini kutahan untuk tidak menyentuhmu. Jangan harap aku bisa melepaskanmu sebelum mencicipinya.” Aku menggeleng. Aku tidak mau disentuh oleh lelaki sepertinya.“Lepas! Jangan sentuh aku!” Dengan sekuat tenaga aku melepaskan tanganku darinya. Namun nahas, tangannya terlalu kuat. Kini dia semakin mendekat dan mulai mengikis jarak di antara kami.“Lepaskan aku, Erick!” Tangisku pecah kala dia melepas jilbabku. Aku memang tidak pernah memakai jilbab kecuali jika datang ke pengajian, tetapi aku tidak sudi disentuh olehnya. Ya Allah, selamatkan ak
Semilir angin berembus bersama daun kersen yang berguguran. Bintang di langit seakan ikut tertawa melihatku membayar minuman seharga tiga ribu rupiah. Di dunia ini mana ada yang gratis, Gita! WC umum saja bayar.Aku segera mengambil uang dari saku gamis. Kebetulan sebelum pergi aku membawa selembar uang kertas warna hijau. Aku menyerahkannya kepada penjual minuman itu. “Ini kembaliannya. Lain kali jangan tanggung-tanggung kalau mau mukul cowok,” ucapnya sambil memberikan uang kembalian.Eh, bagaimana dia bisa tahu? “Mas ngintip, ya?”“Idih, kagak ada kerjaan. Semua orang di taman juga pada lihat kamu mukulin tuh cowok.”Aku melihat sekeliling, memang benar banyak sekali orang di taman ini. Malam minggu adalah malam yang panjang, sangat cocok untuk muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Ya Allah, malu banget aku. Pasti banyak yang menggunjingku. “Sini botolnya. Sekarang jadi milikku karena udah bayar.” Lelaki di depanku menyerahkan botol air mineral itu sambil tersenyum kemudian kemb
Anak kecil yang kutahu bernama Bian ini tiba-tiba memeluk erat kakiku. Dia meminta kugendong dan tidak mau pulang bersama orang tuanya. Menyebalkan sekali! Memangnya apa yang dia inginkan dariku?“Atu maunya puang sama tatak cantik,” teriak Bian. Kedua orang tuanya sudah lelah membujuknya hingga menawarkanku untuk pulang bareng. “Pulanglah bersama kami, setelah Bian tidur kamu akan kami antar pulang.””Saya lagi nungguin teman, lagi ngikutin pengajian di masjid. Kalau nanti saya dicari bagaimana?” Aku sedang menunggu Isma, bagaimana bisa aku meninggalkannya?“Telepon aja, kami jamin akan mengantarkanmu pulang sampai rumah.”Aku segera mengangguk karena tidak enak menolak, lumayan mumpung ada tumpangan gratis. Masih dalam pelukanku, balita itu tertidur. Sandal jepit warna kuning sudah lepas dari tangan. Pusaka paling ampuh untuk cowok lucknut seperti Erick.Aku duduk di belakang bersama Bian, sedangkan ayah dan ibunya di depan. Sebenarnya di mana, sih, rumah mereka? Sudah hampir seten
Faiha datang dan menjatuhkan teh yang dia bawa hingga gelasnya pecah dan membuat keributan di kamar Faiha. Mampus aku! Kini kami sudah seperti pasangan mesum yang digerebek Pak RT.Apakah kakaknya Faiha ini adalah seorang ustaz yang digandrungi Isma?Lelaki yang bernama Ilham menatapku terkejut. “Bukankah kamu wanita yang semedi di bawah pohon kersen tadi?”Ah, iya, aku ingat. Dia adalah lelaki penjual minuman di taman. Kuambil bunga mawar dan melemparkan ke mukanya. “Semedi? Kamu pikir aku dukun?”“Wanita gila, barbar, dan aneh.” Ilham memicingkan matanya. “Kalian sudah saling kenal?” tanya Faiha.Aku dan Ilham sontak menjawab dengan kompak, “Tidak!”Aku berdiri dan berkacak pinggang, siap-siap meninjunya. Lemes sekali mulutnya. Sepertinya dia tidak pernah makan bangku sekolah. Aku bersiap melayangkan tinju ke mukanya, tetapi dia segera mengambil bantal untuk berlindung.“Dasar pengecut!” Aku naik ke kasur untuk memukulnya, tetapi malah terjatuh di atasnya. Dia memegang kedua tangan
Ilham menatapku aneh. Apa dia mulai terpesona denganku? Haish! Pikiranku malah traveling.Faiha mengantarkanku sampai depan rumah sedangkan Ilham sudah siap dengan motor scoopy-nya. Wah, dia bukan termasuk anak muda zaman now yang suka dengan motor gede. Motornya masih standar.“Ngapain lihat-lihat? Naksir, ya?” ucapnya ketus. “Buruan naik atau kutinggal!”Menyebalkan sekali lelaki itu. Aku segera duduk di belakangnya tanpa pegangan. Meski bagaimana pun dia lelaki normal, takut digoda setan.Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Rumah Bibi Lia tidak terlalu jauh sini, tetapi aku tidak enak jika pulang ke sana. Apalagi diantarkan sama laki-laki. Jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah. Aku melihat kakiku, masih menawan meski hanya memakai sandal jepit. Aku memakainya mumpung anak bernama Bian itu tidur. “Rumah kamu di mana?” Pertanyaannya membuatku kaget. Aku lupa, dia kan tidak tahu rumahku. “Karangmalang.” Aku tidak perlu menjelaskannya tinggal di mana, sepertinya dia sedang
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid. Tubuhku terasa kaku dan kedinginan. Aku duduk dan bersandar di ranjang mengecek ponsel yang berkedip-kedip. Banyak sekali pesan yang masuk. Kak Sari menghubungiku? Aku segera membuka pesan darinya. “Ta, kamu di mana? Kakak pulang kok kamu malah nggak di rumah?”Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ternyata tidak hanya satu pesan yang dikirimkan. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang kakak. Ada juga sebuah pesan dari Erick. Buat apa lagi dia masih menghubungiku? Tidak cukup puaskah dia menyakiti perasaanku? “Gita! Aku bisa jelasin semuanya. Aku khilaf, Ta. Kumohon percayalah padaku.”Kututup mulutku kala membacanya. Ya Allah, haruskah aku mempercayainya? Rasanya terlalu sakit. Namun, jauh di lubuk hati masih tersimpan namanya. Dia yang pertama di hatiku, tidak akan mungkin semudah itu melupakannya. Mas Aril hanyalah tameng untuk mengelabuhi orang supaya tidak tahu betapa hancurnya perasaanku. Aku meringkuk, me
Suasana di sekolah sudah lengang. Hanya anak yang mengikuti ekstra kurikuler yang masih di kelas. Sudah hampir satu jam aku bersembunyi di kelas. Kupikir Erick sudah pulang karena sudah sore. Namun, Erick tiba-tiba datang menghadang. “Turun, Ta! Aku capek nungguin kamu.”Jadi, sedari tadi dia menungguku? Bodoh sekali aku! Kupikir dia sudah pulang.“Aku tidak memintamu untuk menungguku.”Erick menarik tanganku hingga hampir terjatuh. “Lepas, Rick! Jangan sentuh aku. Aku bisa teriak jika kamu memaksa.”Erick akhirnya melepaskan tanganku. Di sini masih ada Pak Satpam, aku akan meminta perlindungan jika dia nekat. “Aku minta maaf, Ta! Aku sudah putusin Meyda. Kita masih bisa bersama lagi.”Aku menggeleng. “Tidak semudah itu Bambang! Setelah apa yang kamu lakukan padaku tadi malam dengan semudah itu kamu minta maaf?”“Aku memang salah, Ta! Allah saja mau memaafkan hambanya. Kenapa kamu tidak bisa?”Aku terdiam, hatiku tidak sekuat itu, Rick. Terlalu dalam luka yang kau torehkan. Dengan m
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o